Islam Nusantara; Sejarah dan Akar Kemunculan dan Metodologi Kajian
Makalah Semester Akhir :D
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A.
Latar Belakang............................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
C.
Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
A.
Sejarah
istilah "Islam Nusantara"...................................................................................3
B.
Pengertian Islam Nusantara........................................................................................... 4
C.
Karakteristik Islam Nusantara...................................................................................... 12
D.
Peran Para Ulama (Walisongo) Dalam Pengembangan Islam Nusantara..................... 19
E.
Praktek Islam Nusantara Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara..... 21
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 24
A.
Kesimpulan.................................................................................................................. 24
B.
Saran............................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 25
PEMBAHASAN
A. Sejarah Istilah “Islam Nusantara”
Lahirnya wacana
Islam Nusantara tak terlepas dari efek kekerasan yang mengatasnamakan Islam
yang beberapa dasawarsa ini melanda dunia internasional.Sebut saja sejumlah
pemboman dan pembunuhan yang berdalih membela Islam, muncul pemberontakan
radikalis Islam di beberapa negara dan terakhir muncul ke permukaan kekejaman
ISIS yang dengan kencang memproklamirkan Negara Islam.
Fenomena kekerasan
yang mengatasnamakan Islam ini, tentu saja menimbulkan banyak efek negatif bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Muncul Islamofobia di sejumlah
negara Eropa, stigma teroris bagi orang Muslim, hingga kekerasan terhadap
minoritas Muslim mendera beberapa belahan dunia.
Disisi lain, di
negara-negara Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kehidupan umat Muslim
menampilkan panorama yang santun, damai, toleran, dan menghargai perbedaan
perlu ditransformasikan guna menghilangkan stiqma kekerasan atas nama Islam,
yang kian melekat di mata dunia internasional.Oleh sebab itu perlu adanya suatu
gagasan yang tekstual dan kontekstual untuk menangkal gerakan radikal
mengatasnamakan Islam.
Azyumardi Azra,
seorang intelektual Muslim ternama mengatakan Islam Nusantara bukanlah nama
yang baru muncul, Islam Nusantara mengacu kepada gugusan kepulauan yang
mencakup Malaysia, Pattani Thailand, Moro Filipina, Singapura dan Brunai, atau
sering juga disebut Islam Asia Tenggara.[1]
Menurut
Azyumardi Azra, seperti yang dikutip dari beberapa sumber terpercaya,
menyebutkan doktrin Tauhid Islam Nusantara tidak berbeda dengan mayoritas
Muslim ahlusunnah wal jamaah di dunia, meyakini doktrin Rukun Iman dan Rukun
Islam secara utuh. Namun, pada sebagian praktek ibadah, dipengaruhi kebudayaan
lokal, dan tasawuf seperti perayaan maulid nabi, walimatul ars, tahlilan dan
lainnya.Singkatnya, Islam Nusantara sangat terpengaruh sejumlah tokoh pemikir
Islam pertengahan. Seperti pemikiran kalam (teologi) Asy'ariyah, fiqih Syafi'i,
tasawuf sunni al-Ghazali, dan praktek tokoh sufi seperti Abdul Qodir Jailani.
Berbeda dengan
Islam Timur Tengah atau Saudi Arabia, yang cenderung saklek dan kaku, sebab
hanya memiliki dua tokoh sentral pemikir. Seperti kalam (teologi) Salafi-Wahabi
dan Fiqh Hambali, yang cenderung sangat tekstual.Makanya tak heran jika aliran
ini dengan mudah mengkafirkan umat Islam lainnya, dan menganggap ibadah yang
tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah bid'ah.[2]
Selain itu,
aliran ini sama sekali tidak mengakui adanya aliran tasawuf yang banyak
dipraktekkan di Indonesia, bahkan dunia Islam pada umumnya.
B. Pengertian Islam Nusantara
Islam Nusantara
bukanlah Islam tandingan, bukan agama baru, bukan pula agama pinggiran atau
“Islam lokal” yang dianut kalangan Muslim Nusantara.Islam
Nusantara bukan pula Islam historis. Ketika Islam Nusantara
dikatakan Islam historis, maka itu kemudian dipertentangkan dengan “Islam
normatif” yang asli dari al-Quran dan Hadits yang kemudian hanya dimiliki
kelompok Islam puritan Wahabi! Dikotomi itu hanya membenarkan kelompok puritan
yang punya slogan “kembali kepada al-Quran dan Hadits”, selian itu hanya
historis yang berubah-ubah di setiap saat. Berbicara
tentang Islam Nusantara adalah berbicara tentang bagaimana Islam sebagai ajaran
normatif diamalkan dan diistifadah dalam “bahasa-bahasa ibu” penduduk Nusantara.
Jadi sebutan Nusantara bukan menunjukkan sebuah teritori, tapi sebagai paradigma
pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan juga kreatifitas intelektual.
Islam
di Nusantara (Asia Tenggara) merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban
Islam (sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam yang berpusat di Baghdad
tahun 1258). Ketujuh cabang perdaban Islam itu secara lengkap adalah peradaban
Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, Islam anak benua
India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan yang disebut Arab Melayu tersebar di wilayah Asia Tenggara memiliki
ciri-ciri yang universal.
Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan itu
menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal, dari sistem keagamaan
lokal kepada sistem keagamaan Islam yang bisa disebut revolusi agama.
Transformasi masyarakat melayu kepada Islam terjadi bebarengan dengan “masa
perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam
perdagangan Timur-Barat. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara kedalam
internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak
pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya.
Perkembangan Islam di Nusantara pada
masa perdagangan terjadi karena adanya portabilitas (siap, pakai) sistem
keimanan Islam, Asosiasi Islam dengan kekayaan sehingga bisa memainkan peranan
penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik,
kejayaan militer, memperkenalkan tulisan, mengajarkan penghapalan, kepandaian
dalam penyembuhan, dan pengajaran tentang moral.
Melalui sebab-sebab tersebut Islam
cepat mendapat pengikut yang banyak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pedagang Muslim asal Arab, Persi, India diperkirakan telah sampai ke
Nusantara untuk berdagang sejak abad ke-7 M (ke-1 H), ketika Islam di Timur
Tengah mulai berkembang keluar dari jazirah Arab, teluk Oman, teluk Persi
singgah di Gujarat, terus ke teluk Benggala atau lansung ke selat Malaka, terus
ke timur ke Cina atau sebaliknya dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran
pulang pergi. Ada indikasi kapal-kapal Cina juga mengikuti jalur tersebut pada
abad ke- 9 M. Demikian juga kapal-kapal Nusantara mengambil bagian dalam
perjalanan ini. Pada zaman Sriwijaya pedagang dari penduduk Nusantara telah
mengunjungi pelabuhan Pantai Cina dan Pantai Timur Afrika.
Menurut J.C. van Leur
diperkirakan sejak 674 M telah ada koloni Arab di barat Laut Sumatera yaitu di
Barus. Namun, menurut Taufik Abdullah pada masa itu belum ada bukti bahwa di
tempat- tempat yang disinggahi pedagang Muslim sudah ada pribumi Nusantara yang
beragama Islam. diduga para pemeluk Islam itu adalah para pedagang Muslim luar
yang singgah dan tinggal sementara untuk menunggu angin musin yang akan
mengantarkan kembali ke negeri mereka. Baru pada zaman berikutnya penduduk
pribumi ada yang memeluk Islam. menjelang abad ke- 13 M masyarakat Muslim sudah
ada di Samudra Pasai, Perlak, Palembang di pulau Sumatera. Sedangkan di Jawa, makam
Fatimah Binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka abad ke-13 M menjadi bukti
berkembangnya komunitas Muslim di pusat kekuasaan Jawa-Hindu di Majapahit.
Tanpa menolak dengan keras terhadap
sosial kultural masyarakatnya, Islam secara perlahan dan bertahap
memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Maka pada akhir abad ke-13 M,
ketika kerajaan Pasai secara pasti mulai berdiri, sementara kerajaan Islam di
luar Nusantara justru mengalami kemunduran yang luar biasa. Di Perlak pada awal
abad ke- 13 sudah ada pemukiman Muslim. Disebabkan karena saudagar Muslim
pertama kali singgah di daerah ini setelah mengadakan pelayaran kearah barat
menuju ke negerinya. Oleh karena itu, di tempat ini mereka lebih lama tinggal
dan lebih lama bersentuhan dengan pribumi, terjadi perkawinan antara saudagar
dengan putri setempat, dan keturunannya menjadi pendiri kerajaan Islam.
Ketika kerajaan Samudra Pasai sudah
berdiri, perkembangan Islam makin meluas, bahkan ia pertama yang mempunyai
kekuatan politik dan mempunyai hubungan internasional menjadi pusat politik
Islam, dakwah Islam, dan ekonomi umat Islam. Pada 1350 Samudra Pasai jatuh oleh
serangan Majapahit, digantikan oleh Malaka sampau tahun 1511. Malaka kemudian
dihancurkan oleh Portugis, kerajaan Islam selanjutnya di pimpin oleh Aceh
Darussalam. Puncak kebesaran Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
yang menguasai seluruh pelabuhan di Pesisir Timur Sumatera sampai Asahan dan
pantai Sumatera Barat.
Dari Aceh kapal-kapal dagang memasuki
selat Sunda menuju pelabuhan Jawa. Di Jawa proses Islamisasi sebenarnya sudah
berlansung sejak abad ke-11 M. kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu
Demak, berdiri diikuti kerajaan Cirebon dan Banten di Jawa Barat. Demak
berhasil menggantikan Majapahit, dilanjutkan oleh kerajaan Pajang, kemudian
Mataram. Ulama-ulama yang berperan mengembangkan Islam di Jawa adalah Wali
Songo.
Pengaruh Islam ke Nusantara bagian
timur, terutama Maluku, juga tidak lepas dari jalur perdagangan interansional
dengan Malaka dan Jawa. Sejak abad ke- 14 M Islam sudah datang ke Maluku.
Kerajaan terpenting di Maluku adalah Ternate dan Tidore. Sementara Islamisasi
kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan berasal dari Demak dan Kalimantan Selatan
di Islamkan oleh Dato Ri Bandang dan Tunggang Parangan. Sulawesi Selatan
sejak abad ke-15 M sudah didatangi pedagang Muslim, mungkin dari Malaka, Jawa,
dan Sumatera. Di Gowa-Tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi 22 September
1605 dengan Sultan Alauddin (1591-1936) sebagai sultan yang pertama. Sesudah
itu menyusul Soppeng, Wajo pada tanggal 10 Mei 1610 dan Bone Islam pada tanggal
23 November 1611.
Dalam perkembangan Islam dapat kita ketahui bahwa Islam masuk dan berkembang di Nusantara di sebarkan oleh para Mubaligh,
pedagang dari Arab, Persia dan Cina secara damai, toleransi dan persamaan
derajat sehingga mengalami perkembangan yang pesat.[3]
Dilihat dari metode kajian islam
nusantara itu sendiri memiliki beberapa pendekatan dan pendekatannya sebagai
berikut:
1. Pendekatan Sosiologis
Pada
tahap awal Islamisasi, saluran perdagangan sangat dimungkinkan. Hal ini sejalan
dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para
pedagang dari Arab, Persia, India, China ikut ambil bagian dalam aktivitas
perdagangan dengan masyarakat di Asia. Saluran Islamisasi dengan media
perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada pihak-pihak lain. Selain
itu, dalam kegiatan perdagangan ini, golongan raja dan kaum bangsawan lokal
umumnya terlibat di dalamnya. Tentu saja ini sangat menguntungkan, karena dalam
tradisi lokal apabila seorang raja memeluk Islam, maka dengan sendirinya akan
diikuti oleh mayoritas rakyatnya. Ini terjadi karena masih kuatnya penduduk
pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai oleh hierarki
tradisional.
Perkawinan
antara pedagang atau saudagar Muslim dengan perempuan lokal juga menjadi bagian
yang erat hubungannya dengan proses Islamisasi. Islamisasi melalui saluran ini
merupakan proses pengislaman yang paling mudah. Hubungan masyarakat Muslim
dengan penduduk setempat terjadi sangat intens, sehingga memungkinkan sehingga
memungkinkan terjadinya perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal.[4]
Dengan perkawinan tersebut, selain akan membentuk generasi-generasi baru Islam,
juga akan besar pengaruhnya terhadap proses pengislaman selanjutnya.
Sejalan
dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam mulai tumbuh,
meskipun masih bersifat individual. Kemudian, dengan memanfaatkan
lembaga-lembaga masjid, surau, dan lenggar, mulailah secara bertahap dilangsungkan
pengajian umum mengenai tulis baca Al-Qur’an dan wawasan keagamaan.[5]
Bentuk yang paling mendasar dari bentuk pendidikan ini umumnya disebut
pengajian Al-Qur’an.[6]Selain
itu, ada lembaga pesantren yang diselenggarakn oleh guru-guru agama, kiai, atau
ulama. Di lembaga inilah calon guru agam, calon kiai, atau calon ulama dididik.
Mereka yang telah keluar dari pesantren kemudian menuju ke kampung
masing-masing. Tidak jarang pula para raja atau kaum bangsawan mengundang para
kiai atau ulama yang diangkat sebagai guru agama bagi keluarganya. Banyak juga
kiai yang diangkat menjadi penasihat kerajaan, sehingga memungkinkan bagi
mereka untuk memberikan pengaruh di bidang politik kepada raja-raja.
Bentuk
Bangunan pada masjid kuno di Indonesia yang mengadaptasi pola-pola bangunan
atau keyakinan Hindu tersebut menunjukan bahwa Islam disebarkan dengan jalan
damai. Selain itu, secara kejiwaan dan strategi dakwah, penerusan tradisi seni
bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat
bijaksana sehingga bisa menarik orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam
sebagai pedoman hidup barunya.[7]
Dalam upacar-upacara keagamaan
2. Pendekatan Filosofis
Kawasan
Muslim Indonesia (Nusantara) yang terletak di pinggiran Dunia Islam
mempresentasikan salah satu bagian Dunia Islam yang paling sedikit mengalami
Arabisasi. Kondisi semacam ini, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri
Muslim Asia Tenggara lainnya, Islamisasi berlangsung secara gradual. Dampak
dari cara Islamisasi semacam ini adalah bentuk dan keyakinan agama lama diubah
secara lambat tanpa harus menghilangkan.[8]
Meskipun demikian, perkembangan Islam di Asia Tenggara tetap berhubungan erat
dengan Islam di Timur Tengah.[9]
Ini merupakan kelanjutan dari jalinan perdagangan antara Nusantara dengan dunia
internasional yang telah terbentuk begitu mapan di Nusantara.
Kebijakan-kebijakan
politik pemerintah kolonial yang membatasi ruang gerak umat, tampaknya tidak
menyurutkan semangat umat Islam di wilayah Indonesia untuk merajut jalinan
intelektual dengan pusat-pusat studi Islam di wilayah lain. Karenanya, komitmen
mereka kepada Islam baik secara spiritual maupun psikologis sangatlah dalam dan
dinamis serta tidak banyak berbeda dengan masyarakat Muslim lainnya di mana pun
juga. Bahkan, Howard M. Federspiel menegaskan bahwa lebih dari empat ratus
tahun yang lalu Islam di Indonesia secara perlahan telah bergerak menuju sebuah
bentuk agama yang lebih ortodoks, sedangkan ajaran-ajaran dan praktik-praktik
menyimpang telah berkurang dalam periode waktu yang sama.[10]
Secara
intelektual, Muslim Asia Tenggara selalu bersifat terbuka dan reseptif terhadap
proses Islamisasi yang berlangsung terus-menerus yang merupakan ciri masyarakat
itu selama berabad-aba. Sebaliknya, dengan ciri yang sama dengan kaum Muslim
lainnya, mereka juga merupakan masyarakat yang mudah terkena perubahan yang
menggangu mereka dari waktu ke waktu.[11]
Fenomena tersebut terjadi karena lokasi kawasan Nusantara merupakan tempat
persilangan jaringan lalu lintas laut yang menghubungkan benua Timur dan benua
Barat.[12]
Hal ini menyebabkan kepulauan Nusantara banyak disinggahi oleh kapal-kapal
pedagang asing, termasuk dari Timur Tengah. Sejak Islam berkembang di Asia
Tenggara, dinamika Islam di Timur Tengah memngaruhi wacana Islam di
Dunia-Melayu-Indonesia.
Hubungan
yang kuat dan intensif antara kedua wilayah tersebut telah tercipta sejak masa
yang paling awal kehadiran Islam di Dunia Melayu-Indonesia. Menurut Azyumardi
Azra, hubungan antara ke dua wilayah itu hingga paro kedua abad ke-17 menempuh
beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Pada fase pertama (sekitar
abad ke-8 sampai abad ke-12), hubungan tersebut lebih bersifat ekonomis,
hubungan ini berbentuk hubungan dagang yang lebih banyak diprakasai oleh
orang-orang Islam Timur Tengah, terutama Arab dan Persia.
Fase
kedua, yang berlangsung antara abad ke-12 sampai akhir abad ke-15, lebih
bercorak keagamaan, selain hubungan ekonomis. Pada fase ini, Muslim Arab dan
Persia (pedagang/pengemban sufi) mulai menintensifkan penyebaran Islam di
berbagai wilayah Nusantara. Oleh karena itu, pada fase ini, hubungan-hubungan
keagamaan dan kkultural terjalin lebih erat.[13]
Pada
fase ketiga, yaitu sejak abad ke-16 samapai paro kedua abad ke-17, lebih
bercorak politis di samping corak keagamaan. Pada masa ini ditandai dengan
kedatangan dan peningkatan pertarungan di antara kekuatan Portugis dengan
Dinasti Usmani di kawasan Lautan Hindia. Dalam periode ini, umat Islam di
Nusantara mengambil banyak inisiatif untuk menjalin hubungan politik dan
keagamaan dengan Dinasti Usmani.[14]
Selain itu, Muslim di Nusantara mulai berperan aktif dalam dunia perdagangan di
lautan Hindia tersebut. Sementara itu, hubungan-hubungan politik dan keagamaan
juga mulai dijalin dengan para penguasa Haramayn menjelang paroo kedua abad
ke-17. Pada fase ini, Muslim Nusantara semakin banyak yang datang ke Tanah
Suci, yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur
Tengah dengan Nusantara melalui ulama-ulama Timur Tengah dan orang-orang
Nusantara yang belajar di sana. Mereka ini kemudian dikenal sebagai
“murid-murid Jawi”
Murid-murid
Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di
antara kaum Muslim Melayu-Indonesia. Di Haramayn, muruid-murid Jawi ini
membentuk sebuah “perkampungan” yag disebut “koloni Jawi”. Kegiatan orang-orang
Jawi di daerh koloni tersebut juga mempunyai saham yang cukup besar dalam
perkembangan Islam selanjutnya . Hal ini dapat dilihat dari aktivitas
kebanyakan ulama “lulusan” Haramayn dalam menghembuskan angin pembaharuan Isla
di Indonesia, seperti Nur al-Din al-Raniri, Syaikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili,
Muhammad Yusuf al-Makasari, ‘Abd al-Shamad al-Palimbani.[15]
Pemebentukan
tradi keulamaan Islam Indonesia dan keilmuan Islam Indonesia atau Asia Tenggara
secara keseluruhan membangkitkan terbentuknya jaringan ulama. Jaringan ulama
yang berpusat di Haramayn ini menyebar ke berbagai wilayah Dunia Islam,
khusunya kawasan Afrika Utara dan Timur, Arabia Selatan dan Timur, Asia
Selatan, Anak Benua India, dan Nusantara.[16]
Para ulama dan murid yang terlibat dalam jaringan ulama ini mempunyai peranan
penting dan krusial dalam pembaruan wacana serta praksis keislaman kaum Muslim
pada tngkatan lokal. Jaringan ulama ini mempunyai dampak dan pengaruh yang
signifikan terhadap dinamika wacana intelektual Islam di berbagai kawan lokal,
seperti Indonesia.
3. Pendekatan Historis
Setidaknya
hingga pertengahan abad ke -15, umat Islam bukan saj telah menyebar luas ke
seluruh kepulauan Indonesia, tapi secara sosial bahkan tlah muncul menjadi agen
perubahan sejarah yang penting. Meskipun belum sepenuhnya mencapai ke
pedalaman, mereka misalnya telah banyak membangun apa yang disebut sebagai
“diaspora-diaspora perdagangan” terutama di pesisir-pesisr pantai. Dengan
dukungan kelas saudagar, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan
hampir menjadi lanskap historis yang dominan di Indonesia ketika itu.
Meskipun
jejak-jejak kedatangan Islam dapat dilacak sejak abad ke-11 M, misalnya dengan
ditemukannya makam seorang wanita Muslim di Leran, Jawa Timur, pada 1082, tetapi
perkembangan Islamisasi tampaknya baru mulai sejak akhir abad ke-13, dan lebih
khusus lagi pada abad ke-14 dan 15, ketika pusat kekuatan pribumi terbesar,
Majapahit, sedang mengalami kemunduran. Kita mungkin dapat sepakat dengan
Kuntowijoyo yang mengutip Wertheim bahwa daya pikat utama agama baru ini adalah
pada gagasan persamaannya, sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas
saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak dimiliki dalam konsep stratifikasi
sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak-biru untuk oragansasi
politiko-ekonomi”, dan dengan ini sedang dipersiapkan jalan bagi terjadinya
proses-proses perubhan struktural baru, dari sistem agraris-patrimonial ke arah
apa yang oleh Van Leur disebut sebagai sistem “kapitalisme-politik”.[17]
Seperti
yang juga dibuktikan oleh Christine Dobbin[18]
di tempat lain pada waktu lain, ”cetak-biru politiko-ekononi” inilah yang
menyebabkan banyak kelas pedagang oribumi memeluk Islam untuk berpartisipasi
dalam komunitas moral perdagangan Muslim internasional. Melalui Mlaka, yang
sejak akhir abad ke-14 telah berkembang menjadi sebuah “enterpot state” (negara
penyalur perdagangan lintas laut), kubu-kubu saudagar Muslim di pesisir Jawa
seperti di Gresik, Giri, Tuban, Jepara, Demak atau Jayakarta, mulai mengadakan
hubungan niaga dengan pusat-pusat dagang internasional seperti Mediterania di
belahan barat, Siam di belahan utara, dan bahkan Jepang di belahan timur.
Apa
yang patut dicatat dari perkembangan ini adalah bahwa Islamisasi telah
menyebabkan teritegrasikannya kelas menengah saudagar Muslim dengan pusat-pusat
perdagangan internasional, sehingga memberikannya basisi material bagi
munculnya pelembagaan politik yang baru. Lahirnya negara maritim Demak pada
awal abad ke-16 sebagai kerajaan Islam yang pertama di Jawa,[19]
membuktikan hal itu. Pada saat itulah Islam muncul sebagai elemen integratif
yang mampu menginkorporasikan kekuatan ekonomi, politik dan agama di dalam
wadah negara.
Hampir
sepanjang pertengahan pertama abad ke-16, Demak berusaha mengkonsolidasikan
kekuasaannya melalui berbagai penaklukan militer dan ekonomi.
Penaklukan-penaklukan itu memaksa sebagian besar kota pesisir dan wilayah
pedalaman di Jawa Timur yang belum diislamkan tunduk di bawah kesultanan baru
itu. Berturut-turut, Demak menguasai Tuban (1527), Madun (1529), Surabaya dan
Pasuruan (1530), Penanggungan (1543), Malang (1545), dan Kediri (1550). Di
wilayah barat, Demak mensponsori pula didirikannya Banten dan Cirebon.
Akan
tetapi segeralah terbukti bahwa integrasi antara agama , politik dan ekonomi
itu mulai menghadapi tantangan-tantangan baru baik dari dalam maupun dari luar.
Dicaploknya Malaka oleh Portugis ternyata berakibat fatal bagi Demak. iNi
terjadi pada dekade pertama abad ke-16, saat ketika kekuatan Barat muncul
pertama kali di Asia Tenggar. Di sini kita akan menegaskan pentingnya momen itu
sebagai semacam “transisi sejara” yang berakibat besar bagi Asia pada umumnya
dan bagi Indonesia pada khususnya.
Seperti
diketahui, abad ke-16 adalah abad ketika apa yang disebut “merkantilisme Eropa”
sedang berekspansi ke seluruh dunia. Dengan menggunakan perspektif Wallerstein,
kita dapat mengatakan bahwa konteks internasional Asia sedang bergeser ke arah
terbentuknya sistem perekonomian yang baru, yaitu kapitalisme merkantilis, yang
menjadi cikal bakal terciptanya “sistem dunia” sebagaimana yang dikenal hingga sekarang
ini.[20]Ekspansi
merkantilisme Eropa yang didukung oleh kekuatan militer itu pada kenyataannya
kemudian memang memudarkan apa yang disebut Anthony Ried sebagai “zaman perdagangan”
Asia Tenggara.[21]
Sejakitulah negeri-negeri “d bawah angin” ini akhirnya segera memasuki zaman
baru, yaitu zaman kolonial.
Adalah
pada konteks regional yang sedang mengalami “transisi historis” inilah, Demak
muncul dan berkembang. Oleh karena itu kiranya dapat dipahami jika sejarah
Demak begitu pendek hanya mampu bertahan sekita setengah abad jika dibandingkan
misalnya dengan masa hegemoni Majapahit yang berlangsung selama tiga abad.
Dengan terjadinya pergeseran-pergeseran besar dalam sistem perdagangan
internasional Asia, Demak sebagaimana pusat-pusat perdagangan maritim lainnya
di Nusantara bukan saja kehilangan basis perdagangan maritimnya,[22]
tapi juga basis material bagi klaim legitimasinya baik secara politis maupun
ideologis. Dalam hal inilah kita dapat mengatakan bahwa rangkaian
peristiwa-peristiwa sejarahtelah terjadi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan
kekuatan integratif Islam gagal memainkan peranan historisnya di Jawa ketika
itu, yaitu untuk memunculkan apa yang disebut Weber sebagai “wirtschafstgeist”
baru. Sebaliknya, yang terjadi kemudian adalah nahwa dengan tumbangnya Demak,
Muncullah kekuatan renaisans Hindu Jawa yang ingin menegaskan kembali basis
ideologi pribuminya: negara agraris Patrimonial Mataram. Di sinilah kita akan
mencatat bahwa rupanya Indonesia pada akhir abad ke-16, Islam menghadapi
momentum historis yang tidak menguntungkan bagi perkembangannya sendiri, secara
eksternal ia menghadapi ekspansi kapitalisme Barat dan secara internal
menghadapi kebangkitan ideologi pribumi.
Seperti
dikemukakan oleh Kuntowijoyo, kemunculan Mataram pada awal abad ke-17
sesungguhnya juga didasari oleh logika ekonomi, yakni untuk merespon
meningkatnya permintaan beras dalam perdagangan antarpulau dan perdagangan
internasional.[23]
Dengan mengambil basis geografisnya di daerah pedalaman Jawa yang sangat subur,
secara efektif Mataram akhirnya memang muncul sebagai pemegang monopoli beras.
Untuk mempertahankan statusnya ini ia kemudian menyerang dan menaklukan
kubu-kubu perdagangan Muslim peninggalan Demak yang selama itu relatif
independen, untuk diintegrasikan ke dalam sistem perekonomian agrarisnya.
Sebagaimana
dikatakan oleh Kuntowijoyo, dengan munculnya birokrasi yang terpusat di bawah
Mataram, kelas pedagang Muslim yang relatif mempunyai otonomi politik di banyak
wilayah pesisir, akhirnya takluk kepada kenyataan politik akan adanya sebuah
negara agraris feodal di pedalaman. Inilah tahap ketika konstelasi kekuasaan di
Jawa bergeser dari pesisir ke pedalaman, bersamaan dengan bergesernya basis material
dari perdagangan maritim ke pertanian agraris. Dalam kerangka inilah Islam
mengalami periferalisasi.
Setelah
muncul sebagai kekuatan integratif yang berhasil menggabungkan kekuatan ekonomi
dan politik di dalam kerangka idologi baru berdasar agama, Islam yang
pertama-tama didukung oleh kelas menengah pedangang itu, digeser ke pinggir
oleh dua kekuatan sejarah: yang pertama oleh munculnya kapitalisme merkantilis
Eropa yang segera berkembang menjadi kolonialisme, dan yang kedua oleh
kebangkitan kembali patrimonialisme pribumi dengan corak perekonomiannya yang
agraris feodal.[24]
Konfigurasi
antara kolonialisme dan feodalisme iilah yang menjadi latar historis sepanjang
abad ke-17, 18, dan 19. Sebagai kelompok yang tergusur oleh dua kekuatan
sejarah sekaligus, Islam akhirnya mengalami degenerasi secara
betingkat-tingkat. Secara ekonomis, ia misalnya telah kehilangan basisnya di
pesisir baik karena operasi maritimnya dirompak oleh Belanda, maupun karena
perdagangan daratannya diekspansi Mataram. Kelas saudagar muslim telah
dihancurkan, dan dalam kerangka perekonomian feodal agraris mereka mengalami
apa uang disebut sebagai proses “peasantization” (petanisasi) dan
“ruralisation”. Secara simbolik dan kultural, ini berarti digantikannya etos
pedagang yang mobil, kosmopolit dan bercorak urban, dengan mentalitas petani
yang statis, “localised” dan agraris. Proses ini pula yang menyebabkan
terjadinya transformasi sistem pengetahuan dan deformasi mode religiutas, dari
yang bercorak rasional menjadi yang bercorak mitis. Secara sosial, proses
“peasantization” dan “ruralisation” itu juga berati degradasi kelas, yakni dari
kelas menengah urban dengan corak ekonomi perdagangan ke kelas bawah agraris
dengan sistem ekonomi petrimonial feodal.
Sesungguhpun
demikian, secara politik, periferalisasi Islam juga telah memberikan kepada
para pengikutnya semacam kesadaran oposisi untuk membangkitkan pelbagai bentuk
perlawanan. Fenomena pembangkangan para Sultan pesisir kepada Mataram di akhir
abad ke-16 dan awal abad ke-17, demikian juga oposisi para ulama kepada
Amangkurat I pada pertngahan abad ke-17, hingga pemberontakan Diponegoro yang
menimbulkan perang Jawa, serta protes-protes petani yang berlangsung secara
sporadis sepanjang abad ke-19, memperlihatkan hal itu. Tentu saja basis pembangkangan
dan oposisi Islam selalu mengandung
motif religius dan keagamaan, tapi yang lebih penting lagi adalah bahwa
fenomena oposisi Islam juga selalu mempunyai sebab-sebab sosial dan
ekonominya—. Dan ini jelas memperkuat dugaan bahwa oposisi Islam sebagai suatu
gerakan religio-polik, senantiasa berakar pada kenyataan akan adanya
periferalisasi dan alienasi umat dari proses-proses ekonomi dan politik. Bahawa
kemudian bentuk-bentuk oposisi Islam berada pada kisaran antara yang bercorak
utopis seperti yang diperlihatkan dalam perlawanan-perlawanan spanjang abad
ke-19, sampai pada yang bercorak ideologis seperti yang tampak dalam
fenomena-fenomena abad ke-20 hingga tahun-tahunn 1960-an, hal ini hanya
memperlihatkan variasinya karena perbedaan latar sosio-kultural dan
ekonomi-politiknya.
C. Karakteristik Islam Nusantara
Menurut istilah, Islam Nusantara harus bermula memahami pola
dan karakter keislaman masyarakat muslim nusantara yang memang mempunyai
karakter yang sangat berbeda dengan corak keislaman Timur Tengah, tempat asal
islam itu berkembang. Gagasan islam nusantara bukan sebuah aliran baru
sebagaimana sempalan dan firqah, tetapi adalah sebagai upaya yang mencoba memotret
keislaman dalam domain kawasan, sebagaimana yang pernah disarankan oleh Gusdur
yang menantang para ilmuan islam untuk membuat teoritik apa yang disebut dengan
studi islam berdasarkan kawasan. Gusdur telah membuat hipothesa bahwa ada enam
studi kawasan islam : kawasan Timur Tengah, Afrika, daratan India, Asia Tengah
termasuk Rusia, Nusantara dan Eropa. Menurut Gusdur masing-masing memiliki
karakteristik yang menonjol.
Dalam konteks karakteristik islam nusantara dapat dilihat
setidaknya dengan delapan ciri-ciri menonjol yaitu :
a. Pertama islam nusantara adalah hasil
produk dari dakwah yang kemudian dikenal tokoh-tokohnya sebagai wali songo,
yaitu proses pengislaman dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran
inti islam. Karenanya islam dapat berkembang dengan cepat tanpa kekerasan.
Keadaan ini dinilai oleh pengkaji islam diantara Anwar Ibrahim, sebagai sebuah
proses pengislaman yang terbaik.
b. Kedua, penganut setia faham
Ahlusunnah dengan watak moderat. Ini ciri yang menonjol dalam diri Islam
Nusantara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara berpikir islam timur
tengah.
c. Ketiga, para ulama atau masyarakat
islam nusantara dalam memilih mazhab bukan sembarangan dan asal pilih. Selama
ini yang dipilih atau dijadikan panutan adalah mereka yang mempunyai
kapabilitas intelektual yang memadai dan teruji daam sejarah sserta mereka yang
mempunyai integritas, sosok ulama yang benar-benar independen, sehingga hasil
ijtihadnya merupakan hasil dari pengetahuan yang lengkap dan hati yang jernih
tanpa diintervensi kepentingan nafsu. Masyarakat islam nusantara dalam bidang
fiqih mengikut salah satu mazhab fiqih yaitu hanafi, maliki, syafi’i dan
hanbali. Namun demikian yang paling populer dan yang diajarkan dan menjadi
pilihan faforit adalah mazhab syafi’i,
sehingga wajar jika kitab-kitab literatur daam lingkungan masyarakat Islam
Nusantara didominasikan kita-kitab mazhab syafi’i.
d. Keempat, mayoritas masyarakat islam
nusantara adalah pengamal ajaran tasawuf karena itu tarekat berkembang dengan
subur. Tokoh-tokoh tasawuf yang menjadi panutan antara lain Imam Ghazali,
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Syazili dan lain sebagainya yang sangat
populer dikalangan islam nusantara. Dari sanalah kemudian islam nusantara
menjadi islam yang sangat harmoni,
toleran, dan menghargai pluralitas sebagai watak asli ajaran tasawuf.
e. Kelima, dalam bermasyarakat
mengutamakan kedamaian, harmoni dan toleran. Masyarakat islam nusantara telah
mengamalkan sikap toleran atau tasamuh ini sebagia bagian dari landasan ajaran
islam yang memberi kebebasan beragama. Islam bukan saja mengecam pemaksaan
agama, tetapi lebih dari itu sangat menjunjung tinggi hak-hak non muslim dalam
pemerintahan kerajaan islam, karena hubungan islam dan non islam adalah
hubungan damai, kecuali jika terjadi perkara-perkara yang dapat menyebabkan
pertentangan antara kedua belah pihak
f. Keenam, adaptasi budaya secara alami
masyarakat islam nusantara berpandangan keartitan lokal tidak dapat dihilangkan
saja, ia perlu dilestarikan sebagai jati diri sebuah bangsa selama tidak
bertentangan dengan syariat dan ini dibenarkan daam alquran bahwa allah
menciptakan manusia dalam berbagai suku (qobail) dan berbangsa bangsa (syu’uba)
lita’taarafu untuk saling ta’aruf (saling pengertian) tentang suku bangsa,
tentu juga dengan budaya.
g. Ketujuh, visi islam rahmatan
lil’alamin mendominasi pemikiran ke islaman nusantara masyarakat islam berusaha
mengusung visi islam rahamat lil’alamin sebagai misi utama dlam
mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan. Dalam hal ini selalu merujuk
kepada tugas utama mulia Nabi Muhammad SAW, yaitu tugas yang suci, tugas yang
sempurna dan tugas yang meyeluruh dari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi.
Karena itu jelas bahwa risalah islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah
memberi rahmat sebagaimana firman Allah artinya “Tiada kami utus engkau
Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” Al Anbiya 107. Tidak
diragukan lagi bahwa islam sebagai rahmat dan hidayah, cahaya yang akan membawa
keselamatan. Hal ini bermaksud rahmat akan membawa keselamatan baik dunia
maupun diakhirat.
h. Kedelapan, dalam memahami nash
menggunakan pendekatan literal dalam hal yang bersifat Qath’i, seperti wajibnya
solat serta tata cara ibadah mahdhah, rukun islam, rukun iman, dan sebagainya.
Oleh karena itu pendekatan literal dalam menggunakan nash lebih terfokus pada
hal-hal yang bersifat ibadah mahdhah dan persoalan teologi. Sedangkan dalam
kaitan kemasyarakatan lebih menggunakan pendekatan kontekstual. Pendekatan ini
tidak hanya mengambil makna teks tetapi lebih banyak mengambil substansi atau
nilai-nilai yang terkandung dalam nash.[25]
1. Fiqih Nusantara
Sejak
Islam mulai tersebut luas di kawasan ini, bahasa Melayu pun mempunyai peranan
sebagai salah satu wahana pengantar agama Isla. Sejak abad ke-16, bahasa Melayu
mencapai kedudukan sebagai “bahasa Islam” sebagaimana bahasa Persia dan Turki.
Bahkan, bahasa Melayu merupakan salah satu unsur pemersatu Islam Nusantara yang
terdiri dari berbagai etnis itu.[26]
Banyak sastra berbahasa Melayu, terutama sastra keagamaan, yang ditulis dalam
huruf Jawi. Huruf Jawi merupakan adaptasi dari huruf Arab untuk menuliskan
lafal-lafal atau kalimat bahasa Melayu. Berdasar pada huruf-huruf Arab “jim”
(), “ain” (), “fa” (), “kaf” (), “ya” (), maka lambat laun tercipta lima huruf
yang masing-masing menandakan bunyi-bunyi yang lazim pada bunyi lidah Melayu.
Kelima huruf yang tercipta itu ialah : “ca”, “nga”, “pa”, “ga”, “nya”.[27]
Jenis huruf ini yang biasanya untuk menuliskan kitab keagamaan berbahasa Jawa.[28]
Dengan cara inilah para ulama kita menuliskan karya-karyanya untuk konsumsi
masyarakat Muslim Melyu-Indonesia, termmasuk kitab-kitab Fiqih.
Salah
satu kitab fiqih awal di Nusantara adalah Shirath al-Mustaqim, karya Nur al-Din
al-Ranniri. Dia sangat tegas dalam hal transendensi Allah. Tentu saja, dia
sangat menekankan pentingya syariat dalam praktik sufistik. Untuk tujuan itu,
al-Raniri menulis Shirath al-Mustaqim dalam bahasa Melayu. Dalam karya ini, dia
menegaskan tentang tugas utama dan mendasar setiap orang muslim dalam hidupnya.
Dengan menggunakan garis besar yang telah dikenal dalam berbagai karya fiqih,
al-Raniri secara terperinci menjelaskan berbagai hal yang menyangkut thaharah,
bersuci (wudhu), shalat, zakat, puasa (shaum), haji (hajj), kurban, dan
semacamnya. Ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama yang cukup lengkap dalam
bahasa Melayu sehingga menjadi pegangan dan standar dalam berbagai kewajiban dasar kaum Muslim.
‘Abd
al-Rauf al-Sinkili (1615-1693), karya utama al-Sinkili dalam fiqih adalah
Mir’at al-Thullab fi Tasyi al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah al-Malik
al-Wahhab. Karya ini membahas tantang aspek-aspek fiqih, termasuk dalam
kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum Muslimin. Dia merupakan
ulama pertama yang di wilayah Melayu-Indonesia hingga masa belakangan.
Al-Sinkili, melalui Mir’at al Thullab tersebutt, telah menunjukkan kepada kaum
Muslim Melayu-Indonesia bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada
ibadah saja. Karena mencakup topik-topik yang begitu luas, kitab ini jelas
merupakan suatu karya di bidang tersebut. Karya ini telah beredar luas,
meskipun sekarang tidak lagi digunakan di Nusantara.
Dalam
periode abad ke-18, Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) merupakan ulama yang
membantu perkembangan syariat di Nusantara. Karya utama Arsyad al-Banjari dalam
bidang fiqih adalah Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi ‘Amr al-Din. Kitab ini
membahas aturan-aturan terperinci aspek ibadah (ritual) dalam fiqih. Menurut
Azyumardi Azra, kitab ini pada dasarnya merupakan penjelasan, atau sampai
batas-batas tertentu adalah revisi, atas karya al-Raniri, Shirath al-Mustaqim.
Karya al-Raniri tersebut dipandang kurang dapat dipahami oleh masyarakat Islam
di wilayah-wilayah lain di Melayu-Nusantara karena banyak digunakan istilah
dalm bahasa Aceh.[29]
Walaupun Sabil al-Muhtadin termasuk kitab yang cukup tebal, tapi pemikiran
fiqihnya tidak begitu luas. Masalah ibadah adalah topik utama dalam kitab itu.
Tentang muamalat, faraid, nikah, hudud, dan jihad tidak masuk dalam kitab itu.[30]
Doktrin-doktrin
hukum Islam,selain Arsyad al-Banjari, juga dikembangkan lebih lanjut oleh Daud
al-Fatani. Dia merupakan figur seorang ulama yang berhasil dalam usahanya
mendamaikan antara aspek syariat dan aspek mistis. Karya al-Fatani adalah
Bughyat al-Thullah al-Murid Ma’rifat al-Ahkam bi al-Shawab yang membahas
tentang fiqih ibadah (fiqh al-ibadah) dan Furu’ al-Masail wa Ushul
al-Masailyang membicarakan aturan-aturan dan petunjuk dalam kehidupan
sehari-hari.[31]
Selanjutnya, disusul dengan terbitnya beberapa kitab yang lebih kecil, seperti
Jami’ al-Fawaid mengenai kewajiban kaum Muslimin terhadap sesma Muslim dan
non-Muslim, Hidayat al-Muta’alim wa ‘Umdat at-Mu’allim mengenai fiqih secara
umum, Muniyyat al-Mushalli mengenai shalat, Nahj al-Raghibin fi Sabil al
Muttaqin mengenai transaksi-transaksi perdagangan, Ghayat al-Taqrih mengenai
warisan (faraidh), Imdat al-Bab li Murid al-Nikah bi al-Shawab yang mengulas
tentang perkawinan dan perceraian.
2. Tasawuf Nusantara
Kajian
Tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian
Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur
tasawuf mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun
nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pengamalan keagamaan sebagian kaum muslimin Indonesia, terbukti dengan semakin
maraknya kajian Islam di bidang ini. Berikut tokoh-tokoh tasawuf Nusantara dan
pokok-pokok ajarannya :
a) Hamzah Fansuri
Ajaran
–ajaran Hamzah Fansuri dapat dijelaska sebagai berikut[32] :
1) Wujud, menurutnya
yang disebut wujud itu hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang
satu itu berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada
yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah merupakan
pernyataan saja daripada wujud yang hakiki, dan wujud yang hakiki itulah yang
disebut Allah. Wujud itu mempunyai tujuh martabat, namun hakikatnya satu.
Martabat tujuh itu adalah: [1]Ahadiyah, yakni hakikat sejati dari Allah;
[2]Wahdah, yaitu hakikat dari Muhammad; [3]Wahidiyah, yaitu hakikat dari Adam;
[4]Alam Arwah, yaitu hakikat dari nyawa; [5]Alam Mitsal, yaitu hakikat dari
segala bentuk; [6]Alam Ajsam, yaitu hakikat tubuh; dan [7]Alam Insan, yaitu
hakikat manusia. Dan semuanya berkumpul (wahdah) ke dalam yang satu, itulah
Ahadiyah, itulah Allah dan itulah Aku.
2) Allah. Menurut
Hamzah, Allah adalah Dzat yang mutlak dan Qadim, sebab pertama dan pencipta
alam semesta. Menurutnya dalam Asrar al’Arifin disebutkan: “Ketika bumi dan
langit belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang
ada pertama? Yang pertama adalah Dzat, yang ada pada dirinya sendiri, tiada
sifat dan tiada nama, itulah yang pertama.”
3)
Penciptaan. Menurutnya sebenarnya hakikat dari Dzat Allah
itu adalah mutlak dan la ta’ayyun (tak dapat ditentukan/dilukiskan). Dzat yang
mutlak itu mencipta dengan cara menyatakan diri-Nya dalam suatu proses
penjelmaan, yaitu pengaliran keluar dari diri-Nya (tanazzul) dan pengaliran
kembali kepada-Nya (taraqqi).
4) Manusia. Walaupun
manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, akan tetapi manusia adalah
tingkat yang paling penting, dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan
sempurna, ia adalah aliran/pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Hal ini
menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.
5) Kelepasan. Manusia
sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan
kamil, namun karena gaflah/lalinya maka pandangannya kabur dan tiada sadar
bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.
b)
Syamsuddin Sumatrani
Pokok-pokok
ajarannya adalah[33]:
1)
Tentang Allah. Syamsuddin mengajarkan bahwa Allah itu Esa
adanya, Qadim, dan Baqa. Suatu Dzat yang tidak membutuhkan ruang, waktu, dan
tempat dan mustahl dapat dibayangkan kemiripannya dengan sesuatu apa pun juga.
2)
Tentang Penciptaan. Sufi ini menggambarkan tentang
penciptaan dari Dzat yang mutlak itu dengan melalui tahp tingkatan, mulai dari
ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam
insan.
3)
Tentang Manusia. Ia berpendapat bahwa manusia seolah-olah
semacam objek ketika Tuhan menzahirkan sifatnya. Semua sifat-sifat yang
dimiliki oleh manusia ini hanyalah sekadar penggambaran dari sifat-sifat Tuhan
dan tidak berarti bahwa sifat-sifat Tuhan itu sama dengan sifat yang dimiliki
oleh manusia. Oleh karena sifat-sifat itu adalah sifat ma’ani bagi Allah
(hakikatyang terdalam dari sifat-sifat qudrat, iradat, ‘ilmu, sama’, bashar,
kalam).
c) Nuruddin al-Raniri
Pada saat Nuruddin berada di Aceh (1637 M) suasana
politik dan agam di Aceh sudah berubah. Syekh Syamsuddin telah meninggal dunia
pada tahun 1630 dan enam tahun sesudah itu Sultan Iskandar Muda mangkat (1636).
Ia diganti oleh menantunya yaitu Iskandar Tsani yang berasal dari Pahang dan
memberikan kedudukan yang sangat baik bagi Nuruddin dalam istana dan kerajaan
Aceh. Karena kepercayaan dan perlindungan Sultan, Nuruddin memperoleh
kesempatan baik untuk menyerang dan membasmi ajaran wujudiyyah dari Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Selama bermukim di Aceh, Nuruddin tidak berhenti menulis
dan berdebat melawan penganut ajaran wujudiyyah. Berkali-kali majelis
perdebatan diadakan di istana dan terkadang disaksikan oleh Sultan sendiri.
Dalam perdebatan itu Nuruddin dengan segala kecerdikan dan kemampuannya
memperlihatkan kelemahan dan kesesatan ajaran wujudiyyah yang menurutnya sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis serta meminta mereka bertobat dan
kembali kepada ajaran yang benar. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil seperti
yang diharapkan, orang-orang yang tidak
mau bertobat itu dihukum kafir yang halal dibunuh dan kitab-kitab
karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman
Masjid Baiturrahman.
Rupanya pembunuhan kaum wujudiyyah ini ada kaitannya
dengan kegiatan kelompok lain yang mengarah kepada perbutan kekuasaan. Karena
itu Sultan Iskandar Tsani bertindak keras dengan membunuh mereka secara
besar-besaran dengan cara yang sangat kejam dan mengerikan.
D. Peran Ulama (Walisongo) dalam Pengembangan Islam
Nusantara
a) Pendidikan
Peran walisongo
di bidang pendidikan
terlihat dari aktivitas
mereka dalam mendirikan pesantren,
sebagaimana yang dilakukan
oleh Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang.
Sunan Ampel mendirikan
pesantren di Ampel
Denta (dekat Surabaya) yang sekaligus menjadi pusat
penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa.[34]
Muridnya antara lain Raden
Paku (Sunan Giri),
Raden Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat), Raden
Patah (yang kemudian menjadi sultan pertama
dari Kerajaan Islam
Demak), Maulana Ishak,
dan banyak lagi.
Sunan Giri
mendirikan pesantren di
daerah Giri. Santrinya banyak berasal
dari golongan masyarakat
ekonomi lemah. Ia
mengirim juru dakwah terdidik ke
berbagai daerah di luar Pulau Jawa seperti Madura, Bawean, Kangean, Ternate
dan Tidore.
Sunan Bonang
memusatkan kegiatan pendidikan dan dakwahnya
melalui pesantren yang
didirikan di daerah
Tuban. Sunan Bonang
memberikan pendidikan Islam
secara mendalam kepada
Raden Fatah, putera raja Majapahit,
yang kemudian menjadi sultan pertama Demak.
Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan
Bonang.
b) Politik
Beberapa wali
sanga menjadi penasehat kerajaan. Sunan Gunung Jati bahkan menjadi raja.[35]
Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Isterinya berasal
dari kalangan istana dan Raden Patah (putra raja Majapahit) adalah murid
beliau. Dekatnya Sunan Ampel
dengan kalangan istana
membuat penyebaran Islam
di daerah Jawa tidak mendapat
hambatan, bahkan mendapat
restu dari penguasa kerajaan.
Sunan Giri
fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu dalam penobatan raja. Setiap kali muncul
masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain
selalu menantikan keputusan
dan pertimbangannya. Sunan
Kalijaga juga menjadi penasehat kesultanan Demak Bintoro.
c)
Dakwah
Peran walisongo
yang sangat dominan
adalah di bidang dakwah,
baik dakwah bil
lisan maupun bil
hal. Sebagai mubalig, walisongo berkeliling dari satu
daerah ke daerah lain dalam menyebarkan agama Islam. Sunan
Muria dalam upaya
dakwahnya selalu mengunjungi
desa-desa terpencil. Salah satu
karya yang monumental dari walisongo adalah mendirikan mesjid Demak.
Hampir semua walisongo
terlibat di dalamnya.
Adapun sarana yang dipergunakan
dalam dakwah berupa
pesantren-pesantren yang dipimpin oleh
para walisongo dan
melalui media kesenian,
seperti wayang. Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan
tradisional sebagai media dakwah Islam, dengan
menyisipkan nafas Islam
ke dalamnya. Syair
lagi gamelan ciptaan
para wali tersebut berisi
pesan tauhid, sikap
menyembah Allah dan
tidak menyekutukan-Nya.
d)
Seni Budaya
Sunan Kalijaga
terkenal sebagai seorang
wali yang berkecimpung
di bidang seni. Sebagai
budayawan dan seniman,
banyak karya Sunan
Kalijaga yang menggambarkan pendiriannya. Di antaranya adalah gamelan,
wayang kulit, dan baju takwo.[36] Sunan
Ampel menciptakan Huruf Pegon
atau tulisan Arab berbunyi
bahasa Jawa. Hingga
sekarang huruf pegon masih
dipakai sebagai bahan pelajaran
agama Islam di
kalangan pesantren.
Sunan Giri
juga sangat berjasa dalam
bidang kesenian, karena
beliau menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang
bernafaskan Islam. Sunan Drajat juga tidak ketinggalan untuk menciptakan
tembang Jawa yang
sampai saat ini
masih digemari masyarakat, yaitu
Gending Pangkung, semacam lagu rakyat di Jawa. Sunan Bonang dianggap sebagai
pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir
utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Bonang selalu
menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat
menggemari wayang serta musik gemelan.
E. Praktek Islam Nusantara dalam Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara
Agama Islam sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas
masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat. Dalam hal
inilah Islam sebagai agama sekaligus menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di
satu sisi berbagai budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak secara otomatis
hilang dengan adanya Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi
budaya”, antara budaya lokal dan Islam.
Setiap bulan
Rabi’ulawwal tahun Hijriyah, sebagian besar umat Islam Indonesia
menyelenggarakan acara mauludun. Maksud dari acara tersebut adalah untuk
mengenang hari kelahiran Rasulullah saw. Dalam acara tersebut diadakan
pembacaan sejarah hidup Nabi Muhammad saw melalui kitab Al- Barzanji atau
Situddurar. Puncak acara biasanya terjadi pada tanggal 12 rabiulawwal, dimana
tanggal tersebut Rasulullah saw dilahirkan. Di Aceh tradisi mauludun
adalah sebagai pengganti upeti atau pajak bagi kerajaan Turki, karena Kerajaan
Aceh memiliki hubungan diplomasi yang baik dengan Turki.
Tradisi
kelahiran di Jawa ada istilah ngapati, mitoni .artinya upacara itu
diadakan ketika kandungan
seorang wanita mencapai umur 4 bulan. Dalam upacara 4 bulan seorang wanita
melakukan adat siraman untuk melindung bayi dan ibunya. Hal ini adalah
kepercayaan dalam adat Jawa, namun Islam mengikuti tradisi ini karena pada saat
kandungan 4 bulan itulah calon bayi akan ditiupkan rohnya oleh Allah swt, dan
ditentukan takdirnya baik rejeki, jodoh dan kematiannya. Sehingga pada tradisi
4 bulanan ini diadakan sedekah dan pembacaan doa-doa atau dibacakan ayat suci Al-Qur’an.Kemudian pada usia kandungan 7
bulan, masa ini adalah masa dimana kandungan sudah siap untuk menerima segala
proses kehidupan di dunia. Untukitulah
diadakan tradisi pembagian sedekah, karena sedekah adalah salah satu cara untuk
menolak bala. Berikutnya ketika bayi sudah lahir diadakan upacara sepasaran
atau lima hari, dengan tujuan untuk keselamatan bayi dan membagikan masakan kepada
tetangga. Dalam Islam sebelum makanan dibagikan ada tradisi membacakan doa.
Setelah itu pada hari ke tujuhnya diadakan akikah, hal ini bersumber dari
ajaran Islam. Akikah artinya menyembelih hewan kambing untuk anak yang baru
saja dilahirkan.
Pelaksanaan
acara akad nikah atau ijab qabul biasanya diselenggarakan dengan syariat Islam.
Tetapi dalam upacara pernikahan atau resepsi menggunakan budaya jawa. Sebelum akad nikah diadakan siraman
kembang setaman, kemudian dalam rumah untuk resepsi ada hiasan dekorasi yang
berisi bunga-bunga. Didepan gapura juga ada janur kuning dan sebagainya. Hal itu belum tentu meninggalkan syariat
agama Islam, oleh sebab itu
harus mencari
nilai filosofi yang ada dalam simbol-simbol tersebut. Siraman kembang setaman
artinya supaya wanita yang akan menikah mandi taubat dengan bunga, bunga
dilambangkan sebagai kesucian dan harum, jadi wanita yang hendak menikah
benar-benar dalam keadaan suci dan harum ketika hendak ijab kabul. Sedangkan
dekorasi bunga-bunga adalah wujud dari kasih sayang sepasang pengantin, bunga
sebagai perlambang bahwa pernikahan adalah kebahagiaan suami dan istri. Untuk janur
kuning yang dipasang di depan rumah adalah dengan tujuan agar acara resepsi
mendapatkan cahaya barakah dari Allah swt. Janur berasal dari lafadz bahasa
arabja a nurun artinya telah datang cahaya. Dan masih banyak lagi
adat-adat yang perlu kalian ketahui dan mengambil hikmah dari sana.
Demikian simbol-simbol yang perlu kamu ketahui. Hal ini bukanlah musyrik,
semuanya adalah simbol sebagai bentuk ungkapan kebahagiaan dari pasangan
pengantin.
Kewajiban umat
Islam terhadap orang Islam yang meninggal ada empat yaitu memandikan,
mengkafani, menshalati dan menguburkan. Keempat ini harus segera dikerjakan
agar si mayit merasa tenang dialamnya.Tradisi di Indonesia ketika ada kematian
atas seorang Islam, maka akan diadakan pembacaan talqin dan tahlil. Hal ini bertujuan
untuk mendoakan agar arwah yang meninggalkan dunia selamat dan diterima
disisi-Nya. Tradisi selanjutnya adalah menyelenggarakan upacara selamatan atau
mendoakan pada waktu tertentu, seperti 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai
1000 harinya. Tradisi ini oleh para ulama’ diselaraskan dengan agama Islam.
Pada upacara selamatan biasanya hanya duduk-duduk, minum dan makan-makan, maka
setelah Islam datang ditambah dengan memperdengarkan ayat Al- Qur’an,
dzikir-dzikir kepada Allah swt. Maksud dan tujuannya adalah untuk menghibur
keluarga dan mendoakan mayit. Kamu harus mengetahui bahwa kewajiban mendoakan
saudara bukan yang masih hidup saja tetapi yang sudah meninggal pun harus
didoakan.Sedangkan dalam tradisi ziarah juga mengalami perpaduan, orang Islam
pergi ziarah hanya mendoakan mayit, sedangkan dalam tradisi menggunakan bunga.
Sampai sekarang
masih banyak masyarakat yang memegang tradisi perpaduan Islam dan Hindu. Hal
ini tidaklah mengapa, karena masyarakat Indonesia terkenal dengan simbol-simbol yang dapat
melambangkan makna kehidupan yang sejati. Hal ini bukanlah bentuk kemusyrikan.
Karena tradisi tersebut adalah upaya untuk menyiarkan Islam secara damai.
PENUTUP
Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Islam
masuk Ke Nusantara pada abad ketujuh Masehi. Islam datang pertama kali dibawa
oleh para pedagang dari Arab yang kemudian diikuti oleh para pedagang dari
Persia dan Gujarat. Penyebaran Islam ke Nusantara bukan dengan cara kekerasan,
akan tetapi dengan kedamaian. Hal itulah yang memudahkan Islam untuk diterima
di Nusantara. Islam disebarkan di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu
dengan perdagangan, pendidikan, dakwah, perkawinan, tasawuf, kesenian dan
politik. Dalam perkembangannya Islam masuk ke Nusantara pada abad ketujuh
Masehi ini bisa dibuktikan setelah melakukan penelitian dan dengan ditemukannya
benda-benda yang memperkuat bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ketujuh
Masehi. Selain daripada itu, dalam perkembangannya berdirilah kerajaan-
kerajaan yang berlandaskan Islam. Kerajaan Islam yang pertama adalah Kerajaan
Samudra Pasai. Setelah kerajaan ini maka berdirilah kerajaan- kerajaan Islam
lain yang tersebar di hampir seluruh Nusantara terutama di Sumatera dan Jawa.
Demikianlah makalah ini kami susun dan tentunya jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi.
2002. Islam Nusantara : Jaringan Global dan Lokal. Bandung : Mizan.
Huda, Nor. 2007. Islam Nusantara : Sejarah Sosial
Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Kuntowijoyo.
1993. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung : Mizan.
Husni
Rahim. 2001. Arah Baru
Pendidikan Islam: Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Karel
A. Streenbrink, 1995. Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan
Islam di Indonesia
(1596-1942), terj. Suryana A. Jamrah. Bandung: Mizan.
Fauzan
Saleh, 2001. modern Trends in Islamic Theological Discourse in
Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey Leiden, Boston,
Koln: Brill.
Omar
Faruk, 1993. “Muslim Asia
Tenggara dari Sejarah menuju Kebangkitan Islam”, dalam Saiful Muzani, (ed.), Pembangunan
dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.
Sartono
Kartodirdjo, 1992. Pengantar Indonesia Baru, 1500-1900: dari Emporium
sampai Imperium, Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Azyumardi
Azra, 19999. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Bandung: Mizan.
http://news.merahputih.com/nasional/2015/07/19/penjelasan-azyumardi-azra-terkait-wacana-islam-nusantara/20563/, diakses tanggal 25/11/16, pukul 11.11.
http://pisdonimardianto SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM
DINUSANTARA.html.
[1]Azyumardi Azra, Islam Nusantara:
Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002)
[2]http://news.merahputih.com/nasional/2015/07/19/penjelasan-azyumardi-azra-terkait-wacana-islam-nusantara/20563/, diakses tanggal 25/11/16, pukul 11.11.
[4] M.C. Ricklefs,
Sejarah Indonesia Modern, hlm. 3
[5] Husni Rahim, Arah
Baru Pendidikan Islam: Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001), hlm. 6
[6] Karel A.
Streenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942), terj. Suryana A. Jamrah (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
117
[7] Ibid., hlm.
193-194
[8] Fauzan Saleh, modern
Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia: A
Critical Survey (Leiden, Boston, Koln: Brill, 2001), hlm. 1
[9] Azyumardi
Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002,
hlm. 90
[10] Fauzan Saleh, Modern
Trends in Islamic Theological Discourse, hlm. 2
[11] Omar Faruk, “Muslim
Asia Tenggara dari Sejarah menuju Kebangkitan Islam”, dalam Saiful Muzani,
(ed.), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES,
1993), hal. 23
[12] Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Indonesia Baru, 1500-1900: dari Emporium sampai
Imperium, Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 1
[13]Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 57
[14] Ibid., hlm. 58
[15] Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia: 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 33
[16] Azyumardi
Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002),
hlm. 61
[17] J.C. Van Leur,
op cit., hal. 122-123
[18] Christine
Dobbin, “Islam and Economic Change in Indonesiacirca 1750-1930”, dalam J.J.
Fox, Indonesia: The making of a Culture, Research School of Economic Studies,
The Australian National University, Canberra, 1980, hal. 247-261
[19] H.J. de Graaf
dan Th.G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: peralihan dari Majapahit
ke Mataram, (Jakarta, Grafiti Press, 1985), bab VII dan
VIII
[20] Immanuel
Wallerstein, The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origin
of the European World-Economy in the Sixteenth Century, (Academic
Press, New York, 1974).
[21] Anthony Ried, Southeast
Asiaa in the Age of Commerce 1450-1650 (Volume One: The Land below The Wind),
Yale University Press, New Haven and London, 1988.
[22] A.R.T.
Kemasang, “Bagaimana Penjajah Belanda menghapus Borjuasi Domestik di Jawa”,
terj. Ariel Heryanto dari Review IX,1, September 1985, hal. 57-80
[23] Kutowijoyo, “An
Evolusionary Approach to the Social History of the Umat Islam in Indonesia”,
makalah kolokium sejarah Southeast Asian Summer Institute, Universitas
Michigan, Ann Arbor, 12 Juli 1985.
[24] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, November 1993), hlm. 29-30
[25] Dr. Mukhlas Sarkun, islamnusantara.web.id/umum/islam-nusantara-antara-teoritik-dan-karakteristik
[26] Denys Lombard,
Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (Bagian II: Jaringan
Asia), terj. Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. (Jakarta: Gramedia Pustak
Utama, 2005), hlm. 8
[27] Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung:
Mizan, t.t), p. 61-62
[28] Nurcholish
Madjid, “Islam in Indonesia: A Move frrom the Periphery to the Center”,
dalam Kultur: The Indonesian Journal for Muslim Cultures, Volume 1, Number
1, 2000, hlm. 1
[29] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama, hlm. 268
[30] Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, hlm. 99-100
[31] Ibid
[32] Usman Said,
1981: 173-181
[33] Usma Said,
1981: 194-197
[34] Sri Mulyati,
Tasawuf Nusantara (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 15
[36] Sri Mulyati,
Tasawuf Nusantara (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 55
3 komentar