-->

Islam Nusantara; Sejarah dan Akar Kemunculan dan Metodologi Kajian



 Makalah Semester Akhir :D




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A.    Latar Belakang............................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
C.     Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
A.    Sejarah istilah "Islam Nusantara"...................................................................................3
B.     Pengertian Islam Nusantara........................................................................................... 4
C.     Karakteristik Islam Nusantara...................................................................................... 12
D.    Peran Para Ulama (Walisongo) Dalam Pengembangan Islam Nusantara..................... 19
E.     Praktek Islam Nusantara Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara..... 21
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 24
A.    Kesimpulan.................................................................................................................. 24
B.     Saran............................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 25




PEMBAHASAN

A.    Sejarah Istilah “Islam Nusantara”
Lahirnya wacana Islam Nusantara tak terlepas dari efek kekerasan yang mengatasnamakan Islam yang beberapa dasawarsa ini melanda dunia internasional.Sebut saja sejumlah pemboman dan pembunuhan yang berdalih membela Islam, muncul pemberontakan radikalis Islam di beberapa negara dan terakhir muncul ke permukaan kekejaman ISIS yang dengan kencang memproklamirkan Negara Islam.
Fenomena kekerasan yang mengatasnamakan Islam ini, tentu saja menimbulkan banyak efek negatif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Muncul Islamofobia di sejumlah negara Eropa, stigma teroris bagi orang Muslim, hingga kekerasan terhadap minoritas Muslim mendera beberapa belahan dunia.
Disisi lain, di negara-negara Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kehidupan umat Muslim menampilkan panorama yang santun, damai, toleran, dan menghargai perbedaan perlu ditransformasikan guna menghilangkan stiqma kekerasan atas nama Islam, yang kian melekat di mata dunia internasional.Oleh sebab itu perlu adanya suatu gagasan yang tekstual dan kontekstual untuk menangkal gerakan radikal mengatasnamakan Islam.
Azyumardi Azra, seorang intelektual Muslim ternama mengatakan Islam Nusantara bukanlah nama yang baru muncul, Islam Nusantara mengacu kepada gugusan kepulauan yang mencakup Malaysia, Pattani Thailand, Moro Filipina, Singapura dan Brunai, atau sering juga disebut Islam Asia Tenggara.[1]
Menurut Azyumardi Azra, seperti yang dikutip dari beberapa sumber terpercaya, menyebutkan doktrin Tauhid Islam Nusantara tidak berbeda dengan mayoritas Muslim ahlusunnah wal jamaah di dunia, meyakini doktrin Rukun Iman dan Rukun Islam secara utuh. Namun, pada sebagian praktek ibadah, dipengaruhi kebudayaan lokal, dan tasawuf seperti perayaan maulid nabi, walimatul ars, tahlilan dan lainnya.Singkatnya, Islam Nusantara sangat terpengaruh sejumlah tokoh pemikir Islam pertengahan. Seperti pemikiran kalam (teologi) Asy'ariyah, fiqih Syafi'i, tasawuf sunni al-Ghazali, dan praktek tokoh sufi seperti Abdul Qodir Jailani.
Berbeda dengan Islam Timur Tengah atau Saudi Arabia, yang cenderung saklek dan kaku, sebab hanya memiliki dua tokoh sentral pemikir. Seperti kalam (teologi) Salafi-Wahabi dan Fiqh Hambali, yang cenderung sangat tekstual.Makanya tak heran jika aliran ini dengan mudah mengkafirkan umat Islam lainnya, dan menganggap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah bid'ah.[2]
Selain itu, aliran ini sama sekali tidak mengakui adanya aliran tasawuf yang banyak dipraktekkan di Indonesia, bahkan dunia Islam pada umumnya.

B.     Pengertian Islam Nusantara
Islam Nusantara bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru, bukan pula agama pinggiran atau “Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim Nusantara.Islam Nusantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam Nusantara dikatakan Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya dimiliki kelompok Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan kelompok puritan yang punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”, selian itu hanya historis yang berubah-ubah di setiap saat. Berbicara tentang Islam Nusantara adalah berbicara tentang bagaimana Islam sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa ibu” penduduk Nusantara. Jadi sebutan Nusantara bukan menunjukkan sebuah teritori, tapi sebagai paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan juga kreatifitas intelektual.
Islam di Nusantara (Asia Tenggara) merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban Islam (sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam yang berpusat di Baghdad tahun 1258). Ketujuh cabang perdaban Islam itu secara lengkap adalah peradaban Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, Islam anak benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan yang disebut Arab Melayu tersebar di wilayah Asia Tenggara memiliki ciri-ciri yang universal.
Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan itu menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal, dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam yang bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat melayu kepada Islam terjadi bebarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara kedalam internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan Islam di Nusantara pada masa perdagangan terjadi karena adanya portabilitas (siap, pakai) sistem  keimanan Islam, Asosiasi Islam dengan kekayaan sehingga bisa memainkan peranan penting  dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik, kejayaan militer, memperkenalkan tulisan, mengajarkan penghapalan, kepandaian dalam penyembuhan, dan pengajaran tentang moral.
Melalui sebab-sebab tersebut Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedagang Muslim asal Arab, Persi, India diperkirakan telah sampai ke Nusantara untuk berdagang sejak abad ke-7 M (ke-1 H), ketika Islam di Timur Tengah mulai berkembang keluar dari jazirah Arab, teluk Oman, teluk Persi singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau lansung ke selat Malaka, terus ke timur ke Cina atau sebaliknya dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang pergi. Ada indikasi kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut pada abad ke- 9 M. Demikian juga kapal-kapal Nusantara mengambil bagian dalam perjalanan ini. Pada zaman Sriwijaya pedagang dari penduduk Nusantara telah mengunjungi pelabuhan Pantai Cina dan Pantai Timur Afrika.
Menurut  J.C. van Leur diperkirakan sejak 674 M telah ada koloni Arab di barat Laut Sumatera yaitu di Barus. Namun, menurut Taufik Abdullah pada masa itu belum ada bukti bahwa di tempat- tempat yang disinggahi pedagang Muslim sudah ada pribumi Nusantara yang beragama Islam. diduga para pemeluk Islam itu adalah para pedagang Muslim luar yang singgah dan tinggal sementara untuk menunggu angin musin yang akan mengantarkan kembali ke negeri mereka. Baru pada zaman berikutnya penduduk pribumi ada yang memeluk Islam. menjelang abad ke- 13 M masyarakat Muslim sudah ada di Samudra Pasai, Perlak, Palembang di pulau Sumatera. Sedangkan di Jawa, makam Fatimah Binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka abad ke-13 M menjadi bukti berkembangnya komunitas Muslim di pusat kekuasaan Jawa-Hindu di Majapahit.
Tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural masyarakatnya, Islam secara perlahan dan bertahap memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Maka pada akhir abad ke-13 M, ketika kerajaan Pasai secara pasti mulai berdiri, sementara kerajaan Islam di luar Nusantara justru mengalami kemunduran yang luar biasa. Di Perlak pada awal abad ke- 13 sudah ada pemukiman Muslim. Disebabkan karena saudagar Muslim pertama kali singgah di daerah ini setelah mengadakan pelayaran kearah barat menuju ke negerinya. Oleh karena itu, di tempat ini mereka lebih lama tinggal dan lebih lama bersentuhan dengan pribumi, terjadi perkawinan antara saudagar dengan putri setempat, dan keturunannya menjadi pendiri kerajaan Islam.
Ketika kerajaan Samudra Pasai sudah berdiri, perkembangan Islam makin meluas, bahkan ia pertama yang mempunyai kekuatan politik dan mempunyai hubungan internasional menjadi pusat politik Islam, dakwah Islam, dan ekonomi umat Islam. Pada 1350 Samudra Pasai jatuh oleh serangan Majapahit, digantikan oleh Malaka sampau tahun 1511. Malaka kemudian dihancurkan oleh Portugis, kerajaan Islam selanjutnya di pimpin oleh Aceh Darussalam. Puncak kebesaran Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang menguasai seluruh pelabuhan di Pesisir Timur Sumatera sampai Asahan dan pantai Sumatera Barat.
Dari Aceh kapal-kapal dagang memasuki selat Sunda menuju pelabuhan Jawa. Di Jawa proses Islamisasi sebenarnya sudah berlansung sejak abad ke-11 M. kerajaan Islam pertama di Jawa  yaitu Demak, berdiri diikuti kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat. Demak berhasil menggantikan Majapahit, dilanjutkan oleh kerajaan Pajang, kemudian Mataram. Ulama-ulama yang berperan mengembangkan Islam di Jawa adalah Wali Songo.
Pengaruh Islam ke Nusantara bagian timur, terutama Maluku, juga tidak lepas dari jalur perdagangan interansional dengan Malaka dan Jawa. Sejak abad ke- 14 M Islam sudah datang ke Maluku. Kerajaan terpenting di Maluku adalah Ternate dan Tidore. Sementara Islamisasi kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan berasal dari Demak dan Kalimantan Selatan di Islamkan oleh Dato Ri Bandang  dan Tunggang Parangan. Sulawesi Selatan sejak abad ke-15 M sudah didatangi pedagang Muslim, mungkin dari Malaka, Jawa, dan Sumatera. Di Gowa-Tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi 22 September 1605 dengan Sultan Alauddin (1591-1936) sebagai sultan yang pertama. Sesudah itu menyusul Soppeng, Wajo pada tanggal 10 Mei 1610 dan Bone Islam pada tanggal 23 November 1611.
Dalam perkembangan Islam dapat kita ketahui bahwa  Islam masuk dan berkembang di Nusantara di sebarkan oleh para Mubaligh, pedagang dari Arab, Persia dan Cina secara damai, toleransi dan persamaan derajat sehingga mengalami perkembangan yang pesat.[3]
Dilihat dari metode kajian islam nusantara itu sendiri memiliki beberapa pendekatan dan pendekatannya sebagai berikut:
1.      Pendekatan Sosiologis
Pada tahap awal Islamisasi, saluran perdagangan sangat dimungkinkan. Hal ini sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang dari Arab, Persia, India, China ikut ambil bagian dalam aktivitas perdagangan dengan masyarakat di Asia. Saluran Islamisasi dengan media perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan perdagangan ini, golongan raja dan kaum bangsawan lokal umumnya terlibat di dalamnya. Tentu saja ini sangat menguntungkan, karena dalam tradisi lokal apabila seorang raja memeluk Islam, maka dengan sendirinya akan diikuti oleh mayoritas rakyatnya. Ini terjadi karena masih kuatnya penduduk pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai oleh hierarki tradisional.
Perkawinan antara pedagang atau saudagar Muslim dengan perempuan lokal juga menjadi bagian yang erat hubungannya dengan proses Islamisasi. Islamisasi melalui saluran ini merupakan proses pengislaman yang paling mudah. Hubungan masyarakat Muslim dengan penduduk setempat terjadi sangat intens, sehingga memungkinkan sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal.[4] Dengan perkawinan tersebut, selain akan membentuk generasi-generasi baru Islam, juga akan besar pengaruhnya terhadap proses pengislaman selanjutnya.
Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam mulai tumbuh, meskipun masih bersifat individual. Kemudian, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan lenggar, mulailah secara bertahap dilangsungkan pengajian umum mengenai tulis baca Al-Qur’an dan wawasan keagamaan.[5] Bentuk yang paling mendasar dari bentuk pendidikan ini umumnya disebut pengajian Al-Qur’an.[6]Selain itu, ada lembaga pesantren yang diselenggarakn oleh guru-guru agama, kiai, atau ulama. Di lembaga inilah calon guru agam, calon kiai, atau calon ulama dididik. Mereka yang telah keluar dari pesantren kemudian menuju ke kampung masing-masing. Tidak jarang pula para raja atau kaum bangsawan mengundang para kiai atau ulama yang diangkat sebagai guru agama bagi keluarganya. Banyak juga kiai yang diangkat menjadi penasihat kerajaan, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memberikan pengaruh di bidang politik kepada raja-raja.
Bentuk Bangunan pada masjid kuno di Indonesia yang mengadaptasi pola-pola bangunan atau keyakinan Hindu tersebut menunjukan bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan strategi dakwah, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga bisa menarik orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya.[7] Dalam upacar-upacara keagamaan

2.      Pendekatan Filosofis
Kawasan Muslim Indonesia (Nusantara) yang terletak di pinggiran Dunia Islam mempresentasikan salah satu bagian Dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Kondisi semacam ini, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim Asia Tenggara lainnya, Islamisasi berlangsung secara gradual. Dampak dari cara Islamisasi semacam ini adalah bentuk dan keyakinan agama lama diubah secara lambat tanpa harus menghilangkan.[8] Meskipun demikian, perkembangan Islam di Asia Tenggara tetap berhubungan erat dengan Islam di Timur Tengah.[9] Ini merupakan kelanjutan dari jalinan perdagangan antara Nusantara dengan dunia internasional yang telah terbentuk begitu mapan di Nusantara.
Kebijakan-kebijakan politik pemerintah kolonial yang membatasi ruang gerak umat, tampaknya tidak menyurutkan semangat umat Islam di wilayah Indonesia untuk merajut jalinan intelektual dengan pusat-pusat studi Islam di wilayah lain. Karenanya, komitmen mereka kepada Islam baik secara spiritual maupun psikologis sangatlah dalam dan dinamis serta tidak banyak berbeda dengan masyarakat Muslim lainnya di mana pun juga. Bahkan, Howard M. Federspiel menegaskan bahwa lebih dari empat ratus tahun yang lalu Islam di Indonesia secara perlahan telah bergerak menuju sebuah bentuk agama yang lebih ortodoks, sedangkan ajaran-ajaran dan praktik-praktik menyimpang telah berkurang dalam periode waktu yang sama.[10]
Secara intelektual, Muslim Asia Tenggara selalu bersifat terbuka dan reseptif terhadap proses Islamisasi yang berlangsung terus-menerus yang merupakan ciri masyarakat itu selama berabad-aba. Sebaliknya, dengan ciri yang sama dengan kaum Muslim lainnya, mereka juga merupakan masyarakat yang mudah terkena perubahan yang menggangu mereka dari waktu ke waktu.[11] Fenomena tersebut terjadi karena lokasi kawasan Nusantara merupakan tempat persilangan jaringan lalu lintas laut yang menghubungkan benua Timur dan benua Barat.[12] Hal ini menyebabkan kepulauan Nusantara banyak disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing, termasuk dari Timur Tengah. Sejak Islam berkembang di Asia Tenggara, dinamika Islam di Timur Tengah memngaruhi wacana Islam di Dunia-Melayu-Indonesia.
Hubungan yang kuat dan intensif antara kedua wilayah tersebut telah tercipta sejak masa yang paling awal kehadiran Islam di Dunia Melayu-Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, hubungan antara ke dua wilayah itu hingga paro kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Pada fase pertama (sekitar abad ke-8 sampai abad ke-12), hubungan tersebut lebih bersifat ekonomis, hubungan ini berbentuk hubungan dagang yang lebih banyak diprakasai oleh orang-orang Islam Timur Tengah, terutama Arab dan Persia.
Fase kedua, yang berlangsung antara abad ke-12 sampai akhir abad ke-15, lebih bercorak keagamaan, selain hubungan ekonomis. Pada fase ini, Muslim Arab dan Persia (pedagang/pengemban sufi) mulai menintensifkan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Oleh karena itu, pada fase ini, hubungan-hubungan keagamaan dan kkultural terjalin lebih erat.[13]
Pada fase ketiga, yaitu sejak abad ke-16 samapai paro kedua abad ke-17, lebih bercorak politis di samping corak keagamaan. Pada masa ini ditandai dengan kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuatan Portugis dengan Dinasti Usmani di kawasan Lautan Hindia. Dalam periode ini, umat Islam di Nusantara mengambil banyak inisiatif untuk menjalin hubungan politik dan keagamaan dengan Dinasti Usmani.[14] Selain itu, Muslim di Nusantara mulai berperan aktif dalam dunia perdagangan di lautan Hindia tersebut. Sementara itu, hubungan-hubungan politik dan keagamaan juga mulai dijalin dengan para penguasa Haramayn menjelang paroo kedua abad ke-17. Pada fase ini, Muslim Nusantara semakin banyak yang datang ke Tanah Suci, yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara melalui ulama-ulama Timur Tengah dan orang-orang Nusantara yang belajar di sana. Mereka ini kemudian dikenal sebagai “murid-murid Jawi”
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum Muslim Melayu-Indonesia. Di Haramayn, muruid-murid Jawi ini membentuk sebuah “perkampungan” yag disebut “koloni Jawi”. Kegiatan orang-orang Jawi di daerh koloni tersebut juga mempunyai saham yang cukup besar dalam perkembangan Islam selanjutnya . Hal ini dapat dilihat dari aktivitas kebanyakan ulama “lulusan” Haramayn dalam menghembuskan angin pembaharuan Isla di Indonesia, seperti Nur al-Din al-Raniri, Syaikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Makasari, ‘Abd al-Shamad al-Palimbani.[15]
Pemebentukan tradi keulamaan Islam Indonesia dan keilmuan Islam Indonesia atau Asia Tenggara secara keseluruhan membangkitkan terbentuknya jaringan ulama. Jaringan ulama yang berpusat di Haramayn ini menyebar ke berbagai wilayah Dunia Islam, khusunya kawasan Afrika Utara dan Timur, Arabia Selatan dan Timur, Asia Selatan, Anak Benua India, dan Nusantara.[16] Para ulama dan murid yang terlibat dalam jaringan ulama ini mempunyai peranan penting dan krusial dalam pembaruan wacana serta praksis keislaman kaum Muslim pada tngkatan lokal. Jaringan ulama ini mempunyai dampak dan pengaruh yang signifikan terhadap dinamika wacana intelektual Islam di berbagai kawan lokal, seperti Indonesia.

3.      Pendekatan Historis
Setidaknya hingga pertengahan abad ke -15, umat Islam bukan saj telah menyebar luas ke seluruh kepulauan Indonesia, tapi secara sosial bahkan tlah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. Meskipun belum sepenuhnya mencapai ke pedalaman, mereka misalnya telah banyak membangun apa yang disebut sebagai “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di pesisir-pesisr pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi lanskap historis yang dominan di Indonesia ketika itu.
Meskipun jejak-jejak kedatangan Islam dapat dilacak sejak abad ke-11 M, misalnya dengan ditemukannya makam seorang wanita Muslim di Leran, Jawa Timur, pada 1082, tetapi perkembangan Islamisasi tampaknya baru mulai sejak akhir abad ke-13, dan lebih khusus lagi pada abad ke-14 dan 15, ketika pusat kekuatan pribumi terbesar, Majapahit, sedang mengalami kemunduran. Kita mungkin dapat sepakat dengan Kuntowijoyo yang mengutip Wertheim bahwa daya pikat utama agama baru ini adalah pada gagasan persamaannya, sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak dimiliki dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak-biru untuk oragansasi politiko-ekonomi”, dan dengan ini sedang dipersiapkan jalan bagi terjadinya proses-proses perubhan struktural baru, dari sistem agraris-patrimonial ke arah apa yang oleh Van Leur disebut sebagai sistem “kapitalisme-politik”.[17]
Seperti yang juga dibuktikan oleh Christine Dobbin[18] di tempat lain pada waktu lain, ”cetak-biru politiko-ekononi” inilah yang menyebabkan banyak kelas pedagang oribumi memeluk Islam untuk berpartisipasi dalam komunitas moral perdagangan Muslim internasional. Melalui Mlaka, yang sejak akhir abad ke-14 telah berkembang menjadi sebuah “enterpot state” (negara penyalur perdagangan lintas laut), kubu-kubu saudagar Muslim di pesisir Jawa seperti di Gresik, Giri, Tuban, Jepara, Demak atau Jayakarta, mulai mengadakan hubungan niaga dengan pusat-pusat dagang internasional seperti Mediterania di belahan barat, Siam di belahan utara, dan bahkan Jepang di belahan timur.
Apa yang patut dicatat dari perkembangan ini adalah bahwa Islamisasi telah menyebabkan teritegrasikannya kelas menengah saudagar Muslim dengan pusat-pusat perdagangan internasional, sehingga memberikannya basisi material bagi munculnya pelembagaan politik yang baru. Lahirnya negara maritim Demak pada awal abad ke-16 sebagai kerajaan Islam yang pertama di Jawa,[19] membuktikan hal itu. Pada saat itulah Islam muncul sebagai elemen integratif yang mampu menginkorporasikan kekuatan ekonomi, politik dan agama di dalam wadah negara.
Hampir sepanjang pertengahan pertama abad ke-16, Demak berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya melalui berbagai penaklukan militer dan ekonomi. Penaklukan-penaklukan itu memaksa sebagian besar kota pesisir dan wilayah pedalaman di Jawa Timur yang belum diislamkan tunduk di bawah kesultanan baru itu. Berturut-turut, Demak menguasai Tuban (1527), Madun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1530), Penanggungan (1543), Malang (1545), dan Kediri (1550). Di wilayah barat, Demak mensponsori pula didirikannya Banten dan Cirebon.
Akan tetapi segeralah terbukti bahwa integrasi antara agama , politik dan ekonomi itu mulai menghadapi tantangan-tantangan baru baik dari dalam maupun dari luar. Dicaploknya Malaka oleh Portugis ternyata berakibat fatal bagi Demak. iNi terjadi pada dekade pertama abad ke-16, saat ketika kekuatan Barat muncul pertama kali di Asia Tenggar. Di sini kita akan menegaskan pentingnya momen itu sebagai semacam “transisi sejara” yang berakibat besar bagi Asia pada umumnya dan bagi Indonesia pada khususnya.
Seperti diketahui, abad ke-16 adalah abad ketika apa yang disebut “merkantilisme Eropa” sedang berekspansi ke seluruh dunia. Dengan menggunakan perspektif Wallerstein, kita dapat mengatakan bahwa konteks internasional Asia sedang bergeser ke arah terbentuknya sistem perekonomian yang baru, yaitu kapitalisme merkantilis, yang menjadi cikal bakal terciptanya “sistem dunia” sebagaimana yang dikenal hingga sekarang ini.[20]Ekspansi merkantilisme Eropa yang didukung oleh kekuatan militer itu pada kenyataannya kemudian memang memudarkan apa yang disebut Anthony Ried sebagai “zaman perdagangan” Asia Tenggara.[21] Sejakitulah negeri-negeri “d bawah angin” ini akhirnya segera memasuki zaman baru, yaitu zaman kolonial.
Adalah pada konteks regional yang sedang mengalami “transisi historis” inilah, Demak muncul dan berkembang. Oleh karena itu kiranya dapat dipahami jika sejarah Demak begitu pendek hanya mampu bertahan sekita setengah abad jika dibandingkan misalnya dengan masa hegemoni Majapahit yang berlangsung selama tiga abad. Dengan terjadinya pergeseran-pergeseran besar dalam sistem perdagangan internasional Asia, Demak sebagaimana pusat-pusat perdagangan maritim lainnya di Nusantara bukan saja kehilangan basis perdagangan maritimnya,[22] tapi juga basis material bagi klaim legitimasinya baik secara politis maupun ideologis. Dalam hal inilah kita dapat mengatakan bahwa rangkaian peristiwa-peristiwa sejarahtelah terjadi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kekuatan integratif Islam gagal memainkan peranan historisnya di Jawa ketika itu, yaitu untuk memunculkan apa yang disebut Weber sebagai “wirtschafstgeist” baru. Sebaliknya, yang terjadi kemudian adalah nahwa dengan tumbangnya Demak, Muncullah kekuatan renaisans Hindu Jawa yang ingin menegaskan kembali basis ideologi pribuminya: negara agraris Patrimonial Mataram. Di sinilah kita akan mencatat bahwa rupanya Indonesia pada akhir abad ke-16, Islam menghadapi momentum historis yang tidak menguntungkan bagi perkembangannya sendiri, secara eksternal ia menghadapi ekspansi kapitalisme Barat dan secara internal menghadapi kebangkitan ideologi pribumi.
Seperti dikemukakan oleh Kuntowijoyo, kemunculan Mataram pada awal abad ke-17 sesungguhnya juga didasari oleh logika ekonomi, yakni untuk merespon meningkatnya permintaan beras dalam perdagangan antarpulau dan perdagangan internasional.[23] Dengan mengambil basis geografisnya di daerah pedalaman Jawa yang sangat subur, secara efektif Mataram akhirnya memang muncul sebagai pemegang monopoli beras. Untuk mempertahankan statusnya ini ia kemudian menyerang dan menaklukan kubu-kubu perdagangan Muslim peninggalan Demak yang selama itu relatif independen, untuk diintegrasikan ke dalam sistem perekonomian agrarisnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo, dengan munculnya birokrasi yang terpusat di bawah Mataram, kelas pedagang Muslim yang relatif mempunyai otonomi politik di banyak wilayah pesisir, akhirnya takluk kepada kenyataan politik akan adanya sebuah negara agraris feodal di pedalaman. Inilah tahap ketika konstelasi kekuasaan di Jawa bergeser dari pesisir ke pedalaman, bersamaan dengan bergesernya basis material dari perdagangan maritim ke pertanian agraris. Dalam kerangka inilah Islam mengalami periferalisasi.
Setelah muncul sebagai kekuatan integratif yang berhasil menggabungkan kekuatan ekonomi dan politik di dalam kerangka idologi baru berdasar agama, Islam yang pertama-tama didukung oleh kelas menengah pedangang itu, digeser ke pinggir oleh dua kekuatan sejarah: yang pertama oleh munculnya kapitalisme merkantilis Eropa yang segera berkembang menjadi kolonialisme, dan yang kedua oleh kebangkitan kembali patrimonialisme pribumi dengan corak perekonomiannya yang agraris feodal.[24]
Konfigurasi antara kolonialisme dan feodalisme iilah yang menjadi latar historis sepanjang abad ke-17, 18, dan 19. Sebagai kelompok yang tergusur oleh dua kekuatan sejarah sekaligus, Islam akhirnya mengalami degenerasi secara betingkat-tingkat. Secara ekonomis, ia misalnya telah kehilangan basisnya di pesisir baik karena operasi maritimnya dirompak oleh Belanda, maupun karena perdagangan daratannya diekspansi Mataram. Kelas saudagar muslim telah dihancurkan, dan dalam kerangka perekonomian feodal agraris mereka mengalami apa uang disebut sebagai proses “peasantization” (petanisasi) dan “ruralisation”. Secara simbolik dan kultural, ini berarti digantikannya etos pedagang yang mobil, kosmopolit dan bercorak urban, dengan mentalitas petani yang statis, “localised” dan agraris. Proses ini pula yang menyebabkan terjadinya transformasi sistem pengetahuan dan deformasi mode religiutas, dari yang bercorak rasional menjadi yang bercorak mitis. Secara sosial, proses “peasantization” dan “ruralisation” itu juga berati degradasi kelas, yakni dari kelas menengah urban dengan corak ekonomi perdagangan ke kelas bawah agraris dengan sistem ekonomi petrimonial feodal.
Sesungguhpun demikian, secara politik, periferalisasi Islam juga telah memberikan kepada para pengikutnya semacam kesadaran oposisi untuk membangkitkan pelbagai bentuk perlawanan. Fenomena pembangkangan para Sultan pesisir kepada Mataram di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, demikian juga oposisi para ulama kepada Amangkurat I pada pertngahan abad ke-17, hingga pemberontakan Diponegoro yang menimbulkan perang Jawa, serta protes-protes petani yang berlangsung secara sporadis sepanjang abad ke-19, memperlihatkan hal itu. Tentu saja basis pembangkangan dan oposisi Islam selalu mengandung  motif religius dan keagamaan, tapi yang lebih penting lagi adalah bahwa fenomena oposisi Islam juga selalu mempunyai sebab-sebab sosial dan ekonominya—. Dan ini jelas memperkuat dugaan bahwa oposisi Islam sebagai suatu gerakan religio-polik, senantiasa berakar pada kenyataan akan adanya periferalisasi dan alienasi umat dari proses-proses ekonomi dan politik. Bahawa kemudian bentuk-bentuk oposisi Islam berada pada kisaran antara yang bercorak utopis seperti yang diperlihatkan dalam perlawanan-perlawanan spanjang abad ke-19, sampai pada yang bercorak ideologis seperti yang tampak dalam fenomena-fenomena abad ke-20 hingga tahun-tahunn 1960-an, hal ini hanya memperlihatkan variasinya karena perbedaan latar sosio-kultural dan ekonomi-politiknya.

C.    Karakteristik Islam Nusantara
Menurut istilah, Islam Nusantara harus bermula memahami pola dan karakter keislaman masyarakat muslim nusantara yang memang mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan corak keislaman Timur Tengah, tempat asal islam itu berkembang. Gagasan islam nusantara bukan sebuah aliran baru sebagaimana sempalan dan firqah, tetapi adalah sebagai upaya yang mencoba memotret keislaman dalam domain kawasan, sebagaimana yang pernah disarankan oleh Gusdur yang menantang para ilmuan islam untuk membuat teoritik apa yang disebut dengan studi islam berdasarkan kawasan. Gusdur telah membuat hipothesa bahwa ada enam studi kawasan islam : kawasan Timur Tengah, Afrika, daratan India, Asia Tengah termasuk Rusia, Nusantara dan Eropa. Menurut Gusdur masing-masing memiliki karakteristik yang menonjol.
Dalam konteks karakteristik islam nusantara dapat dilihat setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu :
a.       Pertama islam nusantara adalah hasil produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya sebagai wali songo, yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran inti islam. Karenanya islam dapat berkembang dengan cepat tanpa kekerasan. Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara Anwar Ibrahim, sebagai sebuah proses pengislaman yang terbaik.
b.      Kedua, penganut setia faham Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol dalam diri Islam Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara berpikir islam timur tengah.
c.       Ketiga, para ulama atau masyarakat islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan dan asal pilih. Selama ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka yang mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah sserta mereka yang mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar independen, sehingga hasil ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang lengkap dan hati yang jernih tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat islam nusantara dalam bidang fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali. Namun demikian yang paling populer dan yang diajarkan dan menjadi pilihan faforit  adalah mazhab syafi’i, sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat Islam Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
d.      Keempat, mayoritas masyarakat islam nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu tarekat berkembang dengan subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan antara lain Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain sebagainya yang sangat populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah kemudian islam nusantara menjadi islam  yang sangat harmoni, toleran, dan menghargai pluralitas sebagai watak asli ajaran tasawuf.
e.       Kelima, dalam bermasyarakat mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam nusantara telah mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari landasan ajaran islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam pemaksaan agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non muslim dalam pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam adalah hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat menyebabkan pertentangan antara kedua belah pihak
f.       Keenam, adaptasi budaya secara alami masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan lokal tidak dapat dihilangkan saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri sebuah bangsa selama tidak bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam alquran bahwa allah menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan berbangsa bangsa (syu’uba) lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling pengertian) tentang suku bangsa, tentu juga dengan budaya.
g.      Ketujuh, visi islam rahmatan lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat islam berusaha mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi. Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia maupun diakhirat.
h.      Kedelapan, dalam memahami nash menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i, seperti wajibnya solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman, dan sebagainya. Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi. Sedangkan dalam kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash.[25]

1.      Fiqih Nusantara
Sejak Islam mulai tersebut luas di kawasan ini, bahasa Melayu pun mempunyai peranan sebagai salah satu wahana pengantar agama Isla. Sejak abad ke-16, bahasa Melayu mencapai kedudukan sebagai “bahasa Islam” sebagaimana bahasa Persia dan Turki. Bahkan, bahasa Melayu merupakan salah satu unsur pemersatu Islam Nusantara yang terdiri dari berbagai etnis itu.[26] Banyak sastra berbahasa Melayu, terutama sastra keagamaan, yang ditulis dalam huruf Jawi. Huruf Jawi merupakan adaptasi dari huruf Arab untuk menuliskan lafal-lafal atau kalimat bahasa Melayu. Berdasar pada huruf-huruf Arab “jim” (), “ain” (), “fa” (), “kaf” (), “ya” (), maka lambat laun tercipta lima huruf yang masing-masing menandakan bunyi-bunyi yang lazim pada bunyi lidah Melayu. Kelima huruf yang tercipta itu ialah : “ca”, “nga”, “pa”, “ga”, “nya”.[27] Jenis huruf ini yang biasanya untuk menuliskan kitab keagamaan berbahasa Jawa.[28] Dengan cara inilah para ulama kita menuliskan karya-karyanya untuk konsumsi masyarakat Muslim Melyu-Indonesia, termmasuk kitab-kitab Fiqih.
Salah satu kitab fiqih awal di Nusantara adalah Shirath al-Mustaqim, karya Nur al-Din al-Ranniri. Dia sangat tegas dalam hal transendensi Allah. Tentu saja, dia sangat menekankan pentingya syariat dalam praktik sufistik. Untuk tujuan itu, al-Raniri menulis Shirath al-Mustaqim dalam bahasa Melayu. Dalam karya ini, dia menegaskan tentang tugas utama dan mendasar setiap orang muslim dalam hidupnya. Dengan menggunakan garis besar yang telah dikenal dalam berbagai karya fiqih, al-Raniri secara terperinci menjelaskan berbagai hal yang menyangkut thaharah, bersuci (wudhu), shalat, zakat, puasa (shaum), haji (hajj), kurban, dan semacamnya. Ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama yang cukup lengkap dalam bahasa Melayu sehingga menjadi pegangan dan standar dalam  berbagai kewajiban dasar kaum Muslim.
‘Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-1693), karya utama al-Sinkili dalam fiqih adalah Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah al-Malik al-Wahhab. Karya ini membahas tantang aspek-aspek fiqih, termasuk dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum Muslimin. Dia merupakan ulama pertama yang di wilayah Melayu-Indonesia hingga masa belakangan. Al-Sinkili, melalui Mir’at al Thullab tersebutt, telah menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu-Indonesia bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja. Karena mencakup topik-topik yang begitu luas, kitab ini jelas merupakan suatu karya di bidang tersebut. Karya ini telah beredar luas, meskipun sekarang tidak lagi digunakan di Nusantara.
Dalam periode abad ke-18, Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) merupakan ulama yang membantu perkembangan syariat di Nusantara. Karya utama Arsyad al-Banjari dalam bidang fiqih adalah Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi ‘Amr al-Din. Kitab ini membahas aturan-aturan terperinci aspek ibadah (ritual) dalam fiqih. Menurut Azyumardi Azra, kitab ini pada dasarnya merupakan penjelasan, atau sampai batas-batas tertentu adalah revisi, atas karya al-Raniri, Shirath al-Mustaqim. Karya al-Raniri tersebut dipandang kurang dapat dipahami oleh masyarakat Islam di wilayah-wilayah lain di Melayu-Nusantara karena banyak digunakan istilah dalm bahasa Aceh.[29] Walaupun Sabil al-Muhtadin termasuk kitab yang cukup tebal, tapi pemikiran fiqihnya tidak begitu luas. Masalah ibadah adalah topik utama dalam kitab itu. Tentang muamalat, faraid, nikah, hudud, dan jihad tidak masuk dalam kitab itu.[30]
Doktrin-doktrin hukum Islam,selain Arsyad al-Banjari, juga dikembangkan lebih lanjut oleh Daud al-Fatani. Dia merupakan figur seorang ulama yang berhasil dalam usahanya mendamaikan antara aspek syariat dan aspek mistis. Karya al-Fatani adalah Bughyat al-Thullah al-Murid Ma’rifat al-Ahkam bi al-Shawab yang membahas tentang fiqih ibadah (fiqh al-ibadah) dan Furu’ al-Masail wa Ushul al-Masailyang membicarakan aturan-aturan dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari.[31] Selanjutnya, disusul dengan terbitnya beberapa kitab yang lebih kecil, seperti Jami’ al-Fawaid mengenai kewajiban kaum Muslimin terhadap sesma Muslim dan non-Muslim, Hidayat al-Muta’alim wa ‘Umdat at-Mu’allim mengenai fiqih secara umum, Muniyyat al-Mushalli mengenai shalat, Nahj al-Raghibin fi Sabil al Muttaqin mengenai transaksi-transaksi perdagangan, Ghayat al-Taqrih mengenai warisan (faraidh), Imdat al-Bab li Murid al-Nikah bi al-Shawab yang mengulas tentang perkawinan dan perceraian.

2.      Tasawuf Nusantara
Kajian Tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan keagamaan sebagian kaum muslimin Indonesia, terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini. Berikut tokoh-tokoh tasawuf Nusantara dan pokok-pokok ajarannya :
a)      Hamzah Fansuri
Ajaran –ajaran Hamzah Fansuri dapat dijelaska sebagai berikut[32] :
1)      Wujud, menurutnya yang disebut wujud itu hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah merupakan pernyataan saja daripada wujud yang hakiki, dan wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah. Wujud itu mempunyai tujuh martabat, namun hakikatnya satu. Martabat tujuh itu adalah: [1]Ahadiyah, yakni hakikat sejati dari Allah; [2]Wahdah, yaitu hakikat dari Muhammad; [3]Wahidiyah, yaitu hakikat dari Adam; [4]Alam Arwah, yaitu hakikat dari nyawa; [5]Alam Mitsal, yaitu hakikat dari segala bentuk; [6]Alam Ajsam, yaitu hakikat tubuh; dan [7]Alam Insan, yaitu hakikat manusia. Dan semuanya berkumpul (wahdah) ke dalam yang satu, itulah Ahadiyah, itulah Allah dan itulah Aku.
2)      Allah. Menurut Hamzah, Allah adalah Dzat yang mutlak dan Qadim, sebab pertama dan pencipta alam semesta. Menurutnya dalam Asrar al’Arifin disebutkan: “Ketika bumi dan langit belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang ada pertama? Yang pertama adalah Dzat, yang ada pada dirinya sendiri, tiada sifat dan tiada nama, itulah yang pertama.”
3)      Penciptaan. Menurutnya sebenarnya hakikat dari Dzat Allah itu adalah mutlak dan la ta’ayyun (tak dapat ditentukan/dilukiskan). Dzat yang mutlak itu mencipta dengan cara menyatakan diri-Nya dalam suatu proses penjelmaan, yaitu pengaliran keluar dari diri-Nya (tanazzul) dan pengaliran kembali kepada-Nya (taraqqi).
4)      Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalah tingkat yang paling penting, dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna, ia adalah aliran/pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Hal ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
5)      Kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil, namun karena gaflah/lalinya maka pandangannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.
b)      Syamsuddin Sumatrani
Pokok-pokok ajarannya adalah[33]:
1)      Tentang Allah. Syamsuddin mengajarkan bahwa Allah itu Esa adanya, Qadim, dan Baqa. Suatu Dzat yang tidak membutuhkan ruang, waktu, dan tempat dan mustahl dapat dibayangkan kemiripannya dengan sesuatu apa pun juga.
2)      Tentang Penciptaan. Sufi ini menggambarkan tentang penciptaan dari Dzat yang mutlak itu dengan melalui tahp tingkatan, mulai dari ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan.
3)      Tentang Manusia. Ia berpendapat bahwa manusia seolah-olah semacam objek ketika Tuhan menzahirkan sifatnya. Semua sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia ini hanyalah sekadar penggambaran dari sifat-sifat Tuhan dan tidak berarti bahwa sifat-sifat Tuhan itu sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena sifat-sifat itu adalah sifat ma’ani bagi Allah (hakikatyang terdalam dari sifat-sifat qudrat, iradat, ‘ilmu, sama’, bashar, kalam).
c)      Nuruddin al-Raniri
Pada saat Nuruddin berada di Aceh (1637 M) suasana politik dan agam di Aceh sudah berubah. Syekh Syamsuddin telah meninggal dunia pada tahun 1630 dan enam tahun sesudah itu Sultan Iskandar Muda mangkat (1636). Ia diganti oleh menantunya yaitu Iskandar Tsani yang berasal dari Pahang dan memberikan kedudukan yang sangat baik bagi Nuruddin dalam istana dan kerajaan Aceh. Karena kepercayaan dan perlindungan Sultan, Nuruddin memperoleh kesempatan baik untuk menyerang dan membasmi ajaran wujudiyyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Selama bermukim di Aceh, Nuruddin tidak berhenti menulis dan berdebat melawan penganut ajaran wujudiyyah. Berkali-kali majelis perdebatan diadakan di istana dan terkadang disaksikan oleh Sultan sendiri. Dalam perdebatan itu Nuruddin dengan segala kecerdikan dan kemampuannya memperlihatkan kelemahan dan kesesatan ajaran wujudiyyah yang menurutnya sangat bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis serta meminta mereka bertobat dan kembali kepada ajaran yang benar. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil seperti yang diharapkan, orang-orang yang tidak  mau bertobat itu dihukum kafir yang halal dibunuh dan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman Masjid Baiturrahman.
Rupanya pembunuhan kaum wujudiyyah ini ada kaitannya dengan kegiatan kelompok lain yang mengarah kepada perbutan kekuasaan. Karena itu Sultan Iskandar Tsani bertindak keras dengan membunuh mereka secara besar-besaran dengan cara yang sangat kejam dan mengerikan.

D.    Peran Ulama (Walisongo) dalam Pengembangan Islam Nusantara
a)      Pendidikan
Peran  walisongo  di  bidang  pendidikan  terlihat  dari  aktivitas  mereka dalam  mendirikan  pesantren,  sebagaimana  yang  dilakukan  oleh  Sunan  Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang. Sunan  Ampel  mendirikan  pesantren  di  Ampel  Denta  (dekat  Surabaya) yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa.[34] Muridnya  antara  lain Raden  Paku  (Sunan  Giri),  Raden  Makdum  Ibrahim  (Sunan  Bonang),  Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama  dari  Kerajaan  Islam  Demak),  Maulana  Ishak,  dan  banyak  lagi.
Sunan  Giri  mendirikan  pesantren  di  daerah  Giri.  Santrinya banyak   berasal  dari  golongan  masyarakat  ekonomi  lemah.  Ia  mengirim  juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti Madura, Bawean, Kangean,  Ternate  dan  Tidore.
Sunan  Bonang  memusatkan  kegiatan  pendidikan dan  dakwahnya  melalui  pesantren  yang  didirikan  di  daerah  Tuban. Sunan Bonang   memberikan  pendidikan  Islam  secara  mendalam  kepada  Raden  Fatah, putera raja  Majapahit,  yang kemudian  menjadi  sultan pertama  Demak.  Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.
b)      Politik
Beberapa wali sanga menjadi penasehat kerajaan. Sunan Gunung Jati bahkan menjadi raja.[35] Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Isterinya berasal dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah murid beliau. Dekatnya  Sunan  Ampel  dengan  kalangan  istana  membuat  penyebaran  Islam  di daerah Jawa  tidak  mendapat  hambatan,  bahkan  mendapat  restu  dari  penguasa kerajaan.
Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu  dalam penobatan raja. Setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang  lain  selalu  menantikan  keputusan  dan  pertimbangannya.  Sunan  Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.
c)      Dakwah
Peran  walisongo  yang  sangat  dominan  adalah  di bidang  dakwah,  baik  dakwah  bil  lisan  maupun  bil  hal.  Sebagai  mubalig, walisongo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam.  Sunan  Muria  dalam  upaya  dakwahnya   selalu  mengunjungi  desa-desa terpencil. Salah satu  karya yang monumental dari walisongo adalah mendirikan mesjid  Demak.  Hampir  semua  walisongo  terlibat  di  dalamnya.  Adapun  sarana yang  dipergunakan  dalam  dakwah  berupa  pesantren-pesantren  yang  dipimpin oleh  para  walisongo   dan  melalui  media  kesenian,  seperti  wayang.  Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan  menyisipkan  nafas  Islam  ke  dalamnya.  Syair  lagi  gamelan  ciptaan  para wali  tersebut  berisi  pesan  tauhid,  sikap  menyembah  Allah  dan  tidak menyekutukan-Nya.
d)     Seni Budaya
Sunan  Kalijaga  terkenal  sebagai  seorang  wali  yang  berkecimpung  di bidang  seni.  Sebagai  budayawan  dan  seniman,  banyak  karya  Sunan  Kalijaga yang menggambarkan pendiriannya. Di antaranya adalah gamelan, wayang kulit, dan  baju  takwo.[36]  Sunan  Ampel  menciptakan Huruf  Pegon  atau  tulisan  Arab berbunyi  bahasa  Jawa.  Hingga  sekarang huruf  pegon  masih  dipakai  sebagai bahan  pelajaran  agama  Islam  di  kalangan  pesantren.  
Sunan  Giri  juga  sangat berjasa  dalam  bidang  kesenian,  karena  beliau  menciptakan  tembang-tembang dolanan anak-anak yang bernafaskan Islam. Sunan Drajat juga tidak ketinggalan untuk  menciptakan  tembang  Jawa  yang  sampai  saat  ini  masih  digemari masyarakat, yaitu Gending Pangkung, semacam lagu rakyat di Jawa. Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gemelan.

E.     Praktek Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Agama Islam sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat. Dalam hal inilah Islam sebagai agama sekaligus menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di satu sisi berbagai budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak secara otomatis hilang dengan adanya Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
Setiap bulan Rabi’ulawwal tahun Hijriyah, sebagian besar umat Islam Indonesia menyelenggarakan acara mauludun. Maksud dari acara tersebut adalah untuk mengenang hari kelahiran Rasulullah saw. Dalam acara tersebut diadakan pembacaan sejarah hidup Nabi Muhammad saw melalui kitab Al- Barzanji atau Situddurar. Puncak acara biasanya terjadi pada tanggal 12 rabiulawwal, dimana tanggal tersebut Rasulullah saw dilahirkan. Di Aceh tradisi mauludun adalah sebagai pengganti upeti atau pajak bagi kerajaan Turki, karena Kerajaan Aceh memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan Turki.
Tradisi kelahiran di Jawa ada istilah ngapati, mitoni .artinya upacara itu diadakan ketika kandungan seorang wanita mencapai umur 4 bulan. Dalam upacara 4 bulan seorang wanita melakukan adat siraman untuk melindung bayi dan ibunya. Hal ini adalah kepercayaan dalam adat Jawa, namun Islam mengikuti tradisi ini karena pada saat kandungan 4 bulan itulah calon bayi akan ditiupkan rohnya oleh Allah swt, dan ditentukan takdirnya baik rejeki, jodoh dan kematiannya. Sehingga pada tradisi 4 bulanan ini diadakan sedekah dan pembacaan doa-doa atau dibacakan ayat suci Al-Qur’an.Kemudian pada usia kandungan 7 bulan, masa ini adalah masa dimana kandungan sudah siap untuk menerima segala proses kehidupan di dunia. Untukitulah diadakan tradisi pembagian sedekah, karena sedekah adalah salah satu cara untuk menolak bala. Berikutnya ketika bayi sudah lahir diadakan upacara sepasaran atau lima hari, dengan tujuan untuk keselamatan bayi dan membagikan masakan kepada tetangga. Dalam Islam sebelum makanan dibagikan ada tradisi membacakan doa. Setelah itu pada hari ke tujuhnya diadakan akikah, hal ini bersumber dari ajaran Islam. Akikah artinya menyembelih hewan kambing untuk anak yang baru saja dilahirkan.
Pelaksanaan acara akad nikah atau ijab qabul biasanya diselenggarakan dengan syariat Islam. Tetapi dalam upacara pernikahan atau resepsi menggunakan budaya jawa. Sebelum akad nikah diadakan siraman kembang setaman, kemudian dalam rumah untuk resepsi ada hiasan dekorasi yang berisi bunga-bunga. Didepan gapura juga ada janur kuning dan sebagainya. Hal itu belum tentu meninggalkan syariat agama Islam, oleh sebab itu harus mencari nilai filosofi yang ada dalam simbol-simbol tersebut. Siraman kembang setaman artinya supaya wanita yang akan menikah mandi taubat dengan bunga, bunga dilambangkan sebagai kesucian dan harum, jadi wanita yang hendak menikah benar-benar dalam keadaan suci dan harum ketika hendak ijab kabul. Sedangkan dekorasi bunga-bunga adalah wujud dari kasih sayang sepasang pengantin, bunga sebagai perlambang bahwa pernikahan adalah kebahagiaan suami dan istri. Untuk janur kuning yang dipasang di depan rumah adalah dengan tujuan agar acara resepsi mendapatkan cahaya barakah dari Allah swt. Janur berasal dari lafadz bahasa arabja a nurun artinya telah datang cahaya. Dan masih banyak lagi adat-adat yang perlu kalian ketahui dan mengambil hikmah dari sana.  Demikian simbol-simbol yang perlu kamu ketahui. Hal ini bukanlah musyrik, semuanya adalah simbol sebagai bentuk ungkapan kebahagiaan dari pasangan pengantin.
Kewajiban umat Islam terhadap orang Islam yang meninggal ada empat yaitu memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan. Keempat ini harus segera dikerjakan agar si mayit merasa tenang dialamnya.Tradisi di Indonesia ketika ada kematian atas seorang Islam, maka akan diadakan pembacaan talqin dan tahlil. Hal ini bertujuan untuk mendoakan agar arwah yang meninggalkan dunia selamat dan diterima disisi-Nya. Tradisi selanjutnya adalah menyelenggarakan upacara selamatan atau mendoakan pada waktu tertentu, seperti 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai 1000 harinya. Tradisi ini oleh para ulama’ diselaraskan dengan agama Islam. Pada upacara selamatan biasanya hanya duduk-duduk, minum dan makan-makan, maka setelah Islam datang ditambah dengan memperdengarkan ayat Al- Qur’an, dzikir-dzikir kepada Allah swt. Maksud dan tujuannya adalah untuk menghibur keluarga dan mendoakan mayit. Kamu harus mengetahui bahwa kewajiban mendoakan saudara bukan yang masih hidup saja tetapi yang sudah meninggal pun harus didoakan.Sedangkan dalam tradisi ziarah juga mengalami perpaduan, orang Islam pergi ziarah hanya mendoakan mayit, sedangkan dalam tradisi menggunakan bunga.
Sampai sekarang masih banyak masyarakat yang memegang tradisi perpaduan Islam dan Hindu. Hal ini tidaklah mengapa, karena masyarakat Indonesia terkenal dengan simbol-simbol yang dapat melambangkan makna kehidupan yang sejati. Hal ini bukanlah bentuk kemusyrikan. Karena tradisi tersebut adalah upaya untuk menyiarkan Islam secara damai.

 





PENUTUP

Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Islam masuk Ke Nusantara pada abad ketujuh Masehi. Islam datang pertama kali dibawa oleh para pedagang dari Arab yang kemudian diikuti oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat. Penyebaran Islam ke Nusantara bukan dengan cara kekerasan, akan tetapi dengan kedamaian. Hal itulah yang memudahkan Islam untuk diterima di Nusantara. Islam disebarkan di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu dengan perdagangan, pendidikan, dakwah, perkawinan, tasawuf, kesenian dan politik. Dalam perkembangannya Islam masuk ke Nusantara pada abad ketujuh Masehi ini bisa dibuktikan setelah melakukan penelitian dan dengan ditemukannya benda-benda yang memperkuat bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ketujuh Masehi. Selain daripada itu, dalam perkembangannya berdirilah kerajaan- kerajaan yang berlandaskan Islam. Kerajaan Islam yang pertama adalah Kerajaan Samudra Pasai. Setelah kerajaan ini maka berdirilah kerajaan- kerajaan Islam lain yang tersebar di hampir seluruh Nusantara terutama di Sumatera dan Jawa.

Demikianlah makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA


Azra, Azyumardi. 2002. Islam Nusantara : Jaringan Global dan Lokal. Bandung : Mizan.
Huda, Nor. 2007. Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung :  Mizan.
Husni Rahim. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam: Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Karel A. Streenbrink, 1995. Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), terj. Suryana A. Jamrah. Bandung: Mizan.
Fauzan Saleh, 2001. modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey Leiden, Boston, Koln: Brill.
Omar Faruk, 1993.  “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah menuju Kebangkitan Islam”, dalam Saiful Muzani, (ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.
Sartono Kartodirdjo, 1992. Pengantar Indonesia Baru, 1500-1900: dari Emporium sampai Imperium, Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Azyumardi Azra, 19999. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Bandung: Mizan.

http://pisdonimardianto  SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DINUSANTARA.html.


[1]Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002)
[3] pisdonimardianto  SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DINUSANTARA.html.
[4] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 3
[5] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam: Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 6
[6] Karel A. Streenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), terj. Suryana A. Jamrah (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 117
[7] Ibid., hlm. 193-194
[8] Fauzan Saleh, modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden, Boston, Koln: Brill, 2001), hlm. 1
[9] Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002, hlm. 90
[10] Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse, hlm. 2
[11] Omar Faruk, “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah menuju Kebangkitan Islam”, dalam Saiful Muzani, (ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993), hal. 23
[12] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Indonesia Baru, 1500-1900: dari Emporium sampai Imperium, Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 1
[13]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 57
[14] Ibid., hlm. 58
[15] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia: 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 33
[16] Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 61
[17] J.C. Van Leur, op cit., hal. 122-123
[18] Christine Dobbin, “Islam and Economic Change in Indonesiacirca 1750-1930”, dalam J.J. Fox, Indonesia: The making of a Culture, Research School of Economic Studies, The Australian National University, Canberra, 1980, hal. 247-261
[19] H.J. de Graaf dan Th.G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: peralihan dari Majapahit ke Mataram, (Jakarta, Grafiti Press, 1985), bab VII dan VIII
[20] Immanuel Wallerstein, The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origin of the European World-Economy in the Sixteenth Century, (Academic Press, New York, 1974).
[21] Anthony Ried, Southeast Asiaa in the Age of Commerce 1450-1650 (Volume One: The Land below The Wind), Yale University Press, New Haven and London, 1988.
[22] A.R.T. Kemasang, “Bagaimana Penjajah Belanda menghapus Borjuasi Domestik di Jawa”, terj. Ariel Heryanto dari Review IX,1, September 1985, hal. 57-80
[23] Kutowijoyo, “An Evolusionary Approach to the Social History of the Umat Islam in Indonesia”, makalah kolokium sejarah Southeast Asian Summer Institute, Universitas Michigan, Ann Arbor, 12 Juli 1985.
[24] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, November 1993), hlm. 29-30
[25] Dr. Mukhlas Sarkun, islamnusantara.web.id/umum/islam-nusantara-antara-teoritik-dan-karakteristik
[26] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (Bagian II: Jaringan Asia), terj. Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. (Jakarta: Gramedia Pustak Utama, 2005), hlm. 8
[27] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, t.t), p. 61-62
[28] Nurcholish Madjid, “Islam in Indonesia: A Move frrom the Periphery to the Center”, dalam Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, Volume 1, Number 1, 2000, hlm. 1
[29] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 268
[30] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, hlm. 99-100
[31] Ibid
[32] Usman Said, 1981: 173-181
[33] Usma Said, 1981: 194-197
[34] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 15
[35] Ibid., hlm. 41
[36] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 55