KONSEP HUKUM SYARA’ DALAM ISLAM
A. Pengertian hukum
syara’
Hukum syar’i ( الحكم الشرعي
) atau hukum syara’ ( (حكم الشرعي adalah kata majemuk
yang tersusun dari kata ‘’hukum’’ dan kata ‘’syara’”. Kata hukum berasal dari
bahasa arab ‘’hukum’’ ( الحكم ( yang secara etimologi
berarti “ memutuskan’’, “menetapkan’’, dan “menyelesaikan’’.
Kata ’’ hukum’’ dan
kata lain yang berakar pada kata itu terdapat dalam 88 tempat pada ayat
Al-qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata
hukum itu sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa indonesia.[1]
Dalam memberikan arti
secara definitif kepada kata ‘’hukum’’ itu terdapat perbedaan rumusan yang
begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa
hukum adalah ‘’ seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan atau diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan
mengikat untuk seluruh anggotanya’’.
Kata ‘’syara’’’ (شرع ) secara
etimologis berarti :’’ jalan, jalan yang biasa dilalui air’’. Maksudnya adalah
jalan yang dilalui manusia menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana
berarti ‘’ ketentuan Allah’’. Dalam Al-qur’an terdapat lima kali disebutkan kata
‘’syara’” dalam arti ketentuan
atau jalan yang harus di tempuh.[2]
Kemudian, bila kata
hukum dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu hukum syara’ maka dapat diambil
pengertian seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya
yang berjudul ‘’’Ilmu Ushul Al-fiqhi’’ yaitu :
Hukum syara’ menurut
ahli ushul fiqh adalah “khithab
( titah ) Syari’ (Allah) yang berhubungan dengan segala amal perbuatan
mukallaf. Meliputi tuntutan, pilihan, atau penetapan”[3]
Khitab
Allah adalah segala hal yang terkandung di dalam kitab Al-qur’an dan
dalil-dalil sunnah, qiyas, atau kemaslahatan.
1.
الطلب Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu
2.
التخيير Pilihan untuk melaksanakan sesuatu atau
meninggalkannya, dan
3.
الوضع Penetapan
tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu.
Ketiga kandungan hukum syara’di atas menjadi dasar
pembagian hukum syara’. Para ulama mengkategorikan hukum syara’ menjadi dua,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum Taklifi adalah hukum
yang isinya berupa tuntutan dan pilihan, sedangkan hukum wad’i isinya berupa
penetapan.[4]
Jadi Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan
ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku
serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[5]
B. Pembagian
Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a.
Hukum taklifi
Hukum syar’i
yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf
) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.[6]
b.
Hukum wadh’i
Firman Allah swt. yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi
sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya
sesuatu yang lain tersebut [7]
C. Bentuk-Bentuk
Hukum Syara
1.
Hukum Taklifi
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut
jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah,
karahah dan tahrim.
a)
Ijab
Tuntutan syar’i yang bersifat untuk
melaksanakan sesuatu (pasti) dan tidak
boleh ditinggalkan . Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam firman
Allah SWT :
“ dan laksanakan sholat,tunaikanlah zakat
dan taatlah pada Rasulullah (Muhammad ), agar kamu diberi rahmat ” (QS.An-Nur
{24} : 56)[8]
b) Nadb
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu
perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang
tidak dilarang meninggalkannya. [9]
Misalnya :
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan,hendaklah kamu
menuliskannya.....” (QS.Al-Baqarah {2} : 282 ) [10]
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”,
dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang
memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat
tersebut ( QS. al-Baqarah: 283), yang artinya: “Akan tetapi, apabila
sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu,
berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan
ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan
utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
c) Ibahah
Firman Allah SWT yang memberikan
kebebasan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidka melakukan sesuatu
perbuatan.. Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Dalam Firman Allah SWT :
“ Dan tidak ada dosa bagimu meminang
perempuan-perempuan itu dengan sindiran[11]
....” (QS.al-Baqarah {2} : 235)
“ dan apabila kalian telah (selesai
berikhram) maka berburulah kalian (boleh berburu )........” (QS.
Al-Ma’idah {5} : 2) [12]
d) Karahah
Tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat
memaksa hanya berupa anjuran. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang
dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini
disebut juga karahah.
Misalnya :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,(justru)
menyusahkan kamu ....” (QS.Al-Ma’idah {5} : 101 )[13]
Hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Perbuatan halal yang paling dibenci
Allah adalah talak.”
(HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
e) Tahrim
(haram)
Tuntutan untuk tidak mengerjakan
suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa dan pasti . Akibat dari tuntutan
ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram.
Contoh memakan bangkai dan
sebagainya.
“diharamkan bagimu
(memakan) bangkai,darah[14],
dan daging babi ...”(QS.al-Ma’idah {5} : 3)
Misalnya, firman Allah dalam surah
Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh.
“
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu
Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka,
dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[15]".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS.Al-An’am {6} : 151)
Yang artinya: “Jangan kamu membunuh
jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan
tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut
untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
Golongan hanafi membagi hukum
taklifi kepada tujuah bagian,yaitu dengan membagi firman yang meuntut
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu
dan ijab .Begitu juga firmannya yang menuntut untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan pasti kepada dua bagian : tahrim, dan karahah
tanzin.
Menurut kelompok ini bila suatu
perintah didasaran dalil yang qath’i, seperti dalil Al-Quran dan hadis
mutawatir maka perintah itu sdisebut fardhu .Namun suruhan itu
berdasarkan dalil yang zhanni ia dinamakan ijab.Begitu pula
larangan.Bila Larangan itu berdasarkan dalil zhanny ,ia disebut karahah
tahrim.
Kelima macam hukum diatas
menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itulah yang
dinamakan al-ahkam al-khamsah, oleh ahli fiqih , yaitu wajib, haram,
makruh dan mubah.
1)
Wajib
Secara
etimologi wajib berarti tetap. Sedangkan secara terminologi:
Wajib adalah perbuatan yang dituntut
Allah SWT untuk dilakukan oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak )
dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala,
dan jika ia meninggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib
dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
a) Wajib ditinjau
dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan:
(1)
Wajib Mu’ayyan , yaitu yang
telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam sholat.
(2)
Wajib Mukhayyar, yaitu yang
boleh pilih slah satu dari beberapa macam perbuatan yang ditentukan. Misalnya :
kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga alternative,memberi makan sepuluh
orang miskin,atau member pakaian sepuluh orang miskin ,atau memerdekakan budak.
b) Wajib ditinjau
dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
(1) Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang
ditentukan kadar atau jumlahnya.Misalnya,jumlah zakat yang mesti
dikeluarkan,jumlah rakaat sholat.
(2) Wajib ghairu muhaddad, yaitu
kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya.Misalnya , membelanjakan
harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong .
c) Wajib ditinjau
dari segi pelaksanaannya
(1)
Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan
atas pundak setiap mukallaf. Misalnya, mengerjakan sholat lima waktu,
puasa ramadhan. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
(2)
Wajib Kifayah , Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh
sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf. Umpamanya melaksanakan amar ma’ruf nahi
mungkar, sholat jenazah dan lain-lain.
d) Wajib yang ditentukan waktunya
(1) al-wajib al-muwassa'
Suatu
kewajiban yang waktu pelaksanaannya lebih luas daripada ukuran waktu pelaksanaannya
perbuatan yang diwajibkan. Umpamanya shalat zuhur. Waktu yang disediakan untuk
shalat zuhur itu ialah dari tergelincir matahari sampai ukuran baying-bayang
sepanjang badan; atau sekitar tiga jam; sedangkan waktu untuk melaksanaakan
shalat zuhur hanya sekitar 10 menit. Dalam bentuk wajib muwassa’ ini diberi
kelapangan bagi mukallaf untuk melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu
yang ditentukan itu.
(2)
al-wajib al-mudhayya
Suatu
kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang diperlukan untuk
pelaksanaannya perbuatan yang diwajibkan. Umpamanya puasa Ramadhan. Waktu
melaksanakan puasa Ramadhan itu adalah satu bulan, yaitu selama bulan Ramadhan
itu. Dalam hal ini puasa wajib Ramadhan tidak dapat dilakukan di luar Ramadhan;
sedangkan dalam bulan Ramadhan itu tidak dapat dilakukanpuasa lain selain puasa
Ramadhan.hal ini telah disepakati oleh ulama ushul.
2) Haram
Segala perbuatan yang dilarang mengerjaknnya. Orang
yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya, mencuri,membunuh,
tidak menafkahi orag yang menjadi tanggungan, dan lain sebgainya. Perbuatan ini
disebut juga maksiat, qabih.
Secara garis besar haram
dibagi menjadi dua:
(a)
Haram Karena perbuatan itu
sendiri,atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram
yang memang diharamkan sejak semula.Misalnya : Membunuh,Berzina, mencuri.
(b)
Haram karena berkaitan
dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang dating kemudian.
Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan
jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya
wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit
yang mengancam keselamatan jiwa.
3)
Mandub
Segala perbuatan yang dilakukan
akan mendapatkan pahala, ,tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan
siksa,dosa (‘iqab).Biasanya,mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan
terbagi kepada :
(a)
Sunat ‘ain ,yaitu segala perbuatan yang dianjurkan
kepada setiap pribadi mukallaf untuk dikerjakan,misalnya sunah rawatib.
(b)
Sunat Kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk
diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok,misalnya
mengucapkan salam, mendoakan orang bersin.
Selain,sunat juga dibagi
kepad :
(a)
Sunat Muakkad,yaitu perbuatan sunat yang senantiasa
dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak dikerjakannya. Misalnya ,sholat sunat
hari raya.
(b)
Sunat Grairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunnat yang
selalu dikerjakan Rasul,misalnya bersedekah pada fakir miskin.
4)
Makruh
Yang dimaksud dengan makruh
adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat
pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab). Misalnya, merokok memakan makanan yang
menimbulkan bau yang tidak sedap
Pada umunya,ulam membagi
makruh kepada dua bagian :
(a)
Makruh tanzih,yaitu segala perbuatan yang meninggalkan
lebih baik daripada mengerjakan,seperti contoh-contoh tersebut diatas.
(b)
Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang,tetapi
dalil yang melarangnya itu zhanyy , bukan qath’i . Misalnya bermain catur,memakan kala, dan
memakan daging ular (menurut mahzab hanafiyah dan Malikiyah )
5)
Mubah
Yang dimaksud dengan mubah
adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya,dan tidak
berdosa karena meninggalkannya.Secara umum,mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
Mubah dibagi kepada tiga
bagian :
(a)
Perbuatan yang ditetapkan
secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberi kebebasan untuk
melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya,meminang wanita dengan
sindiran-sindiran yang baik (QS.al-Baqarah {2} : 225)
(b)
Perbuatan yang tidak ada
dalil syara’ menyatakan kebolehan ,memilih, tetapi ada perintah untuk
melakukannya. Hanya saja,perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan
untuk wajib.Misalnya, perinath berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah
haji. (QS.al-Maidah {5} : 2)
(c)
Perbuatan yang tidak ada
keterangannya sama sekali dari syar’i tentang kebolehan atau tidak
kebolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyah (bebas menurut
asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat menurut
asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk
itu,ulama ushul fiqih membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah
mubah”.
2.
Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukuman wadh’i
adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya
sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
pengahalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.[16]
Oleh
karenanya ulama membagi hukum wadh’i ini kepada : sebab,syarat,mani’. Namun
sebagai ulama memasukkan sah dan budal,azimah, dan Rukhsah.
Macam
–Macam hukum Wadh’i
a. Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang
dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum dan
tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
Misalnya dalam firman Allah dalam
surat, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
“ dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh[865][17].
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. al-Isra: {17} 78)
Pada ayat tersebut, tergelincir
matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
Ulama membagi sebab ini menjadi sua
bagian :
a) Sebab
yang
diluar kemampuan mukallaf . Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab
bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai
sebab wajibnya sholat.
b) Sebab
yang
berada dalam kesanggupan mukallaf .Sebab ini dibagi dua :
(1) Yang
termasuk termasuk dalam hukum Taklifi , seperti menyaksikan bulan
menjadikan sebab wajib pelaksaan puasa (QS.al-Baqarah {2} : 185 ). Begitu juga
keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya tidaknya berpuasa
dibulan Ramadhan (QS.al-Baqarah {2} :
185 )
(2) Yang
termasuk dalam hukum Wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak
warisan antara suami istri dan menjadi sebab
haramnya mengawini mertua.
b.
Syarat
Syarat ialah
sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum syara’
bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi,
adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.[18]
Namun dengan adanya sesuatu itu
tidak mesti pula adanya hukum.
Misalnya wajib zakat barang
perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat
berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun dengan
adanya syarat berjalan,satu tahun itu saja belumlah tentu wajib zakat,karena
masih tergantung kepada sampai atau tidanya dagangan tersebut senisab.
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Sholat
tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi apabila
seseorang berwudlu, ia tidak harus melaksanakan shalat.
1.
Pembagian syarat
Para ulama’ memberi uraian tentang pembagian syarat dengan berbagai
tinjauan, akan tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau dari segi
penetapannya sebagai hukum syara’, syarat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(a)
Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah
syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya yang
ditentukan oleh syara’.[19]
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami
istri namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi.
Dengan demikian apabila akad atau tindakan hukum tidak akan menimbulkan efekya
kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.[20]
(b)
Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang
timbul padanya yang ditentukan oleh mukallaf.
Misalnya
:
1)
seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mengatakan:
“ jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”. Dengan
demikian talak tidak akan menimbulkan efeknya kecuali tidak terpenuhi syarat
talak.
2)
Seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang
dari seorang penjual dengan syarat boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu
diterima oleh si penjual jual-beli tersebut dapat dilakukan.
3) Misalnya, dalam firman Allah :
(
“ dan ujilah[269][21]
anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih
dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa
yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu)” (QS. an-Nisa {4}: 6)
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan
anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c.
Mani’ (penghalang)
Menurut bahasa berarati “ penghalang “. Sedangkan dari segi istilah
yang dimaksud dengan mani’ adalah :[22]
“ sesuatu yang ditetapkan
oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab,
maksudnya batalnya sebab itu.”
Misalnya : hubungan suami istri dan hubungan
kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila
ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau
suami yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini
bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut.
Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu
karena membunuh orang yang mewarisi.[23]
Pembagian Mani’
Para ulama’ membagi mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab dan
hukum menjadi dua macam :
1)
Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang
dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’, ialah ketetapan
asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum
syara’ yang umum.
Misalnya: hukum syara’ yang umum menyatakan wajib shalat bagi
setiap mukallaf, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, syara’ juga
menetapkan, haid dan nifas merupakan penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban
meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama haid atau nifas.[24]
2) Mani’ yang
menghalangi hubungan sebab
Yaitu
ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi
lahirnya musabbab/ akibat hukum dari suatu sebab syara’ yang berlaku umum.
Misalnya : Seorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya.Namun
karena ia mempunyai hitang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia
tidak wajib membayar zakat,karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi.
Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat.Namun,keadaannya
mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib
zakat. Dengan demikian,mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab
hukum zakat.[25]
Hal ini disebut mani’ sebab.
3)
Kaitan antara sebab, syarat, dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa antara
sebab, syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada
bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan
keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab
disebabakannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudlu sebagai
syarat sah shalat. Tetapi jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang
menjadi penghalang ( mani’ ) maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita
dalam keadan haid tidak boleh melaksanakan shalat.[26]
d. Shahih (Ash-Shihah)
Ash-Shihah secara bahasa Sah atau Shihah (الصححة ) atau shahih ( الصحيح ) lawan dari ( المريضة ) yang artinya sakit.
Secara istilah, para ahli ushul fiqih merumuskan definisi sah dengan :[27]
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila
sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi
kehendak syara’ pada perbuatan itu.”
Maksudnya, Suatu
hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan
tidak ada mani’ (Penghalang).Jadi sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila terpenuhi sebab dan
syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan
syara’ dari perbuatan itu berhasil dicapai.
Misalnya:
seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun, syarat, dan sebab, serta
orang yang shalat itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila shalat
dhuhur akan dilaksanakan, sebab wajibnya shalat itu telah ada yaitu matahari
telah tergelincir, orang yang akan shalat itu telah berwudlu, dan tidak ada
mani’ dalam mengerjakan shalat tersebut maka shalat yang dikerjakan tersebut
sah.[28]
e.
Al- Bathl (Batal)
Secara
etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (البطلان ) yang berarti
rusak dan gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’,
yang mengatakan batal adalah :
“ Tindakan hukum yang
bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan syara’.”
Maksudnya,
tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhui ketentuan yang ditetapkan
oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’ dari perbuatan tersebut lepas
sama sekali (tidak tercapai).
Misalnya : suatu perbuatan
tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan
dilaksanakan ketika ada mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu dalam
pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya, dalam persoalan ibadah yaitu
orang yang melaksanakan ibadah sholat harus memenuhi rukun dan syaratnya,
apabila ada penghalang seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau
batal. Sedangkan dalam bidang muamalah, misalnya dalam transaksi jual beli
apabila yang melakukannya adalah orang yang belum atau tidak cakap bertindak
hukum (seperti anak kecil atau orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak
sah.
Dengan demikian
baik dalam bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah, keabsahan suatu
perbuatan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan penyebab
perbuatan itu, dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi apabila
perbuatan itu tidak memenuhi syarat, rukun, dan sebabnya belum ada, atau ada
mani’, maka perbuatan itu menjadi batal.[29]
Disamping
istilah sah dan batal, dalam fiqih islam juga dikenal dengan istilah fasad, yang
posisinya diantara sah dan batal.
e. Al-Fasad
Secara
etimologi, fasad (الفساد
) berarti ”perubahan
sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).” Dalam bahasa indonesia berarti
“rusak”. Dalam pengertian terminologi menurut jumhur ulama bahwa antara batal
dan fasad mengandung esensi yang sama, yang berakibat kepada tidak sahnya
perbuatan itu. Apabila sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan
tidak ada sebabnya, atau ada mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan
itu disebut fasad atau batal.[30]
Menurut ulama
Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan dengan batal, yaitu
fasad. Menurut mereka fasad adalah “terjadinya suatu kerusakan dalam
unsur-unsur akad.” Artinya, akad itu pada dasarnya adalah sah, tetapi sifat
akad itu tidak sah. Misalnya, melakukan jual beli ketika panggilan shalat
jum’at berkumandang. Jual beli dan shalat jum’at sama-sama memiliki dasar
hukum. Akan tetapi jual beli itu dilaksanakan pada waktu yang sifatnya
terlarang untuk melakukan jual beli, maka hukumnya menjadi fasad atau rusak.[31]
f.
Azimah dan Rukhsah
1)
Pengertian Azimah
Yang
dimaksud Azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri
atas hukum-hukum yang berlaku umum.Artinya,hukum itu berlaku bagi setiap
muakallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau
pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut
belum ada peraturan lain yang mendahului.
Misalnya :
Bangkai , menurut hukum asalnya adalah haram dimakan oleh semua orang.Ketentuan
ini disebut juga dengan hukum pokok.
2) Pengertian Rukhsah
Ynag dimaksud dengan Rukhsah adalah
peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena danya hal-hal yang
memberatkan dalam menjalankan azimah. Dengan kata lain, Rukhsah adalah
pengecualian hukum-hukum pokok (Azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.
3) Hukum azimah dan Rukhsah
Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan
adanya Rukhsah seorang Mukallaf diharusakna mengambil Azimah,
karena memang begitulah ketentuan-ketentuan dari Allah dalam mensyariatkan
peraturannya. Namun, bila ada hal yang memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan,dibolehkan
mengambil Rukhsah .
Misalnya :
Seorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hukum
asalnya haram. Artinya, dalam keadaan normal seorang diwajibkan untuk tidak
memakan bangkai sehingga memakan bangkai itu haram hukumnya bagi orang
tersebut.
Namun,dalam keadaan terpaksa orang itu
diberi kebolehan memakan bangkai tersebut. Maka dengan sendirinya hukum Rukhsah
tersebut adalah mubah. Ketentuan semacam ini dapat dilihat dalam firman
Allah surat al-Baqarah ayat 173 yang membolehkan kita memakan apa yang diharamkan
ketika terpaksa. Begitu juga ayat 201 surat an-Nisa yang membolehkan kita
mengqhasar sholat ketika sedang dalam
perjalanan.Ketika ayat ini menyatakan bahwa Rukhsah itu hukumnya boleh
bukan wajib.
4) Maksud Rukhsah
Rikhsah diberikan oleh syar’i sebagai keringanan bagi mukallaf
sehingga mereka bebas memilih antara
azimah dan rukhsah . Namun,adakalanya pula Rukhsah itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu
berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain.
Misalnya : memakan daging babi meruapan Rukhsah dalam
keadaan terpaksa.Artinya memakan daging babai dalam keadaan sangat terpaksa dan
itu satu-satunya jalan untuk memelihara jiwa maka saat itu diwajibkan hukumnya.
Dalam keadaan demikian ,Rukhsah sudah berubah menjadi Azimah yaitu wajib menyelamatkan diri dari kehancuran
atau haram membiarkan diri jatuh pada kecelakaan.
5) Macam –macam Rukhsah
Ulama ushul fiqih mengelompokkan rukhsah kepada empat bagian :
(a) Pembolehan sesuatu yang dilarang
(diharamkan ) dalam keadaan darurat atau
karena hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukalaf .
Misalnya :
Barang siapa yang mengucaokan kata-kata yang mengkafirkan , dibolehkan baginya
mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl {16} : 106
“ Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah ), kecuali orang yang dipaksa kafir , padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka
akan mendapat azab yang besar” [32]
(b) Pembolehan meninggalkan yang wajib karena uzur, dimana jia melaksankan
kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukalaf.
Misalnya : orang sakit atau sedang dalam bepergian dibolehkan untuk
tidak berpuasa di Bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Baqarah {2} : 184
“…
Maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak puasa)
, maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada
hari-hari yang lain ….“ [33]
(c) Pemberian pengecualian sebagian berkaitan
dengan menyangkut kebutuhan masyarakat dalam perikehidupan muamalat
(sehai-hari).
Misalnya :
transaksi jual beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan, tapi harganya
sudah dibayar terlebih dahulu. Pada prinsipnya jual beli seperti itu tidak
memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu transaksi jual-beli, yaitu barang
yang akan diperjualbelikan itu ada disaat transaksi dilakukan., tetapi karena
hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka perikatan seperti
itu disahkan secara Rukhsah .
Ini sesuai
dengan hadits nabi.
“Rasulu
melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi, namun
beliau memeberi dispensasi untuk jual beli pesanan “
(d) Pembatalan hukum-hukum yang meruapakam
beban memberatkan bagi umat terdahulu,misalnya memotong bagian kain yag kena
najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh sholat selain dimasjid.
Semuanya itu tidak berlaku lagi bagi umat islam, sebagai keringanan (Rukhsah)
bagi mereka. Karena itu, kalau ketentuan bagi umat terdahulu itu
diberakukan bagi umat Islam, mereka akan banyak sekali menemukan kesulitan yang
memberatkan [34].
Hal ini
diisyaratkan Allah dalam surat al-Baqarah {2} : 286
“ Ya Tuhan kami janganlah, janganlah Engkau
bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami.” [35]
(3) Perbedaan
antara Hukum Taklifi dengan hukum Wadh’i
Dari uraian diatas sebelumnya dapat dilihat perbedaan anatara hukum Taklifi
dan Hukum Wadh’i dari dua hal
:
1. Dilihat dari sudut pengertian, hukum Taklifi
adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak
berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak
berbuat. Sedangkan hukum Wadh’i tidak mengandung tuntutan atau memeberi
pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani”) sah dan batal.
2. Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf ,
baik dalam untuk memikulnya hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukallaf ,
baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya.Sedangkan hukum Wadh’i kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi)
oleh mukalaf dan kadang-kadang
tidak.
(4) Objek Hukum (Mahkum Fih)
Adapun
syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul
Fiqh adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan
itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu
yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
2. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang
yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3. Perbuatan
itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya
untuk melakukannya.
(5) Subjek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah
orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya
telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas
subjek hukum, adalah sebagai berikut:
1.
Ia memahami atau mengetahui titah
Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
2.
Ia telah mampu menerima beban taklif
atau beban hukum.
3.
Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap
berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
(6) Pembuat
Hukum (Hakim)
Pembuat hukum (syar’i) dalam
pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan
Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam
hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di
akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah.
Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67
yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”[37]
[3] ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta : Al-Najlis al-A’la al-indonesia li al-Dakwah
al-Islamiyah,1970 ), 100
[8] Departemen Agama RI , Al- Hidayah
Al-Qur’an Tafsir per kata tajwid kode angka ,( Banten : PT.Kalim,2011) ,358
[11] Perempuan yang boleh dipinang secara sindiran adalah perempuan
yang dalam idah karena mati suaminya,atau karena talak ba’in, sedang
perempuan yang idah talak raj’i tidak boleh dipinang walaupun walaupun
dengan sindiran.
[15] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang
murtad, rajam dan sebagainya.
[16] Mukhtar yahya dan Fathurrahman, Dasar –dasar Pembinaan Hukum Islam (Bandung : Al-Maarif,1986 ) ,141 – 145
[17] [865] Ayat ini
menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu
shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
[18] Op.cit. Rachmat Syafe’i, 313
[19] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri,
(Semarang: Dina Utama, 1994) , 173.
[20] Ibid, 173
[21] [269] Yakni:
Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka,
kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
[30] Ibid,.273
3 komentar