AKAD ( Transaksi Secara Umum, Muamalah)
Muamalah adalah aspek hukum islam yang
ruang lingkupnya luas. Pada dasarnya aspek hukum islam yang bukan ibadah
seperti, sholat, puasa, zakat dan haji diglongkan muamalah. Karena itu masalah
pidana dan perdata digolongkan hukum muamalah.
Namun perkembangan selanjutnya hukum islam
di bidang muamalah dapat dibagi menjadi menjadi dua garis besar secara umum
yakni munakahat dan jinayat. Sementara itu muamalah dalam arti yang lebih
sempit atau dalam arti yang khusus hanya membahas tentang hukum ekonomi dan
bisnis islam.[1]
Dalam pengertian muamalah secara khusus
dibahas berbagai macam transaksi-transaksi yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari terutama dari aspek hukumnya. Transaksi-transaksi tersebut dibahas
dan dipelajari dari sudut pandang fiqh muamalah. Sehingga semua transaksi yang
dibahas dalam fiqh muamalah dapat ditentukan hukumnya. Apakah suatu transaksi
itu halal ataupun haram.
Dalam fiqh muamalah dibahas banyak sekali
transaksi, yang salah satu babnya membahas tentang transaksi secara umum atau
biasa disebut akad. Dalam akad terdapat banyak sekali rukun dan syarat yang
harus dipenuhi untuk mewujudkan agar akad yang dilakukan sah, dan menghasilkan produk
hukum yang halal.
Dalam mengapai produk hukum yang halal,
maka syarat dan rukun seperti yang disebutkan diatas harus dipahami dan
dikuasai serta selalu terpenuhi setiap melakukan kegiatan transaksi.
Akad adalah suatu penentu, suatu parameter
yang menyebabkan suatu transaksi itu sah, karena secara keseluruhan
transaksi-transaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian
dari akad. Sehinggadapat dikatan akad merupakan akar dari semua transaksi.
A. Pengertian Akad
Perikatan atau perjanjian, ataupun
transaksi-transaksi lainya dalam konteks fiqih muamalah dapat disebut dengan
akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud
yang mempunyai arti perjanjian, persetujuan kedua belah pihak atau lebih dan
perikatan.[1]
Adapun secara terminology ulama fiqh
melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan secara khusus.
1. Secara umum
Pengertian
akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa
menurut pendapat ulama SAyafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu :
كُلُّ مَا عَزَمَ
المَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ
وَاْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ واليَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي
إِنْشَائِهِ كَلْبَيْعِ وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan,
dan gadai.” [2]
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa
akad adalah “Setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakanya, baik
keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri, misalnya daam hal wakaf,
atau kehendak tersebut timbul dari dua orang misalnya dalam hal jual beli atau
ijaroh.”[3]
Sehingga secara umum akad adalah segala
yang diinginkan dan dilakukan oleh kehendak sendiri, atau kehendak dua orang
atau lebih yang mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (maqud
alaih).
2. Pengertian akad secara khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan
oleh ulama fiqh adalah
إِرْتَبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ
عَلىَ وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ.
Artinya: “Perikatan yang ditetapkan
dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”[4]
Selain
itu juga ada Definisi lain tentang akad yaitu “Suatu perikatan Antara
ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syarak dengan menetapkan
akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Melihat dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah
ijab dan qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian ijab dan
qobul adalah sutu bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab qobul
adalah tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat dikatakan
sah apabila sudah sesuai dengan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua
ikatan perjanjian atau kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terlebih
utama akad yang tidak berdasarkan kepada keridloan dan syariat islam. Sementara
itu dilihat dari tujuanya, akad bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk
melahirkan akibat hukum baru.
Sehingga akad dikatakan sah apabila memenuhi
semua syarat dan rukunya. Yang akibatnya transaksi dan objek transaksi yang
dilakukan menjadi halal hukumnya.
B. Dasar Hukum
Adapun dasar hukum dilakukannya akad berdasarkan Al-quran adalah surat Al-Maidah
ayat 1 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ ……… ١
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. …..”[5]
Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa memenuhi akad yang pernah
dilakukan atau disepakati adalah wajib hukumnya.
C. Rukun dan Syarat Akad
Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi
hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah :
1. Aqid adalah orang yang berakad.
2. Mauqud alaih adalah benda-benda yang diakadkan seperti benda-benda
yang dijual.
3. Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
4. Shighat al ‘aqd adalah ijab dan qobul, hal-hal yang harus diperhatikan
dalam shighat al ‘aqd (shighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul
yang merupakan rukun akad dinyatakan) adalah sebagai berikut:
a.
Harus jelas pengertiannya.
b.
Harus bersesuaian antara
ijab dan qobul.
c.
Menggambarkan kesungguhan
kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena
diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain, karena dalam tijarah harus saling
meridhoi.
d.
Beberapa cara untuk
menggambarkan kehendak akad:
1.
Secara tulisan (kitabah),
“tulisan itu sama dengan ucapan”
2.
Isyarat. Bagi oramg-orang
tertentu akad atau ijab dan qobul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan
tulisan , contoh orang yang bisu, Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan
lidah.
3.
Ta”athi (saling memberi).[6]
Disamping rukun, syarat akad juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun ayarat-syarat itu
adalah :
1. Syarat Adanya Sebuah Akad (Syarth Al-In-Iqod)
Syarat adanya akad adalah sesuatu yang
mesti ada agar keberadaan suatu akad diakui syara’. Syarat umum ini ada 3,
yaitu :
(1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi
pada empat rukun
(2) Akad itu bukan akad yang terlarang
(3) akad itu harus bermanfaat.
2. Syarat Sah Akad
Secara umum para fukaha menyatakan bahwa
syarat sahnya akad adalah tidak terdapatnya lima hal perusak sahnya dalam akad,
yaitu :
(1) ketidakjelasan jenis yang menyebabkan pertengkaran (al-jilalah)
(2) untuk adanya paksaan (ikrah)
(3) membatasi kepemilikan terhadap suatu barang (taufiq)
(4) terdapat unsur tipuan (gharar)
(5) terdapat bahaya dalam pelaksanaanakad (dharar)
3. Syarat Berlakunya Akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad
tidak tergantung pada izin orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu :
(1) Adanya kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas
(AL-Wilayah) untuk mengadakan akad, baik secara langsung atau pun perwakilan.
(2) Pada barang atau jasa tersebut tidak terdapat hak orang.
4. Syarat adanya kekuatan hukum (Luzum Abad)
suatu akad baru bersifat
mengikat apabila ia terbebas dari segala macam hak khiyar (hak untuk
meneruskan atau membatalkan transaksi).[7]
D.
Pembagian Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak akad yang
kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Mengenai
pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi
penggolongan-Nya. Secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad, anrata
lain :
1. Akad ditinjau dari tujuannya terbagi atas dua jenis :
a) Akad tabarru yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan
murni semata-mata karena mengharapkan ridlo dan pahala dari Allah SWT. Seperti
wakaf, wasiat, wakalah dll.
b) Akad tijari yaitu
akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan
syarat telah dipenuhi semuanya. Seperti murabahah, istishna’, dan ijarah.[8]
2. Berdasarkan sifatnya akad terbagi menjadi dua yakni shahih dan
ghair shahih.
a. Shahih, yaitu akad yang semua rukun dan syaratnya terpenuhi sehingga
menimbulkan dampak hukum. Shahih dibagi menjadi dua, yaitu: Nafidh dan
Mauquf .
1. Nafidh, yaitu akad yang tidak
tergantung kepada keizinan orang lain seperti akadnya orang yang akil, balig,
dan mumayyiz; Nafidh ada dua yaitu:
·
Lazim, yaitu akad yang
tidak bisa dibatalkan tanpa kerelaan pihak lain, seperti jual beli dan sewa.
·
Ghair lazim, seperti
wakalah dan pinjaman.
2. Mauquf, yaitu yang tergantung, seperti
akadnya fudhuli.
b. Ghair shahih, yaitu yang tidak
terpenuhi rukun atau syaratnya sehingga tidak menimbulkan menimbulkan dampak
hukum. Menurut hanafiyah ada dua:
1. Batil, yang ada kecacatan pada
rukunya, seperti qobul tidak sesuai dengan ijab.
2. Fasid, yang ada kecacatan pada syarat
atau sifatnya, seperti jual beli sesuatu yang tidak diketahui sifat-sifatnya.
Kedua-duanya tidak menimbulkan dampak
hukum. Batil dan Fasid sama saja bagi jumhur ulama, keduanya tidak menimbulkan
dampak hukum.
3. Berdasarkan hubungan dampak hukum dengan sighatnya:
munjiz,mudhof ilal mustaqbal dan mua’allaq. Berikut ini akan diuraikan satu per
satu.
a. Munjiz, yaitu akad yang sighatnya untuk cukup membuatnya terjadi
dan dampak hukumnya ada seketika (seperti jual beli).
b. Mudhof ilal mustaqbal sighatnya menunjukkan akad, namun dampak
hukumnya terjadi pada waktu akan datang yang telah ditentukan oleh kedua belah
pihak (saya sewakan rumah saya kepada anda seharga 20 dinar perbulan mulai
depan).
c. Mu’allaq, yaitu akad yang kewujudannya digantungkan kepada
kewujudan sesuatu lainnya (seperti, kalau saya pergi ke irak, maka kamu jadi
wakilku dalam perjualan rumahku).[9]
E. Hukum Akad dan Contoh Kasus
Dalam menghukumi suatu akad, maka sesuatu
yang harus diperiksa terlebih dahulu adalah rukun akadnya karena apabila salah
satu rukunya tidak terpenuhi maka akad yang dilakukan dapat dikategorikan tidak
sah. Selain melihat dari sisi akad syarat-syarat dalam akad juga harus dilihat
dan diperhatikan karena apabila syarat akad tidak terpenuhi maka tidak menutup
kamungkinan akad yan dilakukan tidak sah.
Untuk memperjelas maksut penulis, penulis
mencoba mengilustrasikan dalam contoh kasus berikut:
Disuatu daerah ada sebuah industry yang
mana industry tersebut mengolah dan memanfaatkan kotoran hewan ternak, seperti
sapi, kambing ataupun kerbau. Mereka memanfaatkan kotoran hewan tersebut untuk
dijadikan dan dimanfaatkan sebagai pupuk, yang mana pupuk kompos (pupuk dari
kotoran hewan) sangat berguna dalam membantu kesuburan tanaman.
Setelah mereka mengumpulkan kotoran hewan
ternak tadi, mereka mengolah kotoran tersebut dan dijadikan menjadi pupuk.
Setelah pupuk jadi mereka menjualnya kepada para petani untuk dimanfaatkan
sebagai pupuk untuk tanaman mereka.
Melihat dari contoh kasus tersebut. Islam
memandang kasus tersebut melalui kaca mata fiqh muamalah, yang mana salah satu
babnya menerangkan mengenai permasalahan itu.
Dilihat dari transaksinya kegiatan tersebut
menggunakan akad jual beli, yang mana hukum asal jual beli adalah boleh, seperti
yang termuat dalam al-quran surat Al-Baqoroh ayat 275:
…………..وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْۚ….. ٢٧٥
Artinya: “…Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… “
Melihat dari transaksi yang dilakukan
adalah boleh, namun kebolehan dari akad jual beli harus memenuhi semua
persyaatan dan rukun yang menyertainya. Sementara itu dilihat dari objek yang
dijual-belikan yakni kotoran hewan ternak, yang berdasarkan perspektif fiqh
adalah barang najis.
Suatu akad dapat dikatakan sah apabila
dalam pelakasanaan akad tersebut sudah sesuai dengan syariat islam. Yakni
memenuhi rukun dan syarat sahnya akad. Yang mana syarat sahnya akad seperti
dijelaskan diatas. Dimana kalau ditinjau dari yang melakukan transaksi sudah
dapat dikatakan sah, karena keduanya sudah rela dalam menjual dan membeli
barang tersebut. Sementara itu jika ditinjau dari shigoh yang dilakukan tidak
ada kecacatan sama sekali, sehingga dapat juga dikatakan sah. Namun jika
ditinjau dari aspek barang yang diperjual belikan yang mana barang yang
diperjualbelikan adalah kotoran hewan ternak, yang mana jika ditinjau dari
perspektif fiqh kotoran ternak adalah najis. Walaupun jika dilihat dari sisi
manfaat sudah memenuhi, yakni barang yang diperjual belikan bermanfaat untuk
kesuburan tanaman.
Namun jual beli yang dilakukan menjadi
tidak sah karena barang yang diperjual belikan tergolong benda naijs, dan benda
yang najis haram untuk diperjual beikan. Sehingga dapat dikatakan transaksi
yang dilakukan tidak sah.
Melihat dari permasalahan diatas sangat
disayangkan jika jual-beli yang dilakukan dihukumi haram, karena seperti yang
diketahui bersama pupuk memilki banyak sekali manfaat untuk kesuburan tanaman. Terus
bagaimana solusi agar akad tersebut menjadi sah, dan dalam memanfaatkan kotoran
hewan menjadi halal?
Menurut pandangan kelompok kami, kami
mencoba untuk berfikir diluar kotak, maksudnya kami mencoba berfikir dengan
tidak terfokus pada objek akad tersebut, yang mana seperti yang kita ketahui
bersama kotoran hewan ternak adalah najis dan tidak sah jika diperjualbelikan. Karena
jual-beli pada akad tersebut juga dihukumi tidak sah, maka kami juga mencoba
untuk tidak terfokus pada akad jual beli.
Dan solusi yang kami tawarkan adalah dengan
merubah akad yang semula jual beli mejadi akad ijaroh, atau upah mengupah,,
sehingga yang diperjual belikan bukan kotoranya tapi tenaga yang digunakan
dalam mengolah tersebut, atau dalam bahasa lain upah mengupah jasa. Sehingga kotoran
hewan masih bisa dimanfaatkan dan mempunyai hukum yg halal.
[2] Rafmad Syafe’i. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia
Bandung.2001.hal. 44
[7] Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana Jakarta.2013.hal 75
[8] Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana Jakarta.2013.hal 77
[9] Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H.
Andi Buchari, M.M., Islamic economis,Jakarta: Bumi aksara, hal 350
Posting Komentar