-->

Sistem ekonomi Kapitalisme, Antara keuntungan dan kerugian




Kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi yang bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dan pasar bebas dimana pemilik modal tersebut dapat melakukan usahanya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Kapitalisme muncul di Eropa Barat di akhir abad ke-15 tepatnya pada tahun 1492. Dalam sejarah Eropa, ada empat kejadian sejarah yang merupakan tonggak bagi lahirnya sistem kapitalisme.
Pertama, lahirnya system kapitalisme tidak bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18 yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang monumental “Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations” pada tahun 1776. Buku ini merupakan kumpulan ide dan gagasan dari para pemikir ekonomi. Dari buku ini dapat disimpulkan bahwa keserakahan dan kepentingan pribadi akan menimbulkan persaingan bebas (laissez-faire). Persaingan bebas ini akan mencegah penindasan oleh invisible hand karena setiap pemilik modal akan berusaha agar para pekerja tidak pindah ke lain majikan. sehingga keserakahan dan kepentingan pribadi akan menguntungkan orang banyak.
Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan, pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah sistem ekonomi yang sampai sekarang berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis. Buku  Smith sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar, kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar.
Kedua revolusi industri (1760 - 1860), Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang.
Ketiga, revolusi Perancis (1775 - 1799) yang merupakan revolusi kaum borjuis pertama yang menjadi lambang keruntuhan sistem feodal di Eropa. Lalu masuklah sistem kapitalis yang membuat sistem keserakahan menjadi hal yang wajar dan keserakahan dijadikan motor pembangunan ekonomi. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan  tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk).
Semangat liberalisme di Perancis pada zaman Pencerahan itu nampak pada semboyan ecrasez l ‘infame yang berarti “lenyapkan hal yang memalukan itu”. Dalam hal ini gereja katolik dan berbagai “supertisi yang diorganisasikan oleh gereja” dianggap sebagai hal yang memalukan. Filsafat politik liberalisme dengan didorong oleh rasionalisme, -yang mengatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala hal di dunia ini secara komprehensip-, kemudian melahirkan kapitalisme. Sesuai dengan prinsip “laissez faire, laissez passer”, mekanisme pasar yang terdiri dari “supply dan demand” akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya. Tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands) dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat (Rais, 1996: 91).
Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat. Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini (An-Nabhani, 1953: 24).
Kapitalisme memiliki banyak kelemahan, diantaranya yaitu terjadinya kesenjangan ekonomi yang sangat kontras antara golongan kaya dan miskin, timbulnya krisis yang mengakibatkan meningkatnya kriminalitas karena semakin banyaknya pengangguran, meningkatnya praktik monopoli secara empiris aplikatif dan yuridis sebagai bagian dari usaha melemahkan semangat persaingan, timbulnya kebebasan tanpa batas dalam pekerjaan dan alokasi kekayaan.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu kelemahan dari sistem kapitalisme adalah timbulnya krisis, menunjukkan betapa rapuhnya sistem ekonomi ini. Sebenarya, akar berbagai krisis yang terjadi hingga saat ini adalah karena sistem penerapan sistem kapitalis dimana sistem ini memperbolehkan pelaku bisnis melakukan spekulasi yang ditunjukkan oleh adanya transaksi derivatif sehingga sistem ini menyebabkan sektor non riil jauh lebih berkembang daripada sektor riil. Kapitalisme juga telah dianggap gagal karena sistem ini juga menimbulkan kesenjangan ekonomi  yang sangat parah seperti yang telah disebutkan di dalam kelemahan kapitalisme. Kesenjangan ini ditunjukkan oleh hasil penelitian lembaga the New Economics Foundation (NEF) Inggris. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada dekade 1980-ln, dari setiap kenaikkan pendapatan per kapita 100 dollar AS, kaum miskin hanya menikmati 2,2 dolar AS atau hanya 2,2%.
Dengan beberapa kelemahan dan kerugian yang ditimbulkan, maka muncullah pihak yang menentang sistem neoliberalisme. Pihak ini menamakan dirinya “Antiglobalisasi”. Namun ada beberapa pihak yang menyebut antiglobalisasi sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Gerakan Antiglobalisasi ini melihat bahwa banyak pemerintah dan lembaga-lembaga perdagangan bebas yang bertindak untuk kebaikan perusahaan multinasional. Dan tujuan bersama dari gerkan ini adalah mengakhiri status hukum perusahaan-perusahaan multinasional tersebut sebagai subjek hukum dan pembubaran atau pembaharuan dramatis atas Bank Dunia, IMF, dan WTO.