-->

Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati



Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati
Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati


Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati

Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati
Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati
Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati

SELAYANG PANDANG PEMIKIRAN ALI SYARI'ATI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara umum filsafat merupakan ilmu yang mempelajari tentang hakikat segala sesuatu yang ada dalam dunia ini, salah satunya adalah manusia. Menurut filsafat manusia memiliki posisi yang sangat urgen karena hanya manusia yang mampu berpikir dengan akalnya tentang kebaikan dan juga keburukan. Selain itu dengan akal pula, manusia mampu mengatur segala Sesuatu yang ada di alam dan mengelolanya dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini manusia termasuk ke dalam salah satu kajian paling penting dalam ilmu filsafat.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang sangat sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik dari jasmani maupun rohani, selain itu salah satu anugrah Allah SWT. yang diberikan kepada manusia adalah akal, akal inilah yang membuat manusia terlihat sangat lebih dan berbeda  dari makhluk lainnya. Dengan akal pula pula manusia mampu berpikir tentang dirinya, Tuhan, alam dan sebagainya. Manusia menyimpan berbagai potensi di dalam dirinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT.
Manusia adalah makhluk yang sangat unik dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi, hal ini terlihat bagaimana manusia mampu untuk mempertanyakan diri, keberadaan dan dunianya. Kendati masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah diperlihatkan sejak dini. Contoh tersebut dapat dilihat pada anak kecil, di mana ketika seorang anak kecil melihat sesuatu yang baru, secara spontan anak tersebut akan bertanya. Melalui pertanyaan yang diajukan membuktikan bahwa  anak tersebut ingin mengetahui sesuatu. Kegiatan seperti ini akan berlangsung terus terhadap anak tersebut sampai akhir hayatnya.[1]
Upaya manusia untuk memahami dirinya telah dilakukan selama beribu-ribu tahun, akan tetapi gambaran yang pasti dan dapat dipercaya tentang dirinya tak mampudiperoleh hanya dengan mengandalkan daya nalarnya yang subjektif. Oleh karena itu,pengetahuan dari pihak lain sangat diperlukan untuk dapat memandang dirinya secara lebih utuh. Dalam Islam, ayat-ayat dalam kitab suci al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Sebagai Sang Maha Pencipta manusia melalui Nabi Muhammad Saw.  telah memberikan gambaran yang jelas tentang manusia dan merupakan sumber utama pengetahuan yang dapat dipercaya dan diperoleh dalam memahami makna atau konsep dari manusia.
Pada zaman modern perkembangan kehidupan semakin canggih dengan teknologi yang sangat luar biasa. Tuntutan perkembangan itu telah menumbuhkan perubahan demi perubahan tatanan dan penciptaan sarana-sarana penyelenggara cara-cara kehidupan, yang kian lama cendrung menghilangkan arti kehadiran manusia. Manusia kehilangan arah, lupa akan asal dan kemana tujuan arah keberadaannya pun semakin kabur dan hilang.[2]
Pada abad ke-19, dunia ilmu pengetahuan di Eropa, dikejutkan dengan adanya doktrin tentang teori evolusi yang dicetus oleh Charles Robert Darwin yang mengatakan bahwa manusia muncul dari proses kesempurnaan yang terus berkesinambungan pada hewan-hewan yang lebih rendah darinya. Teori tersebut telah memunculkan perdebatan antara pandangan agama dengan perspektif ilmu pengetahuan modern. Pada masa itu para ilmuan menganggap bahwa pandangan agama tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan.[3]
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pembuktian ilmiah,  teori evolusi Darwin ini dapat dipatahkan. Harun Yahya misalnya, ilmuan Mesir ini membongkar habis kebutaan yang dikembangkan oleh Darwinisme dengan pembuktian ilmiah dari berbagai aspek keilmuan tentang penciptaan. Dalam bukunya yang berjudulRuntuhnya Teori Evolusi mengatakan bahwa fakta ilmiah modern telah membuktikan kekeliruan teori evolusi yang dianut filsafat materialisme. Dalam filsafat Islam, manusia berasal dari tanah liat dan memiliki keunggulan yang sangat tinggi dibandingkan dengan makhluk yang lain. Keunggulan tersebut dapat digunakan sampai sekarang. Manusia mampu menundukkan alam ini dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Pemikiran untuk mendeskripsikan makna dari manusia sebagai suatu kepribadian yang utuh dan berlandaskan ilmu pengetahuan telah banyak menjadi pengamatan para filsuf Islam. Di antaranya adalah Ali Syaria’ti, Syaria’ti merupakan salah seorang pemikir Islam yang telah banyak memberikan pandangan  dalam memahami konsep-konsep manusia semasa hidupnya. Pada dasarnya pemikiran konsep manusia secara khusus menurut Ali Syaria’ti hampir tidak jauh berbeda  dengan istilah-istilah di atas yang berlandaskan pada ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ali Syaria’timanusia dibagi atas dua dimensi besar, yaitu dimensi Ruhiyah dan Jasadiyah. Selain itu manusia menurut Syaria’ti memiliki karakter dan dan subtansi tersendiri.
Penelitian ini ingin mengkaji lebih jauh pandangan Ali Syaria’ti tentang manusia, khusus dalam kaitannya dengan konsep dualitas manusia akan sangat menarik untuk diteliti, mengingat manusia modern telah jauh dari eksistensinya sebagai makhluk yang paling sempurna, sehingga kehilangan maknanya sebagai khalifah di muka bumi yang diberi kekuasaan dan kemuliaan sebagai nilai dari martabatnya yang tinggi dihadapan Tuhan.
Manusia adalah makhluk yang sangat misterius, meskipun begitu pengenalan terhadap manusia haruslah dilakukan sebelum mengenal makhluk lain, karena pengenalan pada manusia pada dasarnya adalah pengenalan terhadap kehidupan.  Selama ini teori ilmiah, sosial dan ideologis di zaman modern dikerahkan untuk memberikan kebahagiaan pada manusia, namun manusia yang selalu dijadikan objek untuk ketahui tetap tidak diketahui atau dengan kata lain dilupakan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini terfokus pada pemikiran yang dikembangkan oleh Ali Syaria’ti yang menarik untuk dikaji yaitu:
1.      Bagaimana konsep manusia menurut Ali Syaria’ti?
2.      Bagaimana pandangan Ali Syaria’ti tentang humanitas dan masa depan kemanusiaan?


C.    Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan masalah, penelitian ini bertujuan:
1.      Untuk mendeskripsikan pandangan Ali Syaria’ti tentang manusia.
2.      Memperoleh pengetahuan tentang Humanitas dan masa depan kemanusiaan.

D.    Tinjauan Pustaka
Mengenai judul tulisan yang penulis bahas di sini, bersumber kepada pemikiranAli Syaria’ti yang tertuang langsung dalam bentuk artikel, tulisan, seperti: Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Peranan Cendikiawan Muslim dll. yang dijadikan sebagai sumber Primer. Kemudian tulisan-tulisan orang lain tentang pemikiran Ali Syaria’ti atau berupa bahan pustaka yang memiliki kajian yang sama yang dihasilkan oleh pemikir lain, baik yang berbicara tentang gagasan Ali Syaria’ti maupun gagasan mereka sendiri yang membicarakan masalah yang terkait dalam penelitian ini. Sehingga, dapat membantu memecahkan permasalahan yang menjadi fokus penelitian skripsi ini.
Sepanjang penulis ketahui, sampai sekarang belum ditemukan tulisan yang membahas tentang konsep manusia dalam perspektif Ali Syaria’ti, secara khusus dan koherensif. Namun, hal ini bukan berarti informasi umum tentang konsep manusia dan yang berkaitan dengannya belum pernah dibahas, hanya saja pembahasan ini lebih dibatasi oleh pemikiran Ali Syaria’ti. Kemudian tentang tokoh ini juga sudah pernah dibahas namun bukan tentang konsep manusia.
Menurut Charles Kurzman, manusia juga memiliki tiga unsur keistimewaan yang membuatnya unggul dari ciptaan Allah lainnya. Ketiga unsur ini tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Manusia akan menjadi makhluk tertinggi derajatnya apabila unsur-unsur ini digunakan sesuai dengan hukum dan perintah Allah. Namun sebaliknya, manusia akan menjadi sangat rendah dari makhluk yang lain apabila unsur-unsur ini salah digunakan dari ketentuan penciptanya. Unsur-unsur tersebut adalahakal, hati dan nafsu.[8]
Menurut Eko Sapriadi dalam bukunya Sosiolisme Islam Pemikiran Ali Syaria’ti,menjelaskan tentang keharusan manusia dalam berusaha untuk memperkenalkan kembali al-Qur‘an kepada generasi muda. Sehingga, mereka dapat menemukan jati diri mereka yang sejati dalam semua dimensi kemanusiaanya dan dapat berjuang melawan semua kekuatan masyarakat.
Kemudian Machnum Husein dalam bukunya yang berjudul Islam Dan Pembaharuan menjelaskan tentang keyakinan Ali Syariati bahwa ideologi Islam akan menyebarkan suatu kesadaran sosial dan suatu keyakinan yang pada akhirnya akan membangkitkan dorongan energi yang ajaib yang mengarah kepada sosial. Amin Ahmad juga menulis tentang hakikat manusia melalui gambaran dua figur manusia yaitu Habil dan Qabil yang bertolak belakang dicetuskan oleh Ali Syaria’ti. Mahmud Rajabi dalam bukunya Horison Manusiajuga menulis tentangmanusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem serta habitat manusia itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan penulis dalam penelitian tentang pemikiran Ali Syaria’ti, belum ada tulisan atau kajian yang membahas tentang Konsep Manusia Menurut Ali Syaria’ti. Penulis menilai bahwa judul tersebut patut dan pantas untuk dikaji serta dibahas dalam penelitian sebagai sebuah karya ilmiah.

E.     Manfaat Penulisan
            Penulisan ini diharapkan dapat memberikan suatu pengetahuan yang mendalam bagi penulis tentang filsafat manusia, karena studi yang sedang penulis jalani adalah bidang filsafat. Penulisan ini juga diharapkan mampu menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu yang terkait, yaitu ilmu filsafat manusia, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, tidak terkecuali penulis sendiri agar dapat mengetahui bagaimana cara menilai dan memahami manusia sebagai bentuk pembelajaran terhadap kehidupan. penulisan ini juga diharapkan mampu membawa pembaca agar senantiasa selalu berupaya memahami tentang manusia yang sesuai dengan ajaran Islam.

F.     Metode Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif, dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Analisis penelitian kualitatif dalam konsep manusia bertujuan untuk memahami pemikiran Ali Syaria’ti terkait penjelasannya terhadap manusia. Penelitian ini juga untuk menganalisa suatu fakta tentang manusia.

1.      Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian literatur (library research), Untuk mendapatkan data digunakan dua sumber yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer yaitu sumber data yang memberikan data langsung tanpa perantara,[9] Sedangkan sumber kedua (sekunder) yaitu sumber data yang diperoleh dari orang lain baik dalam bentuk tulisan, bulletin, maupun artikel yang membahas tentang pemikiran Ali Syaria’ti, tentunya yang berhubungan dengan penelitian yang sedang penulis teliti.[10]

2.      Teknik Pengumpulan Data
            Pengumpulan data yang dilakukan dalam kajian ini adalah melalui beberapa cara yaitu, Pertama, kajian kepustakaan, yaitu pelacakan referensi dengan cara membaca, menelaah serta mencatat semua data yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti baik berupa buku, jurnal, bulletin, maupun berbagai terbitan media lainnya. Kedua, kajian data internet, yaitu pelacakan atau pengumpulan data dilakukan melalui jaringan internet. Hal ini dilakukan dengan tujuan penguatan referensi melalui penelusuran data yang mungkin di dapat melalui berbagai situs yang ada. Situs-situs yang dimaksud adalah semua data yang diperoleh melalui internet tentang pembahasan pemikiran Ali Syaria’ti, khususnya tentang konsep manusia.

3.      Analisis Data
Analisis data adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan data, maka dalam penganalisaannya penulis menggunakan kajian pustaka, yaitu kajian yang dimulai dengan pelaksanaan kepustakaan.
Mengenal pustaka dan pengalaman orang lain berarti mencari teori-teori, konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang dilakukan, agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
            Analisis data merupakan proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan dengan menggolongkan dalam satu pola tertentu. Penganalisisan data akan dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, data yang sudah dikumpulkan perlu dianalisis, yaitu dibaca dan diteliti satu persatu. Kedua, penyaringan data, proses ini dilakukan untuk memilih yang bersesuaian dengan dengan kajian. Ketiga, semua data yang telah disaring tersebut diklasifikasikan ke dalam kategori atau tema tertentu berdasarkan keberadaan data yang terkumpul. Dengan membagi data kepada beberapa kategori, maka data yang beragam akan disistematiskan dan dianalisis. Keempat, menjelaskandan mengambarkan data untuk membuat kesimpulan. Melalui proses ini, hubungan data akan muncul, kemudian semua hasil yang digambarkan ini akan melahirkan sebuah kesimpulan utuh untuk menjawab permasalahan utama kajian.

G.    Sistematika Pembahasan
            Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulisannya dibagi ke dalam empat bab, yaitu bab pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
            Dalam bab dua yaitu bab yang membicarakan tentang riwayat hidup yang meliputi pendidikan, latar belakang dan perkembangan pemikiran serta karya-karyanya.
            Pada bab tiga membahas pemikiran Ali Syaria’ti tentang konsep manusia yang meliputi: pengertian manusiadualitas manusiakonsep kebaikan dan kejahatan dalamdiri manusia, humanitas, masa depan manusia dan analisis penulis terhadap konsep manusia dalam perspektif Ali Syaria’ti.
            Selanjutnya pada bab empat yang merupakan bab yang terakhir, di mana dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu berdasarkan hasil penelitian di atas.

BAB II
BIOGRAFI ALI SYARIA’TI
A.    Riwayat Hidup Ali Syaria’ti
Ali Syaria’ti adalah seorang tokoh perjuangan, masa hidupnya dihabiskan untuk mengabdikan diri dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, berdasarkan ajaran Islam, untuk menentang pemerintahan Syah Reza Fahlevi Iran. Ali Syaria’ti Mazinani adalah nama lengkap Ali Syaria’ti yang dilahirkan di Mazinan, dekat kota Sabzivar dan Marsyhad, tepi gurun pasir Dast-I Kavir, provinsi Khurasan. Namanya pernah digantikan dalam identitas yang lain untuk menghindari pencarian dari pihak  intelijen masa pemerintahan Syah. Syaria’ti dilahirkan dikalangan keluarga ulama
Ali Syaria’ti adalah anak pertama pasangan Muhammad Taqi dan Zahra lahir pada tanggal 24 November 1933, bertepatan ketika periode ayahnya baru menyelesaikan studi keagamaan (teologi) dasar yang bernama Syerafat, dan mulai mengajar pada sekolah dasar tersebut. Syaria’ti anak pertama sekaligus anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga, dengan tiga orang saudaranya, Tehereh, Tayebeh, dan Batul (Afsanah). Syaria’ti hidup dalam masyarakat urban kelas menengah ke bawah.
Dari segi keagamaan, keluarga Syaria’ti adalah keluarga yang taat beragama dan terhormat. Dalam keluarganya ritual keagamaan ditunaikan dengan baik. Islam oleh ayah dan keluarga Syaria’ti dipandang sebagai doktrin sosial dan filsafat yang relevan dengan zaman modern, bukan sebagai keyakinan masa lalu yang bersifat personal dan hanya memikirkan diri sendiri (individual).
Sayyid Muhammad Taqi Syaria’ti, ayah Ali Syaria’ti, merupakan salah seorang dari putra-putra gerakan pemikir Islam di Iran. Puluhan tahun pengabdiannya terhadap Islam rasanya sungguh sangat berharga, Muhammad Taqi adalah orang yang selalu berada di barisan paling depan dari kalangan orang-orang yang ingin mencerdaskan para pemuda untuk mengoreksi konsep-konsep humanisme Barat, kemudian berpegang pada Islam yang menerangi kehidupan[16] Ayahnya adalah seorang aktivis politik sekaligus tokoh penyebar agama yang mendirikan[17] dan mengelola lembaga pusat pendidikan agama Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al Islamiyah(Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Untuk menghidupi keluarganya, Muhammad Taqi mengajar diberbagai lembaga pendidikan dan harus bekerja hingga larut karena memang keluarga ini adalah keluarga yang tidak begitu mampu dalam bidang ekonomi.
Keturunan Akhund Mulla Qurban[19] dikenal sebagai keluarga yang saleh dan rajin bersosialisasi serta membantu masyarakat sekitarnya. Ayah Syaria’ti balajar agama di Hawzah ‘Ilmiyah Masyhad dan menjadi guru setelah tamat muqodamat(teologi dasar) dan memulai sath (studi menengah). Meskipun Muhammad Taqi memiliki kemampuan untuk menjadi ulama namun, Muhammad Taqi lebih memilih ‘berpakaian’ Barat dalam mendidik keluarganya, yang diyakininya kelak menjadi virus pembaharu bagi negaranya. Sehingga, mempelajari, memahami bahasa, adat istiadat, karya pengetahuan dan style Barat begitu penting baginya. Muhammad Taqi Syaria’ti memulai dakwahnya mengenai wajah Islam yang progresif dan revolusioner pasca turunnya Reza Syah di tahun 1941 dan Partai Tudeh[20] begitu menggejala di kalangan intelektual Iran. Perjuangannya membuka jalan ketiga bagi dua golongan yang sedang bertikai dengan bergabung dalam Kanoun-e Nashr-e Haqayeq-e Eslami (Pusat Dakwah Kebenaran Islam). Para anggota Kanoun ini banyak yang bergabung ke dalam Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) yang pro-Mosaddeq. Begitu pula dengan organisasi kelompok Muslim-Sosialis bernama Nehzat-e Khoda Parastan-e Sosialis (gerakan sosialis penyembah Tuhan), dikemudian hari Ali Syaria’ti masuk menjadi anggotanya
Selain ayahnya, pemikiran Ali Syari’ati mudah juga sangat terobsesi oleh kehidupan kakek-kakeknya yang suci, terutama tentang filsafat yang mempertahankan jati diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi telah merajalela. Adalah Akhund Hakim, kakek dari ayah Ali Syari’ati yang sering diceritakan kepadanya, telah banyak memberi inspirasi bagi benih-benih kesadaran yang tumbuh dalam jiwa Ali Syari’ati, demikian juga paman ayahnya, seorang murid pemikir terkemuka dan sastrawan Adib Nisyapuri yang sangat menonjol. Demi mengikuti jejak kakek-kakek leluhurnya, sesudah mempelajari fiqih, filsafat dan sastra, mereka kembali ke kampung halamannya Mazinan.
Ali Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan kakek-kakeknya, serta dari paman ayahnya tersebut. Ali Syaria’ti melihat ruhnya yang abadi itu berada dalam dirinya, dan melihat ruh yang bersinar cemerlang itu menerangi jalan yang ditempuh dalam kehidupannya.
Pada awal tahun 1940, ayahnya mendirikan usaha penerbitan yang bernama“Pusat Penyebaran Kebenaran Islam”, yang bertujuan untuk kemajuan Islam sebagai agama yang kaya akan kewajiban dan komitmen sosial. Ali Syaria’ti lahir dan tumbuh di tengah masa perang dunia, di mana keadaan dunia kacau dan hampir tidak ada stabilitas sistem pemerintahan. Perang dunia lantas melibatkan negara-negara seperti Iran dalam kancah perpolitikan global yang panas. Situasi semakin tidak stabil dengan kebijakan industrialisasi pemerintah yang dijalankan dengan tindakan represif.
Ali Syaria’ti rajin membaca buku-buku pustaka koleksi ayahnya hingga larut malam dan tidak jarang sampai pagi hari, sehingga kadang-kadang jarang membaca bacaan wajib sekolahnya. Pada usianya yang masih tingkat kanak-kanak, Syaria’titelah membaca karya-karya penulis besar yang telah diterjemahkan dalam bahasa Persia.
Di kota Paris inilah Syaria’ti berkenalan dengan banyak tokoh intelektual dari Barat, antara lain Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain. Perkenalannya ini membawa dampak terhadap pemikiran Ali Syaria’ti dalam memperjuangkan apa yang diyakini benar olehnya, dan menjadi pengkritik aktif terhadap Dinasti Syah Fahlevi. Konstrusksi sosiologis marx, didapatkan Syaria’ti ketika kuliah dengan guru besar universitas Sorbone yaitu George Gurvitch, khususnya analisa tentang kelas sosial dan truism(itsar).
Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai peristiwa politik yang terjadi di Iran memberikan sinyal reaksi kaum muda yang menggeliat. Pada masa itu Ali Syaria’ti berusaha keras menjadikan Husainiyah Irsyad sebagai Universitas Islam yang modern. Husainiyah Irsyad didirikan pada tahun 1967,namun pada tanggal 19 November 1972Husainiyah Irsyad ditutup oleh pemerintah dan Ali Syaria’ti dipenjara karena aktivitas politiknya yang membahayakan dan mengancam kedudukan pemerintah.
Karena kondisi politik yang menyudutkannya membuat Syaria’ti harus berangkat keluar negeri. Kepergian Ali Syaria’ti menuju London pada tanggal 16 Mei 1977 diketahui oleh tentara Syah, yang bernama Savak.Mereka mengontak agen mereka diluar negeri. tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977 agen-agen tentara tersebut secara misterius melakukan pembunuhan terhadap Ali Syaria’ti, jenazahnya terbujur kaku di lantai tempat Syaria’ti menginap di Southampton, Inggris.

B.     Pendidikan dan Karya
1.      Pendidikan
Ilmu merupakan sumber daya penting bagi manusia, dengan ilmu hidup jadi lebih mudah. Melalui ilmu manusia dapat mengetahui rahasia alamdan menguasai angkasa luar. Dengan menggunakan akal pikirannya, manusia dapat memanfaatkan ilmu untuk menghasilkan sesuatu yang berarti, misalnya di bidang teknologi. Oleh karenanya, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan sebagai penunjang kehidupannya.
Selain ilmu pengetahuan yang dipelajari, ada juga namanya intuisi (masyar) yaitu cahaya yang hanya dinyalakan oleh Allah di hati orang-orang yang Dia kehendaki, orang yang dikehendaki Allah dalam konteks ini bukanlah orang-orang yang berjuang demi dirinya sendiri, tetapi demi orang lain dan masyarakatnya. Ajaran Islam bersifat Universal, mengatur tentang segalanya di muka bumi ini. Dari konteks ini Syaria’ti mencoba mengimplementasikan ilmunya dalam bentuk restorasi (perbaikan) masyarakat Islam Iran ke arah yang lebih baik.
Ali Syaria’ti sebagai anak yang lahir dari keluarga yang sangat religius, baginya guru pertama adalah orang tuanya sendiri yaitu ayahnya, ayahnya yang pertama kali membimbing Ali Syari’ti dalam dunia pendidikan sebelum masuk pendidikan formalnya sekolah swasta Ibn Yamin di Marsyad, pada tahun 1944. Banyak pencerahan yang didapatkannya dari ayah, ayahnya seorang berbicara nasionalis progresif. Sang ayah telah membentuk jiwa dan semangatnya, serta telah mengajarkan “seni” berpikir dan teknik untuk menjadi manusia yang berarti dan bermanfaat bagi manusia lain. Ayahnya juga menanamkan dalam diri Ali Syaria’ti rasa kebebasan, kemerdekaan, harga diri, keluhuran, budi dan iman.[
Ali Syaria’ti masuk Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1944, tepat ketika memasuki umur delapan tahun dan sekolah yang dipilih ayahnya adalah suatu lembaga pengajaran milik swasta, Ibn-e Yasin Primary School, sekolah tempat ayahnya bekerja. Selain bekerja ayahnya juga dapat mengontrol kelakuan anaknya. Di sekolah tingkat dasar ini, Ali Syaria’ti mempunyai dua perilaku yang berbeda, yakni Syaria’ti tidak mau diatur dan rajin. Syaria’ti tidak banyak bergaul dan bermain bola. Demikian juga,Syaria’ti selalu memandang ke arah jendela ketika sedang berada di ruangan kelas.
Berbeda dengan anak-anak lain seperti lazimnya, ketika masih kanak-kanak Syaria’ti asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserables karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Pada tahun pertama Syaria’timasuk Sekolah Menengah Atas, Syaria’ti sudah sangat asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan, hal inilah yang tidak menyempatkan dirinya untuk bergabung bersama teman-temannya yang lain. Syaria’timenghabiskan waktunya lebih banyak di rumah dengan membaca buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya yang memiliki koleksi lebih kurang 2.000 buku
Ali Syaria’ti masuk sekolah lanjutan pertama di Ferdowsi Secondary Schoolyang lulus pada tahun 1950. Sejak tahun pertama Syaria’ti masuk di sekolah ini, Ali Syaria’ti mulai menyukai filsafat dan mistisme. Di samping itu, minatnya juga mengarah pada kesastraan, syair, dan tema-tema kemanusiaan. Di rumah, Syari’atitetap belajar bahasa Arab dengan ayahnya, fokus studinya adalah filsafat, karya penyair, dan karya penulis modern Iran maupun asing, hasil dari proses belajarnya yang kuat melahirkan karya-karya yang sangat luar biasa.
Pada saat masuk sekolah  Ferdowsi Secondary School Syaria’ti juga mempelajari karya-karya Saddeq-e Hedayat (novelis ternama Iran yang beraliran nihilisme), Nima Yousheej (bapak penyair modern Iran), Akhavan-e Saless (penyair kontemporer Iran terkenal), dan Maurice Maeterlinck (penulis Belgia yang karya-karyanya memadukan mistisme dan nihilisme). Tidak mengherankan anak-anak seumur Syaria’ti telah memembaca berbagai literatur besar, kemudian Syaria’timendapatkan inspirasi-inspirasi baru dari bacaannya dan berpengaruh terhadap pemikirannya.
Pada tahun 1950 Syaria’ti masuk kolese pendidikan Guru (Teacher’s Training College) Masyhad dan lulus pada tahun 1952. Pada masa ini pula Ali Syaria’ti melakukan perlawanan terhadap rezim Syah, meskipun sangat disibuk dengan jadwal mengajarnya di desa Ahmad Abad. Hal ini dibuktikan dengan bergabung dalam“Gerakan Nasional Nasional” pada tahun 1953. Pada tahun 1958 setelah lima bulan menikahi seorang gadis bernama Pauran Syaria’ti masuk Fakultas Sastra Persia Masyhad, setelah tiga tahun belajar Syaria’ti memperoleh gelar BA, berkat kecerdasan, wawasan dan keinteletualitasnya kemudian mendapat kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Eropa, yaitu Sorbone University, Paris, Perancis. Di kota inilah Ali Syaria’ti mengembangkan pemikirannya yang kemudian terkenal demokratis, liberal, dan sosialis bertuhan.
Setelah kepergiannya ke luar negeri tahun 1959. Paris menjadi tempat melanjutkan studi baginya setelah menerima beasiswa yang peroleh dari hasil prestasi akademiknya. Setahun setelah Syaria’ti tiba di Paris, disusul oleh istrinya Puran Syariat Razavi, yaitu kenalannya sewaktu masih kuliah di Universitas Masyhad. Istrinya datang bersama putra pertamanya yang baru lahir, bernama Ehsan. Selama di Paris, Syaria’ti bersentuhan dengan gagasan dan karya-karya besar yang mempengaruhi pandangannya dan menambah wawasan mengenai hidup. Syaria’ti mengikuti kuliah para akademisi, filsuf, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, kadang-kadang bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Kemudian Ali Syaria’ti mengaku mendapatkan sesuatu yang baru dan berharga dalam segi keilmuan dari mereka, Syaria’ti merasa berhutang budi kepada mereka
Menjajaki kota Paris merupakan perjalanan Ali Syaria’ti yang baru menempuh pendidikan, kesempatan yang besar didapatkan oleh Ali Syaria’ti di universitas ini, di sinilah Syaria’ti membebaskan diri dari penguasa Iran. Di tempat ini pula menambah ilmu pengetahuan selama lima tahun dan terlibat dalam berbagai gerakan. Ali Syaria’ti banyak menelaah buku-buku dan karya yang sebelumnya belum didapatkan di Iran.[36] Syaria’ti mulai berkenalan dengan berbagai pemikiran baik di bidang sosial mapun filsafat. Sekaligus mendapat kesempatan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, para filsuf, Sosiolog, Islamolog, cendekiawan serta penulis-penulis hebat dan terkemuka, seperti Hendry Bergson, Albert Camus, Paul Satre, Fantz Fenon dan Luis Massigno.
Selain mempelajari karya-karya ilmuan Barat, Syaria’ti juga aktif menerjemahkan berbagai macam buku, diantara buku-buku yang berhasilditerjemahkan adalah Be Koja Tkiye Kunim? (1961) Guerilla Warfare karya Guevara,What is Poetry karya Satre dan The Wretched of The Earthkarya Fantz Fanon.
Karya Fenon tentang revolusi Aljazair sangat menginspirasinya untuk menerapkan apa yang dikatakan Fenon dalam karyanya, buku Fenon yang berjudul “Yang Terkutuk di Bumi” mengandung analisa sosiologi dan psikologi mendalam tentang revolusi Aljazair, ini merupakan bingkisan intelektual yang luar biasa bagi masyarakat Iran untuk melakukan revolusi. Dengan menjelaskan teori-teori Fanon,menterjemah dan menerbitkan beberapa pokok pemikirannya, Syaria’ti telah mengumandangkan ide-ide dikalangan rakyat Iran. Syaria’ti mulai bersyi’ar terhadap revolusi bagi Iran. Ide-ide Fanon benar-benar telah mempengaruhinya dan Syaria’tibersimpati penuh kepadanya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapatnya. Selain itu juga memperkenalkan karya penulis revolusioner Afrika, seperti Umar Uzkan. Ali Syaria’ti yakin bahwa ide-ide mereka akan sangat berdampak baik bagi perjuangan dan politik Iran.
Ketika Ali Syaria’ti sedang menempuh pendidikannya, bersamaan dengan itu suatu tahap baru dan vital, yakni tumbuhnya kelompok gerakan progresif dalam gerakan keagamaan di Iran. Setelah beberapa saat kebebasan mulai sedikit terasa di Iranmaka, tirani dan penindasan pun kembali merajalela. Penahanan, pemeriksaan, hukuman penjara dengan durasi waktuyang panjang kembali terjadi, sasarannya adalah para nasionalis yang berorientasi agama, yang terlibat pembebasan Iran.
Dalam gerakan inilah Ali syariati melibatkan diri secara penuh. Sebagai upaya untuk melakukan pencegahan terhadap penerbitan berbahasa Persia di luar negeri yang selalu memberikan dinamika Iran sebagai non agama bahkan anti agama, Ali Syaria’ti bersama beberapa kawan yang sependapat dengannya menerbitkan sebuah jurnal berbahasa Persia yang beredar luas di Eropa. Dengan wibawa pemikiran dan tulisannya, Syaria’ti menjadi orang yang paling serius dan realistis mendukung gerakan rakyat Iran. Dengan jurnal ini, terciptalah keselarasan antara ide-ide kelompok intelektual Iran di luar negeri dan perjuangan rakyat dalam negeri
Pada saat berada di Perancis Ali Syaria’ti juga menjadi seorang pemikir yang agak radikal dalam isu-isu tentang dunia ketiga. Bersama kaum cendekiawan dari Afrika, Asia dan Amerika Latin, Ali Syaria’ti terlibat dalam pencarian dasar-dasar pemikiran dunia ketiga. Berbagai tulisanpun kerab lahir yang menjelaskan kenestapaan dunia ketiga pada saat itu, bersamaan dengan itu juga Ali Syaria’ti juga terlibat dalam penulisan artikel pada surat kabar kaum nasionalis di Aljazair, al-Mujahid. Secara umum tulisan-tulisan itu secara umum berisikan tentang revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme.
Setelah meraigelar doktornya pada tahun 1963 dengan disertasi yang berjudulLes Meritesde Balkh (segi positif balkh). Setahun kemudian Syaria’ti bersama keluarganya kembali ke negara tempat Syaria’ti dilahirkan yaitu Masyhad Iran. Dalam perjalanan pulang ke Iran, Syaria’ti ditangkap diperbatasan, di depan anak dan istrinya, kemudian dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan bahwa ketika sedang kuliah di Prancis Syaria’ti telah terlibat dalam berbagai aktivitas politik. Setelah dibebaskan pada tahun 1965 Syaria’ti mendapat kesempatan mengajar di Universitas Masyhad. Sebagai seorang pakar sosiologi muslim, menurut prinsip-prinsip Islam, menjelaskan dan mendiskusikan prinsip-prinsip itu bersama para mahasiswanya. Dalam waktu singkat Syaria’ti meraih popularitas di kalangan mahasiswa dan berbagai golongan sosial yang berbeda di Iran. Inilah yang dijadikan alasan oleh rezim penguasa untuk menghentikan kuliah-kuliahnya di Universitas.
Sosiologi Islam merupakan mata kuliah baru yang diperkenalkannya pada saat itu, metode yang digunakan Ali Syaria’ti sangat mampu menarik perhatian mahasiswa karena metode pendekatan dilakukan dari berbagai sudut, tidak hanya pendekatan dogmatis dan teologis tapi juga lebih sosiologis, filosofis dan rasional. Oleh karena itu Islam seakan menjadi baru dan sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat, bukan sekedar konsep yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian penafsiran-penafsiran yang dilakukan Ali Syaria’ti sangat termotivasi untuk segera beraksi.
Pernah ketika Ali Syaria’ti terlambat datang untuk memberikan kuliah pada mahasiswanya, kemudian Ali Syaria’ti berkata:
“saya terlambat lagi dan saya mohon maaf, karena terlalu lelah dan penat. Sebetulnya saya tidak ingin datang ke sini, tapi gairah saya untuk melihat anda dan “keresahan” dalam diri saya mendorong saya… seperti yang saya katakana pada mahasiswa sastra kemarin malam. Firasat saya tentang “kesementaraan” dan “ketidakpastian” masa depan saya tidak mengizinkan saya tinggal di rumah. Firasat atau realitas, atau apapun yang saya simpulkan dari situasi sekarang nyatakan nyatakan bahwa hidup saya tinggal beberapa hari lagi…saya tidak yakin pada masa depan saya. Saya pun tidak yakindapat tinggal beserta anda dan bicara lama… itulah sebabnya saya selalu berusaha untuk berbicara sebanyak mungkin.Malam ini pembicaraan saya sangat kompleks. Karena tidak cukup waktu membahas topik ini dengan baik, saya akan menyentuh hal-hal umum saja”[43]

Kontaknya dengan mahasiswa-mahasiswa Iran, menjadikannya tokoh populer, keadaan dan suasana di Universitas Masyhad segera berubah menjadi lebih semarak dibandingkan sebelumnya yang bersifat pasif dan stagnan. Kelas Ali Syaria’ti mengajar segera menjadi kelas terfavorit dan luar biasa semangat. Gaya orator Ali Syaria’ti yang memukau, berkesan, meyakinkan dan mengikat audien, memberikan pencerahan baru serta memperkuat isi kuliahnya untuk membuat orang untuk berpikir lebih maju, dalam sesaat mahasiswa tumbuh dengan gagasan kritisnya.
Jabatannya sebagai pengajar dan guru besar di Universitas Masyhad, membuka peluang untuk memasuki tahapan baru dalam aktivitas yang lebih meningkat. Karena, dengan itu Syaria’ti dapat menulis berbagai analisis, menyampaikan kuliah dan ceramah seputar masalah-masalah sosial keagamaan yang berguna bagi generasi muda dan seirama dengan arus pemikiran baru dan interpretasi-interpretasi yang berkembang di dalam masyarakat. Akibatnya, Syaria’ti kembali harus mendekam dalam tahanan lima ratus hari tanpa proses pengadilan
Setelah berhenti dari pekerjaannya di Universitas Masyhad, Ali Syaria’ti dikirim ke Teheran, di sana Syaria’ti bekerja keras untuk menjadikan Hossaniyah Ersyad menjadi sebuah Universitas Islam radikal yang modernis. Namun karena usaha semakin maju membuat Hosseniyah Ersyad ditutup oleh pemerintah pada tanggal 19 November 1972 dan Syaria’ti dipenjara karena berbagai aktivitas politiknya yang mengecam rezim Syah. Kemudian setelah keluar dari penjara Ali Syaria’ti meninggalkan Iran pada 16 Mei 1977. Tentara Syah mengetahui kepergiannya, mereka mengutus agen untuk melacak keberadaan Ali Syaria’ti, akhirnya Di London, Inggris pada 19 Juni 1977 jenazah Ali terbujur di tempat Syaria’ti menginap.
Syaria’ti lalu dikuburkan di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu Nabi dan saudara perempuan Imam ketiga, Husain bin Ali, pada 27 Juni 1977. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Sadr pemimpin Syi’ah Lebanon. Kematiannya menjadi mitos “Islam militan”, popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.

2.      Karya Ali

Dalam melakukan perjuangannya terhadap pemerintah, Ali Syaria’ti telah menghasilkan karya-karya warisan intelektual yang dapat terus dibaca sampai sekarang. Banyak tulisannya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.Syaria’ti bukan hanya sebagai seorang orator atau organisator pergerakan saja, melainkan juga sebagai penulis yang tajam, kritis dan produktif. Separuh perjalanan kehidupannya, Syaria’ti telah menggunakan penanya untuk menulis, mencurahkan ide-ide, pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan. Jika tulisan-tulisan Ali Syaria’ti di klasifikasikan, terbagi atas tiga katefori yaitu: naskah-naskah yang telah berbentuk buku (books), terjemahan karya orang lain (tranlation), dan naskah yang masih berbentuk manuskrip (manuscript).
Adapun karya yang telah penulis temukan adalah sebagai berikut.
a.       An Approach to Understanding of Islam, menjelaskan dan mengajak para pembaca untuk memahami Islam secara keseluruhan (kaffah). Ali Syaria’ti mengatakan bahwa pemahaman Islam yang tepat dan benar akan melahirkan aksi sosial dan tanggung jawab manusia.
b.      Kavir, buku ini menyampaikan perjuangan Ali Syari’arti untuk menyelaraskan, seimbang (balance) dengan dirinya yang sejati dan membina hubungan dengan Tuhan. Ali Syaria’ti menyebutkan hal ilham dan pengalaman teosofisnya. Kavir adalah sumber kekuatan mistik dan spiritual Ali Syaria’ti, juga sebagai medium untuk mengabsahkan misi revolusioner.
c.       Marxis and Other Western Falsllacis an Islamic Critique, dalam edisi Indonesia terjemahan kritik Islam atas marxisme dan sesat pikir Barat lainnya. Penerjemah Anis al-Habsyi, Bandung: Mizan, 1990. Karya ini berisi serangkaian kuliah yang diberikan secara khusus. Naskahnya diterbitkan berturut-turut dalam situasi berlainan. Sub-bab dari buku tersebut diterbitkan secara berkala oleh surat kabar Taheran, Kayhan, International sejak 15 Februari hingga 15 Maret 1997 dengan tajuk manusia, marxisme dan Islam.
Dalam buku ini Ali Syaria’ti secara filosofis mengkritik ajaran Marx segenap dengan dasar filosofis serta pemikiran barat lainnya: liberalisme, materialisme, humanisme, eksistensialisme, nihilisme, bahkan spiritualisme yang jahat dalam pertentangan yang logis dalam Islam. Namun dengan menolak Marxisme dan pemikiran Barat, Ali Syaria’ti terbantu oleh pengenalan yang mendalam dan mendasar dengan tokoh Marxis.
d.      Religion Versus Religion, dalam edisi Indonesia Agama Versus Agama, Penerjemah Afif Muhammad dan Abdul Syukur, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994. Buku ini berisi dua tulisan Ali Syaria’ti yang disampaikan di Hussainiyah Irsyad pada tahun 1970.Syaria’ti membuktikan tesisnya pada kontradiktif agama dan agama melalui sejarah. Sesuatu yang diyakini sebagai agama terkadang dicemari syirik. Sesuatu yang diyakini sebagai agama tauhid dalam dua kelompok: pertama, agama revolusi, dan kedua agama legitimasi. Yang pertama agama yang mempunyai misi untuk mengatasi. Perbedaan (clansses), ekonomi, dan status. Sedangkan kelompok yang kedua adalah Agama yang mengesahkan atau bahkan mengabadikan perbedaan di atas atau status quo
e.       Red Syi’ism and One followe by Eternity of Zeroes. Dalam edisi Indonesia Islam mazhab pemikiran Aksi, penerjemah M.S Nasrulloh dan Afif Muhammad, Bandung: Mizan, 1995. Dalam buku ini Ali Syaria’ti menjelaskan Islam sebagai mazhab teologi dan gerakan aktivitastik.
f.       Men and Islam, dalam edisi Indonesia berjudul Tugas Cendekiawan Muslim, penerjemah M. Amien Rais, Jakarta: Rajawali Press, 1998. Dalam karya ini Ali  menguraikan eksistensi manusia, pandangan dunia idologi dan idolog, ilmu filasafat (ulama dan filosof) dan piramida kebudayaan.
g.      Eslamshenasi (Islamologi). Secara esensial buku ini komplikasi kuliah sejarah Islamnya yang disampaikan di Universitas Masyhad. Dari buku ini benih-benih idenya dalam sketsa, kemudian hari menjadi fokus dan dibahas panjang lebar. Dalam islamologi, melingkupi tiga maksud: Pertama, menemukan Islam modem, egaliter, demokratis, sebagai bentuk asli Islam, dan Islam ideal. Kedua, Ali Syaria’ti menunjukkan penyebab yang merintangi terbentuknya Islam ideal, dan ketiga, Ali Syaria’ti menunjukkan mengapa kaum muslimin sebagai pihak yang benar-benar meyakini tauhid wajib menentang dan mengatasi berbagai persoalan yang merintangi terwujudnya Islam ideal.
h.      A Glance at Tomorro’s History. Terj. Laleh Bakhtiar dan Hussyn Salib. Isinya Ali Syaria’ti menguraikan hakikat hari esok dalam pandangan Islam. Syaria’ti juga menjelaskan tentang penciptaan khalifah di muka bumi ini yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri masyarakat dan masa depannya.
i.        On the Sosiology of Islam, tema sosiologi dalam buku ini di dasarkan atas keterangan sejarah yang termuat dalam al-Qur’an. Ali Syaria’ti menganalisis misalnya tipologi Habil dan Qabil, melalui suatu pendekatan historis. Riwayat ini menunjukkan bagaimana singularitas kemanusiaan yang berasal dari orang tua yang sama, kemudian berubah menjadi konflik dan pertentangan. Dalam analisisnya Ali Syaria’timengontraskan pribadi dua anak Adam As. mewakili kelas-kelas sosial dan stratifikasinya.
j.        Hajj, edisi Indonesia berjudul Haji, penerjemah Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983. Lewat buku ini penulis menggali dasar dan tujuan hidup melalui ibadah haji. Demikian juga berbicara tentang penderitaan, penindasan, dan kebebasan. Ali Syaria’timembangun gagasan tentang pembebasan, kemerdekaan dan perjuangan rakyat melawan penindasan. Tipe Ibrahim As., Hajar, Ismail As. saat bayi dan remaja, zam-zam dan sebagainya digambarkan oleh Ali Syaria’ti dengan simbol yang sesuai. Pesan yang disampaikan terkait dengan ritual ibadah haji, miqatihramtawafsa’i dan pengorbanan Islami.
k.      A Waiting the Relegion of Protest, dalam edisi Indonesia berjudul Islam agama protes, penerjemah Satrio Panadito, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993. Karya ini memaparkan dan menganalisa konsep-massiah-penantian datangnya sang Imam atau juru selamat. Sebagian orang masih banyak memahami massiah secara keliru. Kesalahpahaman tersebut menjadi dalih terhadap kebenaran kezaliman, kerusakan, serta memandang hal-hal yang zalim adalah suatu yang ilmiah. Sehingga yang menganut paham ini kemudian melepaskan diri dari tanggung jawab sosial dan tidak mau berpartisipasi dalam aktivitas.
l.        What Is To e Be Done? The  Enlightened Thinker and Islamic Renaisance Dalam edisi Indonesia berjudul “Membangun Masa depan Islam: Pesan Untuk para Intelektual Muslim“, Penerjemah Zanmahan Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1993. Inti buku ini adalah Ali Syaria’ti mengupas tentang sosok intelektual, paranan, dan tanggung jawabnya dalam masyarakat, serta tipe intelektual dan pemikir-pemikir yang tercerahkan. Ali Syaria’ti menganalisa sejarah dengan mangaitkan S. Al-Rus: 30 dalam wacara sosio-historis.

C.    Latar Belakang Pemikiran Dan Perkembangannya
Sosok Ali Syaria’ti dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, Ali Syaria’ti dapat dikatakan sebagai seorang teolog, filosof dan revolusioner. Dirinya tidak pernah mengklaim dengan semua sebutan tersebut. Ali Syaria’ti hanyalah sebagian orang yang ingin merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan ide-ide yang ada dalam pikirannya.
Pemikiran, ide, maupun gagasan cemerlang yang lahir dari seorang pemikir tak dapat dilepaskan dari ruang sosio-politik dan kultural di mana ia hidup. Pemikiran adalah buah interaksi individu dengan realitas. Suatu pemikiran akan kehilangan baju historis dan ruh inspirasinya bila diisolasikan dari ruang dan waktu di mana ia lahir. Filsafat sosial Ali Syaria’ti pun demikian. Syaria’ti tidakdapat dilepaskan dari konteksIran. Pergolakan dan krisis di Iran merupakan latar belakang pemikiran Ali Syaria’ti.
Sejak muda, AliSyaria’ti telah menunjukkan ketertarikannya pada kajian-kajian mendalam, itu terlihat dari minatnya membaca buku dalam berbagai bidang keilmuan. Paling tidak ada empat kategori bidang keilmuan yang banyak dipelajari dari buku, yaitu filsafat, sufisme, politik, dan sastra.
Mazhab merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh dalam pemikiran yang dianutnya. Mazhab punya kiprah yang besar mengatur pola pikir seseorangJika seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi, jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan pandangan dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya dapat menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial. Semua gerakan intelektual yang dilakukan oleh Ali Syaria’ti mengacu pada landasan dasarnya yaitu tauhid yang humanis

1.      Agama
Pemahaman terhadap agama (Islam) pada saat itu hanyalah bermain diranah ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan lain seperti politik dan sosial kemasyarakatan. Namun Ali Syaria’ti memahami agama tidak hanya sebatas itu, agama tidak hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya hubungan manusia dengan sang Khalik, akan tetapi agama (Islam) adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Menurut Ali Syaria’ti, agama bersifat revolusioner, tidak hanya menjadi seperangkat doa-doa dan ritual dalam kehidupan.Agama seharusnya berperan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari penguasa zalim. Jika agama hanya dipandang sebagai dogma, maka agama seperti inilah yang diinginkan penguasa untuk menjaga kekuasaanya tetap aman. Gagasan tentang Islam revolusioner yang digagaskannya sejalan dengan apa yang diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide keduanya hampir sama yaitu mendobrak lembaga resmi agama yang selalu berada pada pihak penguasa. Revolusi Islam sekaligus teologi pembebasan berupaya untuk mendobrak dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang selalu menjadi kepentingan bersama.
Tauhid adalah landasan utama berpikir Ali Syaria’ti, itu digunakan pada semua pemikirannya, bagi Syaria’ti tauhid dapat jadi prinsip keadilan yang menolak semua kontradiksi yang ada dalam sebuah masyarakat.Tauhid bukan hanya sebagai sebuah filsafat moral, tapi juga merupakan pondasi dari segala prinsip termasuk kegiatan manusia. Dengan kata yang lebih ringkas Syaria’ti mengatakan tauhid merupakan pandangan hidup tentang kesatuan universal antara Tuhan, alam, dan manusia.
Karakter religius Syaria’ti bukan semata berhenti pada urusan spiritualitas atau hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Islam baginya adalah filsafat pergerakan. Muslim ideal adalah mereka yang menempatkan agama bukan semata-mata sebagai keyakinan teologis, melainkan pegangan secara ideologis. Tokoh muslim yang dijadikan teladan adalah Abu Dzar Al-Ghifari, seorang muslim saleh yang berasal dari kalangan bawah. Kesederhanaan membawanya pada pemahaman Islam yang berkepedulian sosial. Abu Dzar dalam pandangan Syaria’ti sebenarnya adalah personifikasi dari Islam Syi’ah awal, yaitu Syi’ah revolusioner yang diwariskan oleh Imam Husein.

2.      Filsafat
Kegemaran untuk mengetahui hal-hal baru, juga didukung oleh sarana di sekitarnya membuat Ali Syaria’ti sangat gemar membaca. Hal inilah yang membuatnya mengetahui banyak hal termasuk filsafat. Banyak sekali bacaan yang Syaria’ti lakukan sejak masih duduk dibangku Sekolah Dasar.
Ali Syaria’ti juga menitik fokuskan pemikirannya pada pembahasan kemanusiaan, Aspek kemanusiaan dalam konteks perbincangan seputar individu manusia menjadi titik tolak membangun peradaban yang maju. Aspek kemanusiaan menjadi bagian bahasan penting dalam pemikiran Ali Syaria’ti. Nilai-nilai kemanusiaan ini dibahas dalam teori humanitas. Ajaran humanitas sendiri oleh Ali Syaria’ti diartikan sebagai “aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia”.
Ali Syaria’ti juga membahas tentang filsafat penciptaan Adam. Dalam pandangan Ali Syaria’ti, Adamadalah simbol representatif dari manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Ali Syaria’ti membahas kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas. Manusia adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh Allah) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satunya
Visinya adalah membangun pemikiran filosofis yang hanya didedikasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Individu tidak hanya diposisikan sebagai individu yang otonom, melainkan juga sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang melingkupinya. Salah satu pernyataan Syaria’ti, “Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, manusia tersebutmenemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syaria’ti menurut Shahrough Akhlavi sebagaimana dikutip oleh Faqih al-Asy’ari adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi keprogram revolusioner untuk mengubah dunia.
Ali Syaria’ti sempat goyah dalam cara berpikir tentang filsafat, bahkan membuat ragu akan eksistensi Tuhan, inilah yang terjadi ketika perasaan Ali Syaria’ti dipengaruhi oleh argument-argumen Barat. Karya-karya Barat membuat Syaria’timerasa sengsara. Akhirnya Syaria’ti menemukan solusi yaitu dengan menelaah buku-buku karya Timur dan mulai tersentuh dengan gudang spiritual abadi filsafat timur.[56]Pengaruh mistisme Maulawi (Jalaluddin Rumi) filsafat Timur sangat berkesan yang membangkitkan semangatnya kembali sehingga, Syaria’ti menyebut mistisismebersama egalitarianism dan freedom adalah tiga tamu historis utama.
Filsafat sejarah juga sangat terpancar dari pemikiran Ali Syari’ti, hal ini diketahui dari berbagai risalahnya yang selalu menyebutkan hal tersebut. Filsafat sejarah merupakan perpaduan dari berbagai gagasan. Sejarah sebagai kontruksi pola dasar dari berbagai realitas unik yang muncul dalam fakta-fakta sejarah diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan ideologis tertentu, itulah pandangan Ali Syri’ati. Fakta sejarah tidak boleh dibiarkan membisu.
Dialektika sejarah Ali Syaria’ti tampaknya meminjam konsep dialektika sejarah marxis, hanya saja Syaria’ti menggunakan secara kolektif analisisnya mengenai Habil dan Qabil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinal dalam kontek pemahaman Islam. Salah satu cara luar biasa untuk mencapai persamaan dan ketercerahan manusia dan masyarakat adalah konsepnya tentang gerakan manusia yang terus-menerus  terhadap Tuhan melalui jalan-jalan revolusi dan penyempurnaan.

3.      Politik
Dalam kontek kehidupan politik ketika Ali Syariati hidup, Syaria’ti melawan arus politik dengan cara menggagas ide Islam pembebasan, ketika para penguasa menggunakan agama untuk berlindung pada saat itu, agama dijadikan alat untuk menjaga kekuasaan mereka. Syaria’ti Aktif melakukan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa pada saat itu sejak umur masih muda.
Agar negara tetap stabil maka Ali Syaria’ti memaparkan konsep pemerintahan Islam yang dalam bukunya banyak membahas tentang persoalan tersebut. Menurutnya,tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep negara itu sendiri. Ali Syaria’ti membedakan konsep siyasah dalam istilah Islam dan konsep politik dalam bahasa Yunani. Perbedaan ini berimplikasi pula pada berbedanya tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Penekanan yang dilakukan oleh Ali Syri’ati bahwa adanya perubahan dalam masyarakat yang berwujud kemajuan. Perubahan inilah yang tonggak dari pemerintahan Islam. Ali Syaria’ti menghendaki seluruh dari rakyat sebagai individu yang merupakan bagian dari negara tidak sekedar eksis melainkan membetuk diri kepada keadaan yang lebih baik
Untuk mewujudkan keinginannya, AliSyaria’ti ingin menggugah semangat juang para pemuda dengan mengarang berbagai buku yang isinya adalah membangun jiwa revolusioner. Tujuannya agar terjadinya sebuah revolusioner dikalangan Islam itu sendiri. Selain itu Syaria’ti juga mendirikan sebuah lembaga yang kemudian diusulkan untuk menjadi sebuah universitas, yaitu Husayniyah Irsyad yang kerap melakukan riset diberbagai bidang
Ali Syaria’ti juga merupakan aktor penting dalam revolusi Islam Iran, Syaria’ti tampil sebagai penyemangat yang luar biasa, retoris, dan artikulatif serta banyak memikat orang-orang, khususnya kaum muda. Seringkali Syaria’ti mengkritik pemerintahan pada saat itu karena sudah tidak berjalan dengan semestinya. Pemikiran Ali Syaria’ti dalam revolusi Iran dikategorikan ke dalam politik-keagamaan
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syaria’ti adalah agama dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninyamerupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat.Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka. Atas dasar inilah, maka banyak pengamat menyebut Syaria’ti sebagai “the ideologist of revolt”.
Ali Syaria’ti juga terlibat dalam gerakan politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok pro-Mossadeq, oposisirezim penguasa, serta di bawah gerakan perlawanan nasional atau NRM (Nasional Revolution Movement) cabang Masyhad, Syaria’ti melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim. Syaria’ti pun aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak Iran. Akibat aktivitas politiknya tersebut akhirnya menggiring Ali Syaria’ti ke penjara selama 8 bulan.

4.      Sosial
Memasuki usia dewasa Ali Syaria’ti mulai sibuk dengan kegiatan-kegiatan sosial, politik dan keagamaan, ini merupakan wujud dari keilmuan yang dimilikinya dan latar belakang ayahnya sebagai seorang aktivis, selain aktif dalam berbagai kajian ilmiah Syaria’ti juga bergabung dengan berbagai organisasi dan gerakan-gerakan dan Ali Syaria’ti sangat menikmatinya. Tahun 1940 Syaria’ti mulai aktif dalam organisasi yang didirikan oleh ayahnya sendiri yaitu “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan Pusat Pengembangan Dakwah Islam.
Ketika memasuki umurnya yang ke-20 tahun, Ali Syaria’ti menyaksikan kondisi negerinya yang penuh gejolak politik akibat kebijakan otoriter rezim penguasa. Berbagai perjuangan bermunculan ke permukaan, bahkan hampir terjadi di setiap sudut kota Iran, hingga pada puncaknya terjadi kerusuhan. Saat itulah Ali Syaria’ti mulai aktif dalam gerakan politik dengan mendirikan asosiasi pelajar Islam di Masyhad.Syaria’ti tidak dapat menutup mata menghadapi kekejaman-kekejaman yang dilakukan penguasa, Syaria’ti bangkit melalui dua sektoryaitu sektor sosial dan politik. Syaria’titerjun dalam gerakan pencerdasan bangsa dan menciptakan penyadaran bagi masyarakat Iran melalui ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, serta bergerak lewat organisasi. Karena pidato-pidato, tulisan-tulisan, serta kegiatan-kegitan perlawanannya itulah maka pemerintah mengawasinya.[66]
Sebagai tokoh intelektual progresif, Ali Syaria’ti memosisikan dirinya sebagai pembela kaum tertindas. Setidaknya ada dua pandangan mengenai intelektual progresif yaitu: Pertama, kaum intelektual yang menghasilkan pemikiran dan gagasan abstrak dan universal, karena mereka tidak dipaksa oleh kelompok atau kelas sosial tertentu.Dengan kata lain, intelektual bukan pesuruh, penafsir, dan menjalankan tugas kelas sosial tertentu, namun  seorang intelek menjalankan aktivitasnya berdasarkan kesadaran akan kondisi sosial dengan gagasannya. Kedua, kaum intelektual bersifat progresif karena mereka berdiri di luar masyarakat dan oleh karena itu intelek tidak mengabdi pada salah satu kepentingan sosial tertentu.Berdasarkan hal demikianlah,intelektual tidak membela kelas tertentu, tetapi membela semua kelas yang benar demi perdamaian dan kepentingan publik belaka. Dengan ideologisasi ini pula revolusi Islam 1979 terjadi dan membawa transisi mendasar pada sistem tata nilai dan pemerintahan Iran.


BAB III
PANDANGAN ALI SYARIA’TI TENTANG MANUSIA

A.    Pengertian Manusia
Dalam Islam, manusia dianggap sebagai khalifah di bumi dan seluruh ciptaan lainnya tunduk kepada manusia. Menurut al-Qur’ansetelah menciptakan manusia pertama Adam, Allah SWT. mengajarkan kepadanya nama-nama segala benda.Dengan kebesaran-Nya, Allah SWT. menciptakan segalanya dari tiada menjadi ada. Kehendaknya adalah sumber ciptaan dan setiap unsur dalam ciptaan memanifestasikan kekuasaan Allah SWT. Karena itu setiap objek dalam ciptaan menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memberitahukan kepada Adam nama-nama benda, berarti membuatnya sadar akan esensi ciptaan. Dengan kata lain membuat sadar akan sifat-sifat Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan ciptan-Nya. Ini bukanlah semata-mata kesadaran intetektual yang terpisah dari kesadaran spiritual. Ini adalah kesadaran spiritual yang mengontrol, membimbing, dan mempertajam intelek, dengan menanamkan dalam diri Nabi Adam perasaan ta’dzim dan hormat kepada Tuhan dan membuatnya mampu menggunakan pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan umat manusia
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang ada di muka bumi dan merupakan satu-satunya makhluk yang yang memiliki kemampuan berpikir dan merefleksikan segala sesuatu yang ada termasuk merefleksikan diri serta keberadaannya di dunia. Inilah yang menentukan dan sebagai tanda dari hakikat sebagai manusia di mana makhluk lain seperti binatang tidak memilikinya. Oleh karena itu hakikat manusia adalah berpikir.[69] Manusia perlu mengenal dan memahami hakikat dirinya sendiri agar mampu mewujudkan eksistensinya. Pengenalan dan pemahaman ini akan mengantar manusia kepada kesediaan mencari makna dan arti kehidupan sehingga hidupnya tidak menjadi sia-sia. Dalam pengertian ini dimaksudkan makna dan arti sebagai hamba Allah SWT. dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban atau kebebasan dan tanggung jawab mencari ridha-Nya
Pada zaman modern perspektif antroposentris dipakai untuk membicarakan manusia. Sumber untuk menjawab pertanyaan “siapakah manusia itu?” sumber untukmenjawab pertanyaan tersebut dicari dalam diri manusia itu sendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai yang melekat pada manusia merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut. Filsuf-filsuf modern menegaskan bahwa manusia makhluk yang tertinggi. Manusia menjadi ukuran bagi dirinya sendiri serta ukuran dari segala hal, karena itu tidak ada hal yang lebih tinggi dan lebih luas dari manusia itu sendiri. Manusia itu bernilai karena ia manusia
Dalam perkembangannya manusia selalu didorong oleh keinginannya baik yang timbul dari dalam dirinya maupun dari luar, untuk menciptakan dan mewujudkan sejarahnya. Karena manusia dalam menghadapi alam membutuhkan upaya untuk mengubahnya sehingga alam dapat dilestarikan dengan hadirnya manusia di muka bumi dan alam pun mempunyai arti dan peran bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. Oleh karena itu manusia disebut makhluk yang bersejarah
Dalam sejarah filsafat Yunani misalnya, manusia mendapat perhatian penuh sejak masa Plato dan selanjutnya dikembangkan lagi oleh Aristoteles yang mengarahkan perhatiannya ke bidang etika. Fase berikutnya berkembang ke etik religi sehingga filsafat menjadi sebuah anjuran, seperti Plotinus yang mengatakan, bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai persamaan dengan Tuhan.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan membawa sifat dan potensi masing-masing. Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang memuji dan merendahkan sikap manusia. Dalam pandangan Quraish Shihab, tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi merupakan rencana Allah agar manusia memikul tanggung jawab. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia juga diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya maupun rayuan iblis akibat buruknya dan terakhir petunjuk keagamaan yang ada pada manusia.
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahkluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahkluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam settingsejarah dan setting psikologis situasi emosional dan intelektual yang melatar belakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya.
Al-Qur’an menyebutkan manusia dengan menggunakan berbagai istilah, ini menandakan bahwa manusia itu adalah mahkluk yang sangat unik dan mempunyai maksud masing-masing. Kata Basyar yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan istilah yang ditunjukkan kepada manusia yang dikaitkan dengan kedewasaan kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Istilah insandigunakan untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan intelektualitasnyaSedangkan istilah Bani Adam digunakan untuk menunjukkan bahwa manusia mempunyai kelebihan dari makhluk lainnya. Kelebihan tersebut meliputi fitrah keagamaan, peradaban dan kemampuan memanfaatkan alam.Term unasi digunakan dalam al-Qur’an, dipahami bahwa term ini selalu dikaitkan dengan kelompok manusia, baik suku bangsa, pelaku kriminal, maupun kelompok orang baik dan buruk nanti di akhirat. Dengan term ini manusia dipahami sebagaimahkluk berkelompok, manusiaakan selalu membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti biologis dan sosial lainnya. Sedangkan ungkapan nas untuk menunjukkan sifat universal manusia, artinya ketika menyebut nas berarti ada pengakuan terhadap spesies di dunia ini yaitu manusia.
Kaum sufi juga memberikan pandangan tentang manusia, kaum sufi berpendapat bahwa insan kamil merupakan fokus kajian mereka, namun al-Qur‘an, tidak pernah menyinggung mengenai insan kamil secara pasti, tidak ada ayat yang menyatakan mengenai insan kamil, yang ada hanyalah mengenai manusia yang mempunyai bentuk yang sangat bagus, seperti yang terdapat dalam Surat al-Tin ayat 4, manusia punya sifat keluh kesah, namun manusia dapat dibina menjadi baik. Kesempurnaan manusia dari segi fisik merupakan salah satu isyarat bahwa manusia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya yaitu dengan menjadi khalifah di muka bumi.
Tokoh sufi Husein ibn Mansur al-Hallaj memberikan gambaran tentang manusia dalam doktrin hulul dan Nur Muhammad, dalam doktrinya manusia dipandang sebagai penampakan lahir dari citra Tuhan yang azali kepada zat-Nya yang mutlak dan tidak mungkin disifatkan itu. Oleh karena itu adam diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya yang melahirkan segala sifat dan asma-Nya sehingga ia adalah Dia. Namun disisi lain al-Hallaj juga memandang manusia terdiri dari unsur jasad dan rohani oleh karena itu manusia mempunyai sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut).
Dalam pandangan al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh yang hidup di abad pertengahan, hakikat manusia adalah jiwa, karena jiwa merupakan indentitas tetap, jiwa merupakan subtansi immaterial yang berdiri sendiri dan manusia tidak terdiri dari dari unsur pembentuknya jadi jiwa bersifat kekal dan tidak hancur.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, manusia secara eksistensial adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani, dalam kemampuannya manusia berhubungan dengan realitas “atas” dan “bawah”. Melalui realitas bawah manusia berhubungan dengan raga dan lewat raga berhubungan dengan dunia fisik, sedangkan melalui realitas atas, jiwa manusia berhubungan dengan dunia ruhaniyah, itulah yang disebut dengan dunia malaikat.
Sedangkan yang membedakan antara manusia dengan malaikat adalah manusia mempunyai akal dan nafsu syahwat, sedang malaikat hanya  mempunyai akal, tidak mempunyai nafsu syahwat. Maka dengan akalnya manusia mempunyai bagian tingkah laku seperti bagian yang dimiliki oleh malaikat, dan dengan tabiatnya/nafsu syahwatnya manusia memiliki bagian tingkah laku seperti bagian yang dimiliki oleh binatang. Oleh karena itu apabila tabiatnya/nafsu syahwatnya itu mengalahkan akalnya maka manusiaakan lebih jelek dari pada binatang.Dan begitu juga sebaliknya apabila akalnya dapat mengalahkan tabiatnya/nafsu syahwatnya maka dia lebih baik dari pada malaikat.
Ali Syaria’ti menegaskan bahwa pada diri manusia hal yang paling menonjol adalah kekuatan iradahnnya, manusia adalah makhluk yang dalam penciptaan mampu melawan dorongan instingnya. Hanya manusia yang mampu menaklukkan dirinya sendiri, menentang hakikatnya, dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spiritualnya. Dari kehendak bebas inilah manusia dapat menemukan jati dirinya untuk meraih kebahagian dan kemuliaan dari Sang Pencipta, karena manusia diberi kebebasan memilih yang tidak Allah berikan kepada makhluk lainnya.
Kehendak dan pengetahuan merupakan hal yang dimiliki oleh manusia, boleh jadi manusia menempuh jalan ini boleh tidak, jika manusia menempuh maka itu atas kehendaknya sendiri, bukan karena ada paksaan. Hal yang seperti inilah yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah yaitu malaikat, malaikat diciptakan oleh Allah dalam paksaan dan terus ditarik ke arah kebaikan bukan karena pilihannya sendiri.[86]
Berdasarkan argumen-argumen di atas, Ali Syaria’ti berpendapat bahwa, manusia adalah kombinasi dua hal yang berlawanan fenomena dialektis yang terdiri dari oposisi “Allah-syaitan” atau “roh lempung”. Manusia mampu berkehendak bebas, mampu membentuk nasibnya sendiri dan bertanggung jawab; manusia menerima amanah khusus dari Allah dan para malaikat yang yang bersujud kepadanya, manusiaadalah khalifah tapi juga pemberontak terhadap Allah, manusia memakan buah larangan, manusia diusir dari surga dan dibuang ke alam tandus, dengan tiga aspek: cinta (hawa), akal (syaitan) dan pemberontak (buah larangan). Manusia diperintahkan menciptakan surganya sendiri di dalam alam, yang merupakan tempat pengasingannya.Manusia senantiasa mengalami pertarungan di dalam dirinya, manusia senantiasa berjuang untuk bangkit dari lempung menuju Allah, berusaha untuk naik meningkat, sehingga hewan yang berasal dari lumpur dan endapan itu mampu mendapatkan karakteristik Allah.[87]

B.     Konsep Dualitas Manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri dan berbagai dimensi, manusia bukanlah makhluk hewani yang hanya mempertahankan diri hidup di dunia. Ali Syaria’ti membagi manusia menjadi dua dimensi, Pertama, dimensi fisik yang merupakan dimensi material manusia yang sifatnya menyerupai makhluk ciptaan Allah yang lain, yang memiliki kebutuhan-kebutuhan biologis. Basyar  merupakan istilah yng digunakan untuk menjelaskan dimensi ini, di mana kapasitas manusia sebagai individu otonom mempunyai hak-hak individual yang hakiki. Kedua, dimensi ruh, di sinilah letak inti nilai kemanusiaan, di mana mencakup potensi akal sebagai modal manusia menjadi khalifah, modal dalam menjalani tugas-tugasnya di muka  bumi, istilah yang digunakan adalah insan, yaitu kapasitas individu manusia sebagai bagian dari masyarakat yang punya tanggung jawab masing-masing untuk memberi kontribusi membangun masyarakat sebagai tugas ke khalifahannya. Bagian yang paling suci dari setiap makhluk adalah ruhnya, oleh karena itu, menurut Ali Syaria’ti, manusia adalah makhluk dua dimensional dengan dua arah kecendrungan yang satu membawa ke bawah, yaitu ke hakikat yang lebih rendah, satunya lagi membawa ke atas, yaitu ke puncak spiritualnya yang disebut Dzat yang Maha Suci.
Dengan mendasarkan pada asal kejadiannya, manusia merupakan makhluk yang mempunyai dua kutub yang kontradiktif. Akan tetapi kebesaran dan kejayaannya yang unik justru berasal dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat dua dimensional. Dua kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berebut ruang dominasi pada dirinya karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan di antara dua kutub yang kontradiktif tersebut. Setiap pilihan yang diambil manusia sebagai cermin kebebasan yang dimilikinya akan menentukan nasibnya[88]
Setelah Allah menyelesaikan penciptaan atas manusia, Allah kemudian memberikan pengajaran tentang nama-nama, sebagai simbol gagasan tentang pengajaran dan pendidikan. Pada posisi demikian, Tuhan adalah guru pertama manusia dan pendidikan pertama manusia bermula dengan menyebutkan nama-nama. Setelah itu Tuhan memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk bersujud kepadanya dan bersujudlah para malaikat itu. Fakta inilah yang menurut Ali Syaria’ti merupakan arti sebenarnya dari humanis.[89]
Menurut Ali Syaria’tikeutamaan paling menonjol dari manusia adalah kekuatan kemauannya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain. Kemauan bebas yang dimiliki manusia itulah dapat menjadi penghubung kedekatannya dengan Tuhan. Pertemuan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah karena manusia lahir dari bagian Ruh Tuhan. Dengan demikian apa yang sama dari manusia dengan Tuhan adalah dimensi ruhnya yang melahirkan konsep kemauan bebas berkehendak.
Dalam keadaan demikian manusia memerlukan kehadiran agama yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi-dimensi yang saling bertentangan yang ada dalam dirinya dan masyarakatnya. Dalam al-Quran, ditemukan dua istilah untuk menyebut kata manusia; yaitu basyar dan insanPernyataan tersebut dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 11 dan  al-Kahfi ayat 110, bahkan kata insan dalam al-Qur’an terdapat dalam bentuk nama surat yaitu al-Insan.
Menurut Ali Syaria’ti, insan adalah makhluk yang mempunyai karakteristik tertentu yang dapat mencapai tingkat kemanusiaan (insaniyyat) tertentu lebih dari sekedar makhluk hidup dengan naluri instingtif yang bersifat alamiah. Sedangkanbasyar adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis, psikologis yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa memandang ras, agama dan warna kulit atau bangsa. Dengan demikian, setiap manusia adalah basyar, tetapi tidak mestiInsan, karena tidak semua manusia dapat mencapai kualifikasi sebagai insan.
Basyar adalah makhluk, “sementara insan adalah “proses menjadi”.Insanmemiliki tiga karakteristik dasar, yaitu kesadaran diri, kemampuan untuk memilih, dan kemampuan untuk mencipta. Dengan karakteristik ini maka manusia (insan) merupakan makhluk tiga dimensional. Ketiga karakter ini dimiliki Tuhan, dan manusia sama seperti Dia. Maksud kata kesamaan” adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu memanfaatkan dan mengembangkan sifat-sifat agung Tuhan yang ada dalam diri mereka, dan mampu terus-menerus berubah. Insan-lah yang merupakan khalifatullah filardh, sedangkan basyar tidak lebih merupakan hasil akhir dari proses evolusi monyet yang lebih bersifat alamiah. Hanya insan yang dapat memberontak, dan memilih, yang akan mampu mencapai kesadaran dan berkreasi (secara relatif).[90]
Dalam pandangan Ali Syaria’ti bashar adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh manusia baik yang berasal dari Timur maupun Barat atau dari berbagai bangsa dan suku yang terdapat diseluruh dunia, baik yang beragama maupun yang tidak, ia didasarkan pada hukum-hukum fisik yang ditemukan oleh ilmu kedokteran, fisiologi dan psikologi.[91]
Ali Syaria’ti juga menambahkan bahwa basyar adalah tingkatan terendah manusia, sehingga ia dilambangkan dengan roh lempung, hal tersebut diungkapkannya sebagai berikut:
Ketika kita mengkaji tentang manusia, maksud saya adalah sejarah kebodohan manusia, sungguh lebih panjang dan karenanya lebih menarik ketimbang sejarah kepandaiannya. Manusia basyar adalah kera yang sudah berhenti berevolusi sejak waktu yang sudah lama sekali. Senjata, pakaian dan makanannya telah berubah, tapi sifat-sifatnya sama saja, tidak ada perbedaan antara Jengis Khan (Raja Mongol 1162-1227)yang berkuasa atas suku-suku liar, raja-raja besar yang berkuasa atas masyarakat luas yang berperadaban dan orang-orang sekarang yang berkuasa atas peradaban-peradaban besar yang beradab. Tentunya, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Jengis Khan jujur ketika ia mengatakan bahwa ia datang untuk membunuh, sementara para pemimpin sekarang yang berperadaban menyatakan bahwa mereka ingin menciptakan perdamaian. Hanya retorika pidato, penipuan dan pengelabuan dan rasionalisasi sajalah yang telah berubah begitu halus, tetapi esensi kemanusiaan ternyata sama saja. Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuh sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatnnya merupakan pengewanjatahan basyar pada bentuknya yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah[92]

Insan dalam pandangan Ali Syaria’ti merupakan proses menuju kesempurnaan, manusia insan adalah manusia khusus dan memiliki karakteristik tertentu dan berbeda antara satu dengan yang lain sesuai dengan tingkatan realitas dan esensinya. Ketika menyebut insan bukanlah penduduk dunia pada umumnya. Jadi tidak semua manusia adalan insan, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai tarafinsan dalam kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tersebut dapat bergerak ke arah taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan. Bagaimanapun kemanusiaan dapat dipandang sebagai terus maju ke arah realitasnya.[93]
Manusia (insan) memiliki tiga sifat yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, semua sifat ini adalah sifat ilahiyah, dan hanya manusia (insane) sajalah yang dapat menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan ini. Bila ada sifat-sifat lainnya, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang diturunkan dari ketiga sifat-sifat di bawah ini:
1.      Kesadaran diri
Sifat ini menuntun manusia untuk memilih, dan kemudian menolongnya untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang sebelumnya belum ada di alam semesta.
2.      Kemauan bebas
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bebas untuk memilih bagi dirinya, dan apa yang ia pilih dapat bertentangan dengan instingnya, dengan alam, masyarakat, dan doroangan fisiologis dan psikologisnya. Kemampuan dan kebebasan berkehendak ini menolong manusia mencapai taraf tertinggi dari proses “menjadi” manusia. Hanya manusia lah yang bebas untuk memilih, dan inilah salah satu karakteristik yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Dengan karakteristik ini, manusia dapat memilih untuk berbuat baik dan berbuat jahat, rasional atau irrasional dan sebagainya dan dengan kebebasan memilih pula manusia dapat ingkar dengan Sang Pencipta.
3.      Kreativitas
Manusia bukan sekedar makhluk pembuat alat, tapi juga pencipta dan pembuat apa yang belum ada di alam. Manusia sadar bahwa dirinya memerlukan hal-hal yang sebelumnya tidak disediakan oleh alam, oleh karena itu manusia membuat sendiri guna memenuhi kebutuhannya.[94]
Menurut Ali Syaria’ti, dalam mengembangkan sifat Ilahiyat manusia tersebut, manusia yang “menjadi” insan manusia selalu harus berjuang keras melawan deterministik yang cenderung membatasi. Kekuatan tersebut pada zaman ini muncul dalam berbagai gerakan seperti: materialis, naturalis, eksistensialis, dan monistik. Kemudian manusia juga harus melawan ajaran yang meremehkan kesadaran dan kebebasan manusia seperti: historis, sosiologis dan biologis.[95]
Dualitas eksistensi tidak semata-mata sebuah kontradiksi, melainkan sebagai tanda kesempurnaan ciptaan. Dualitas ini pula yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya di dunia. Berbagai kekhasan karakter muncul dari corak ini sebagai konsekuensi kekhalifahannya di bumi. Dalam sebuah artikelnya Ali Syariati menjaskan:
The only superiority that man has over all other beings in the universe is his will. He is the only being that can act contrary to his nature, while no animal or plant is capable of doing so. It is impossible to find an animal which can fast for two days. And no plant has ever committed suicide due to grief or has done a great service. Man is the only one who rebels against his physical, spiritual, and material needs, and turns his back against goodness and virtue. Further, he is free to behave irrationally, to be bad or good, to be mud like or Divine. The point is that possession of "will" is the greatest characteristic of man and it throws light upon the kinship between man and God.[96]

(Sebuah keunggulan khusus bahwa manusia memiliki lebih dari semua makhluk lain di alam semesta adalah kehendak-Nya. Manusia adalah satu satunya makhluk yang dapat bertindak bertentangan dengan alam, sementara tidak ada hewan atau tumbuhan yang mampu melakukannya. Tidak mungkin menemukan binatang yang dapat cepat selama dua hari. Dan tanaman ada yang pernah bunuh diri karena kesedihan atau telah melakukan pelayanan besar. Manusia adalah satu-satunya yang memberontak terhadap fisik spiritualnya, kebutuhan material, dan berbalik melawan kebaikan dan kebajikan. Lebih lanjut, manusia bebas untuk bersikap tidak rasional, untuk menjadi baik atau buruk, menjadi seperti lumpur atau memiliki sifat Ilahi. Intinya, memiliki “kehendak” adalah karakteristik terbesar manusia dan memancarkan cahaya kekerabatan antara manusia dan Allah).
Manusia dengan tipe yang digambarkan oleh Ali Syaria’ti di atas sangat erat kaitannya dengan konsep manusia yang dijadikan oleh Allah sebagai khalifah di muka  bumi. Konsekuensi kekhalifahan adalah adanya kebebasan berkehendak yang berperilaku untuk mengemban tugasnya. Dengan rasionalitasnya manusia mampu memilih jalan kehidupan untuk selalu senantiasa selaras dengan alam semesta, sekaligus mampu mengabaikan rasionalitas dan menerjang ke arah hal-hal absurd yang bahkan merugikan dirinya sendiri dan lingkungan. Semua itu bisa dilakukan dengan tuntutan tanggung jawab yang kelak akan dipertanyakan di hari pembalasan.
Superioritas manusia bahkan melebihi malaikat sebagai makhluk Allah yang paling suci karena tidak pernah berbuat dosa dan selalu menaati perintah-Nya,Karenamalaikat bukanlah makhluk yang diajarkan mengenai ilmu pengetahuan oleh Allah sebagaimana Adam mendapatkannya ketika pertama kali memijakkan kaki di bumi.[97]

C.    Konsep Tentang Kebaikan dan Kejahatan Dalam Diri Manusia
Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah dari tanah, kemudian ditiupkan roh (spirit) Ilahiah. Ali Syaria’ti berpandangan bahwa pada prinsipnya sejarah dialektis kehidupan umat manusia dimulai dan beranjak dari dua dimensi kontraditif esensi penciptaan Adam di atas. Roh Ilahiah sebagai roh (spirit) kesucian yang selalu menuju arah kebaikan dan unsur tanah liat sebagai simbol kekotoran yang selalu menuju ke arah keburukan dan kehinaan. Pada dataran ini dialektika historis-sosiologis bersifat subyektif.[98] Dalam proses menjadi” dan memiliki manusia hanya punya dua pertentangan dalam dirinya.
Pertentangan dua hal dalam diri manusia akan terlihat jelas dalam kehidupannya sehari-hari, baik dalam sudut pandang politik, sosial, budaya maupun agama.[99] Kisah Habil dan Qabil yang merupakan refleksi dari pertentangan internal dalam diri manusia, hal inilah yang dijadikan pemikiran utama dalam pemikiran historis-sosiologis yang menerangkan sejarah perjalanan umat manusia. Di mana manusia terpecah menjadi dua arah yang tidak dapat disatukan.
Pertarungan Adam bersifat subyektif yaitu berlangsung dalam esensi dirinya sendiri, sementara pertarungan Habil dan Qabil adalah pertarungan yang objektif di mana berlangsung dalam kehidupan lahiriah. Ali Syaria’ti berpandangan bahwa pertarungan antara Habil dan Qabil adalah sebuah perwakilan masa. Habil mewakili zaman ekonomi pengembalaan, suatu sosialisme primitif sebelum ada sistim milik, sedangkan Qabil mewakili sistem pertanian. Setelah itu mulailah suatu pertarungan abadi. Sehingga, seluruh sejarah merupakan arena pertarungan antar kelompok Qabil sipembunuh, kelompok Habil yang menjadi korbannya.[100]
Sejarah dinodai dengan pembunuhan yang melahirkan pertentangan, perang, kejahatan, segresi dan fragmentasi sosial antara keturunan-keturunan Adam yang susul-menyusul. Hal ini disebabkan oleh pecahnya ”aku” yang baik dan ”aku” yang jahat. Perasaan cinta dengan sesama saudara berubah jadi benci, persaudaraan berubah menjadi permusuhan.[101]
  Bagi Syaria’ti potret Qabil dan Habil secara simbolik lebih dari sekedar gambaran sosok individual manusia, tapi juga menggambarkan corak ideologi dan paham kolektif (Qabilisme dan Habilisme). Berdasarkan penafsiran simbolik seperti itu, meskipun Qabil dan Habil telah meninggal secara individual, namun paham yang mewakili ideologi tersebut tetap bertahan dengan segala modifikasi dan perubahan di segala aspek melalui dialektika abadi dalam diri manusia.[102]
Menurut Syaria’ti, pertarungan antara Qobil dan Habil anak-anak Adam, Qobil menurutnya juga mewakili watak syirik sedangkan Habil prototipe seorang penganut tauhid. Pertarungan transhistoris itu menurutnya, mencerminkan pertarungan antara keadilan serta kesatuan manusia di satu pihak dan diskriminasi sosial serta rasial di lain pihak.[103]
Lebih jauh Ali Syaria’ti menambahkan bahwa Habil juga mewakili karakter baik, sedangkan Qobil berkarakter jahat. Jika menggunakan cara berpikir Syaria’ti sendiri maka secara konsisten harus dikatakan bahwa pertarungan antara penguasa dengan yang dikuasai, juga harus di tafsirkan sebagai pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Menurut anggapanya, itulah pertarungan abadi yang akan terus berlangsung dalam semua masyarakat manusia. Tetapi Syaria’ti yakin sejarah yang pasti akan berkesudahan dengan menangnya keadilan, kesamaan dan kebenaran. Ali Syaria’timemberikan gambaran bahwa pada akhir zaman itu pasti akan datang bersama kematian Qabil dan kembalinya sistem Habil. Revolusi yang pastiakan tejadi itu akan mengakhiri riwayat Qabil. Kesamaan akan terwujud di seluruh dunia, dan melalui kesamaan serta keadilan. Maka berlakulah kesatuan dan persaudaraan umat Islam. Bagi Ali Syaria’ti, inilah arah pasti sejarah. Suatu revolusi universal yang akan berlangsung di semua kawasan hidup manusia. Kelas tertindasakan menuntut balas.

D.    Konsep Tentang Humanitas Dan  Masa Depan Kemanusiaan
Manusia dalam pandangan Barat pada umumnya dapat dilihat bingkai pemikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan Barat tentang humanitas. Humanitas sebagai sebuah gerakan (humanis) menurut Syaria’ti seakan-akan telah menjadi “agama baru” bagi masyarakat Barat terutama Eropa pada zaman modern ini.[104]Pandangan Barat tentang manusia secara umum dapat dirangkum dalam tiga bagian kelompok, yaitu liberalis Barat, marxis, serta eksistensialis.
Menurut liberalis Barat, manusia dan Dewa bertentangan, paham ini berangkat dari mitos pada masa Yunani. Dalam mitologi Yunani antara langit dan bumi, alam dewa-dewa dan manusia terdapat pertentangan dan pertarungan, yang kemudian memunculkan sikap kebencian dan kedengkian antara keduanya. Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi manusia seluruh perbuatan dan kesadarannya atas kekuasaan yang zalim terhadap manusia yang dibelenggu oleh kelemahan dan kebodohan.[105]Hal inilah yang membuat manusia benci Dewa, tidak salah jika di Eropa kemudian berkembangnya pemisahan antara agama dan negara, dan sains.
Menurut Syaria’ti, humanitas yang menganut mitos seperti ini akan mengarah kepada materialis atau mengagungkan nilai-nilai material, manusia cenderung tidak percaya kepada hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga menyebabkan manusiadengan kekuatan yang dimilikinya ingin mengusai alam.[106]
Kelompok-kelompok marxis melakukan pemberontakan terhadap gereja karena dianggap telah menindas rakyat kecil, gereja menjadi legitimasi untuk menindas, sehingga kaum marxis menolak agama dan Tuhan. Menurut Ali Syaria’ti marxis menolak paham kapitalis, mengingkari kelas, pemerintahan, hak milik pribadi dan penumpukan harta. Pada sisimoral, bekerja demi martabat yang lebih penting dari semuanya itu adalah penolakannya terhadap martabat manusia dan penghapusan kemanusiaan dalam sistem kerja sosial dan produksi.[107] Suatu perencanaan masyarakat yang didalamnya tidak ada nilai. Kelompok Marxis menginginkan sama rata sama rasa yang menurut Ali Syaria’ti tidak ada penghargaan terhadap martabat personal dan membawa manusia untuk menerima lebih daripada haknya.
Bagi Ali Syaria’ti, marxis ingin membebaskan manusia dari birokrasi Borjuis akan tetapi, manusia dibawa ke bawah birokrasi pemerintahan yang tersentralisasi dan organisasi secara ketat, ingin membebaskan manusia dari gereja namun yang muncul adalah penyembahan terhadap “biro ideologi” marxis membawa manusia ke permainan dialektika historis yang deterministik yang menguasai eksitensi manusia.
Kelompok eksistensialis menurut Ali Syaria’ti adalah sebuah pemahaman yang berlawanan pula dengan kapitalis yang menurutnya telah menciptakan manusia menjadi ”binatang ekonomi“ dan marxis yang menganggap manusia “sesuatu yang bersifat materi yang teratur” serta agama katolik yang menganggap sebagai bola mainan di tangan ghaib yang berkuasa.[108]
Kaum eksistensialis pada dasarnya sebuah pemahaman yang mengedepankan otonomi manusia dalam semesta. Kaum eksistensialis menganggap manusia sebagai makhluk yang wujud dengan sendirinya di alam semesta ini, yaitu makhluk yang di dalam dirinya tersebut tidak terdapat bagian atau karakteristik yang datang dari Tuhan atau alam. Akan tetapi lantaran manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, merancang dan menciptakan dirinya sendiri, khususnya dalam pandangan Satre.Sesungguhnya hal yang seperti itu yang membuat konsep Barat terlihat anti manusia, anti humanis hanya membawa manusia kearah kenaifan, dan berputar-putar pada materi yang tidak melakukan pelampauan ke arah yang lebih tinggi dan transenden.[109]
Sebagai sebuah humanis termasuk wacana pemikiran yang cukup rumit mengingat kajiannya terkait eksistensi manusia di dunia adalah persoalan yang kompleks.[110] Tidak semua hal-hal terkait manusia dapat dipantau secara inderawi. Kajian ini menuntut pemikiran filosofis yang mendalam dan didasarkan atas teori yang kuat. Bahkan sejak zaman Yunani Kuno,[111] sekitar abad ke 6 SM, perdebatan tentang hakikat manusia telah muncul. Humanitas menjadi gagasan yang paling mendapat perhatian besar di kalangan filsuf klasik hingga modern. Namun di sinilah manusia menunjukkan kesempurnaannya. Sebagai sebuah gerakan dapat berperan sebagai subyek, sekaligus menjadi obyek. Manusia mengkaji dirinya sendiri,untuk kepentingannya, dan demi kelangsungan hidupnya. Kemudian muncul berbagai teori yang dimiliki berbagai madzhab filsafat dan keyakinan keagamaan berupaya untuk memahami hakikat manusia.
Atas polemik ini, Syaria’ti mengungkapkan bahwa memahami secara utuh mengenai manusia hampir tidak mungkin. Bahkan ilmu pengetahuan pun tidak sepenuhnya mampu menjelaskan kompleksitas dimensi manusia. Seperti yang dikutipnya dari Alexis Carrel, seorang tokoh peletak dasar Humaniora ilmiah, “Derajat keterpisahan manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.[112]
Kesadaran terpenting yang harus dibangun dalam diri setiap manusia adalah kesadaran akan dirinya sendiri. Kesadaran ini akan menjadi bekal penting menentukan arah kehidupan manusia menuju keadaan yang terbaik, baik dirinya dan lingkungan. Pembentukan kesadaran akan kondisi diri merupakan alasan pokok yang dikemukakan oleh Ali Syaria’ti untuk memulai gerakan revolusionernya dengan pembahasan mengenai nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena pada dasarnya gerakan revolusionernya adalah gerakan progresif untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan melawan kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang membelenggu.
Konsep utama yang ditawarkan Ali Syaria’ti tentang manusia adalah teori  tentang dualitas, melalui teori dualitas manusia (dimensi baik dan buruknya), Ali Syaria’ti Mengkritik pemikiran Barat tentang humanitas, dengan menawarkan pandangannya relasi manusia dengan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam beberapa agama seperti Hinduisme dan Budhisme, semua itu juga dapat ditemukan dalam tradisi sufistik Islam khususnya dalam pantheisme logos (Tuhan, manusia dan cinta) bersama-sama membangun alam semesta. Tuhan dan manusia menyatu tanpa dapat dipisahkan. Terkait eksistensinya di dunia, manusia didefinisikan sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki ruh Ilahi dan bertanggung jawab atas amanah Allah, yaitu dirinya dan alam semesta. Sedangkan cinta akan membebaskan manusia dari ketakutan dan menumbuhkannya ke tempat kearifan yang paling mendalam.[113]
Menurut Syaria’ti, keberadaan manusia di bumi tidak dapat dilepaskan dari aspek ketuhanan. Pendirian Ali Syaria’ti tentang konsep manusia menunjukkan sikap kritisnya terhadap konsep Barat. Barat dinilai cenderung ke arah dunia kekinian yang bersifat pragmatis. Ali Syaria’ti meletakkan landasan yang tegas tentang proses penciptaan manusia sebagai proses evolutif yang bergerak menuju pada tingkat kesempurnaan Ilahi.[114]
Dari penyelidikannya terhadap teori-teori humanitas dalam berbagai perspektif, Ali Syaria’ti mendeskripsikan tujuh asas tentang manusia yang terdapat dalam ajaran humanitas.
1.      Manusia adalah makhluk asli, artinya memiliki substansi yang mandiri dan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya dengan substansi fisik sekaligus ruh yang dimiliki. Substansi fisik membedakan manusia dengan malaikat yang gaib, dan substansi ruh membedakannya dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan.
2.      Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Ini adalah kekuatan yang paling besar dalam diri manusia karena kehendak bebas adalah sifat manusia yang mencerminkan sifat Ilahiyah. Kebebasan berkehendak memberi kesempatan pada manusia untuk menentukan sendiri arah hidupnya yang kemudian harus dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa.
3.      Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir). Dengan kesadaran yang dimiliki memungkinkan manusia memahami realitas. Potensi berpikir menjadi modal paling penting bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya karena dengan berpikir, manusia selalu mampu mencari jalan untuk bertahan hidup dan berkembang menuju kehidupan yang lebih baik. Ketika sebuah ancaman hadir, maka secara otomatis manusia memikirkan bagaimana menanganinya.
4.      Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Ini memungkinkan manusia mempelajari dirinya sendiri sebagai subyek yang berbeda dengan hal-hal selain dirinya. Dengan begitu manusia memahami kebutuhannya, apa yang semestinya dilakukan, dan ke arah mana seharusnya berjalan. Kepentingannya adalah tentu saja manusia harus memastikan bahwa dirinya berjalan ke arah yang lebih baik.
5.      Manusia adalah makhluk kreatif. Kreativitas manusia menyatu dalam perbuatannya sendiri sebagai penegasan atas kesempurnaannya di antara makhluk lainnya dan di hadapan Tuhan. Dengan kreativitas, manusia dapat menutup kekurangannya dengan cara-cara yang diusahakannya. Misalnya keterbatasan fisik untuk melakukan pekerjaan berat, maka manusia akan mengerahkan daya kreatifnya untuk membuat peralatan yang dapatmembantu memudahkannya bekerja.
6.       Manusia adalah makhluk yang memiliki cita-cita dan merindukan sesuatuyang ideal. Visi tentang sebuah masa depan membuatnya tidak akan puas dengan keadaan kekinian dan membawa manusia selalu bergerak dinamis menuju perubahan positif. Bahkan ini dapat menegaskan bahwa perubahan itu ditentukan oleh manusia itu sendiri.
7.      Manusia adalah makhluk moral yang memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai diartikan sebagai ungkapan tentang hubungan manusia dengan fenomena, cara atau kondisi yang di dalamnya terdapat motif yang lebih luhur daripada keuntungan.[115]
Pemikiran Ali Syaria’ti tentang humanitas sangat dekat dengan pemikiran teistik. Pemahaman akan Tuhan dipahami secara reflektif sebagai sebuah pola pikir dasar dalam kehidupan dan bukan hanya berkutat pada standarlisasi ilmiah yang sering kali menjebak masyarakat pada proyeksi rasionalisme dan empirisme yang merupakan proyek besar modernisme. Humanitas teistik, yang muncul pada awal abad 20 sebagai refleksi filosofis atas kekeringan spiritual masyarakat modern. Pada era modern gerakan humanitas ini terlihat dalam aliran eksistensialis yang memandang manusia sebagai sosok yang optimistik. Sebagian tokoh eksistensialis, seperti Paul Sartre dan Albert Camus memang sering dianggap ateis, namun tokoh-tokoh ternama lainnya seperti Kierkegaard dan Karl Jespers jelas berbeda. Keberadaan Tuhan tidaklah didasarkan atas pembuktian akan keberadaannya, melainkan paham secara[116]reflektif filosofis eksistensi manusia diambang kehidupan.
Krisis filsafat modern, pada dasarnya terletak pada kesulitan menjangkau dirinya sendiri. Pada abad ke tujuh belas dapat dilihat bagaimana ideologi tumbuh menjamur, sebagian besar membicarakan tentang goncangan sosial yang terus meluas, tingkat perekonomian, politik dan geografi, dengan kata lain hampir semua membahas tentang tata cara kehidupan pada saat itu. Pada abad ke dua puluh ini doktrin menjadi pusat perhatian di mana mulai menyentuh hal yang lebih esensial: membentuk manusia seutuhnnya. Inilah patokan yang dijadikan filsuf saat ini, menyiapkan konsep untuk menyikapi kegoncangan yang melanda manusia.[117]
Pada zaman dewasa ini ada dua kecendrungan dikalangan para cendekiawan,Pertama, mengakui bahwa mencari hakikat manusia itu sangat sulit pada abad ini.Kedua, perkumpulan ahli pikir mendekati ranah pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Kemudian mereka mencetuskan gagasan dari balik dinding tebal kotak “ideologi” yang baru ini. Ideologi ini justru jauh dari esensi kemanusiaan yang ingin ditemukan. Membicarakan kemajuan dan pembangunan manusia dari balik dinding kotak profesi tanpa mau mengerti persoalan esensial adalah sia-sia. Agama, pendidikan, ideologi, pembangunan dan kemajuan akan berguna apabila esensi tentang manusia jelas rumusannya.[118]
Pada zaman dulu manusia tidak sampai menghadapi kebuntuan seperti pada masa dewasa ini, meskipun hampir mengalami kehancuran tapi mereka berhasil bangkit, namun pada saat ini ketika manusia telah mengalami kemanjuan dan kecanggihan, ketika manusia mampu melakukan segalanya dan hampir tak ada batas lagi, manusia jadi bingung  akan ihwal dirinya. Setiap langkah yang ditempuh justru makin nampak sia-sia dan tanpa makna karena ketiadaan batas begitu membingungkan. Filsafat terus tumbuh menembus batas sampai ketitik kesia-siaan. Hidup dijalani tanpa bobot bagai meloncat dari satu rumus ke rumus baru. Demikian gambaran Satre: Absurditas melekat pada hidup para ilmuan yang hilang bobot kemanusiaannya serta bagi manusia yang hilang makna.[119]
Manusia zaman modern sudah tidak mengerti lagi tujuan keberadaanya, siapa dirinya, apa penyebab krisis pada zaman modern sebenarnya, Ali Syaria’ti berpandangan bahwa malapetaka pada masa ini berawal dari kelesuan filsafat, kesia-siaan ketidakseimbangan dan ketiadakwarasan. Ketika segala sesuatu itu dianggap sebagai tak ada arti, tanpa tujuan, tak punya orientasi, tanpa tugas dan tanggung jawab dan tak punya landasan filsafat yang kokoh. Inilah pangkal bencana hidup sebenarnya yang akan menimbulkan penyakit bagi zaman ini.[120]
Rausyan fikr adalah pribadi individu dengan kualifikasi tertentu. Sebutan ini digunakan untuk menunjuk pada orang yang melakukan perjuangan tertentu. Kaum intelektual, sebagian dari mereka adalah rausyan fikr karena intelektualitas adalah keunggulan utama dari rausyan fikr. Namun tidak menutup kemungkinan rausyan fikrbukan berasal dari kaum intelektual. Sedikit sekali orang yang termasuk dalam kaum intelektual, sekaligus rausyan fikr. Intinya, rausyan fikr atau orang-orang yang tercerahkan adalah orang yang memiliki kesadaran kemanusiaan dan keadaan sosial di masanya yang akan memberinya rasa tanggung jawab sosial. Jika orang yang tercerahkan berasal dari kalangan intelektual, maka akan semakin berpengaruh karena dia dapat memainkan peranan yang lebih penting.[121]
Tidak diragukan lagi keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah karena intelektualitasnya. Daya intelektualitas adalah karunia Allah yang paling besar, yang dapat membawa manusia pada pemahaman komprehensif tentang dunia. Dalam istilah al-Qur’an, karunia intelektualitas itu diberikan dengan “mengajarkan nama-nama” kepada Nabi Adam As. yang tidak diajarkan-Nya pada malaikat.[122] Sebagai makhluk intelektual, manusia terus bekerja dinamis untuk mengembangkan pengetahuan yang telah didapatnya. Telah menjadi potensi dasar bahwa manusia adalah makhluk dinamis yang terus berkembang. Maka kesempurnaan manusia adalah tergantung bagaimana manusia mematangkan dirinya menuju tingkat intelektualitas yang tinggi sebagai jalan menuju realitas ketuhanan yang paling tinggi. Atas pola pemikiran ini Ali Syaria’ti membangun term rausyan fikr (intelektual yang tercerahkan) sebagai istilah untuk menyebut citra pribadi manusia ideal yang dicita-citakan.
Peradaban modern adalah pincang karena tekanannya yang berlebihan kepada kekinian dan kedisinian dan kurang sekali memperhatikan hal-hal yang bersifat lebih mendalam dan langgeng. Karena itu wajar bila kehidupan modern sekarang ini tampil dengan wajah yang antagonistik. Satu sisi, modernisasi telah mendatangkan kemajuan spektakuler dalam bidang material. Tetapi pada sisi lainnya, modernisasi menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram, seperti terlihat pada akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkannya.[123]
Dalam mencari pemecahan atas masalah-masalah sosial, haruslah mencari cara-cara yang jitu walaupun lama dan menelan waktu. Barangkali itulah sebabnya mengapa banyak di antara cendekiawan dalam masyarakat ini gagal mencapai tujuan yang dicita-citakan. Mereka bukannya mencoba melewati satu cara yang jitu yang mungkin memang lama, tetapi mereka tersesat dalam mencoba mempertimbangkan dan menemukan beberapa cara dihadapan mereka. Tidak aneh jika mereka selalu mengeluh tentang jauhnya mereka dari tujuan. Karena merasa frustasi, mereka menjadi kecewa dan menarik diri dari masyarakat. Sebagian dari mereka mulai menulis puisi modern, tetapi sia-sia. Mereka suka menyatakan bahwa mereka benar-benar telah terjun ke dalam masyarakat, berpadu dengan banyak orang, berteriak dan menjerit, namun mereka tidak sampai kemana-mana. Dan oleh sebab itu mereka beralih ke puisi. Namun, ini adalah kekalahan dan penyerahan mereka kepada keputusasaan. Padahal orang-orang yang ingin membuat perubahan tidak punya hak untuk kecewa dan apatis.[124]
Menurut Ali Syaria’ti tipe manusia ideal yang dicita-citakan adalah pribadi dengan kriteria tertentu yang dapat ditemukan dalam tiga kelompok masyarakat berikut.
Pertama, Orang yang sadar akan keadaan manusia di masanya, dan memahami realitas kesejarahannya, kemasyarakatannya, serta menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar. Para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa atau rakyat.
Kedua, Para pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahan-pembenahan struktural yang mendasar di masa lampau sebagaimana dilakukan para Nabi besar pembawa agama. Mereka muncul dari kalangan rakyat jelata yang menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, melalui gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi progresif dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Ketiga, Golongan ilmuwan yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan besar. Memiliki karakter dalam memahami situasi, menyebarkan gaya hidup moralitas dan anti status quo, konsumeristik, hedonistik, dan segala kebuntuan filosofis untuk mengubahnya menjadi masyarakat yang mampu memaknai moralitas hidup.[125]
Pola keagamaan manusia bagi Ali Syaria’ti tidak cukup pada urusan ritual ibadah vertikal. Agama adalah penuntun manusia dalam menjalankan kekhalifahannya dengan membangun masyarakat, yaitu pembebasan atas kaum yang tertindas karena praktek-praktek kotor para penguasa. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk otonom yang memiliki hak-hak dasar. Maka upaya emansipasi adalah merupakan proses penegakan hak-hak dasar kaum tertindas sebagai manusia yang memiliki kodrat kebebasan dan kemerdekaan.

E.     Analisis
Proses memahami dan mempelajari tentang manusia memang tidak ada habisnya, memahaminya pun sangat pelit, sehingga karena itulah manusia itu unik. Pengakuan terhadap pekerjaan memahami manusia diakui oleh Syaria’ti, bahkan sudah begitu banyak jenis ilmu yang sudah ikut mengambil andil dalam proses memahami manusia, namun belum juga habis pertanyaan itu terjawab. Meskipun demikian, bukan berarti setiap kelahiran konsep baru tentang proses memahami manusia itu tidak punya arti apa-apa. Ali Syaria’ti mencoba menelaah manusia dengan melihat secara fisik dan juga spiritualitas.
Dari sisi spiritual Ali Syaria’ti melihat adanya dua hal yang terdapat dalam diri manusia yang membuat manusia itu unik. Dalam manusia adanya “Allah-roh syaitan dan roh lempung”, roh inilah yang berkecamuk di dalam diri manusia, sifat Ilahiahyang terdapat dalam diri manusia merupakan simbol kebaikan, roh syaitan adalah simbol keburukan dan roh lempung adalah simbol kehinaan diri manusia, dari komposisi inilah yang menentukan manusia memilih jalan hidupnya secara bebas, pertama manusia itu mulia hidup di surga, kemudian akibat pengaruh syaitan manusia diasingkan, dan dari situ perjalanan manusia akan sangat keras untuk berjuang memperoleh kembali kemuliaanya.
Ali Syaria’ti mengakui bahwa manusia terdiri dari fisik yang dijelaskan dengan istilah Basyar dan dimensi ruh yang dijelaskan dengan istilah Insan, namun dimensi yang membuat kecenderungan manusia terdapat pada dimensi ruh, bukan pada dimensi fisik, dimensi ruh lah yang akan membawa manusia ke arah baik dan buruk, kecenderungan yang bergerak ke arah baik akan membuat memperoleh kembali kemuliaanya dan bangkit dari kehinaan, sebaliknya kecenderungan yang bergerak arah buruk akan membuat manusia tidak akan mencapai kemuliaan dan dekat dengan Allah, dalam penjelasannya Ali Syaria’ti seolah mengisyaratkan pesan bahwa manusia selama ini telah sibuk dalam kehinaan bukan sibuk dalam memperoleh kemuliaan,  kemudian manusia mengganggap kemuliaan bukan miliknya. sehingga, manusia sehingga merasa sukar untuk memperolehnya.
Manusia yang terus terlena dengan kehinaan tidak akan mendapatkan prosesInsan meskipun itu terdapat dalam diri manusia, karena Insan ini merupakan potensi yang terdapat dalam diri manusia maka manusia sendiri yang harus merealisasi dan mengoptimalkannya, ditinjau dari sisi filsafat istilah  Insan merupakan proses menjadi kembali manusia yang mulia.
Pemikiran Ali Syaria’ti terlihat dipengaruhi oleh pemikiran Barat meskipun dalam beberapa hal Syaria’ti mengkritik pemikiran dari Barat, dalam padanan pengambilan kata manusia (insan) misalnya pemikirannya terdapat beberapa persamaan dengan Satre, namun kata (insan) yang diambil Syaria’ti dari al-Qur’an tersebut dijelaskannya dengan gaya filosofis.
Dalam pandangan Ali Syaria’ti, manusia dipandang dari sudut pandang komprehensif, yaitu sudut ontologi, epistemologi dan aksiologi. Aspek ontologi membahas tentang hakikat eksistensi manusia di dunia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam. Aspek epistemologi membahas tentang konsekuensi dari aspek ontologis mengenai bagaimana manusia meneguhkan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Sedangkan aspek aksiologi membahas tentang arah kehidupan manusia demi menjaga nilai-nilai yang dipegangnya.
Ali Syaria’ti juga memposisikan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi martabatnya, makhluk yang punya kebebasan menentukan nasibnya sendiri, makhluk yang berdimensional yang di dalamnya terdapat unsur kesucian (ketuhanan) dan sekaligus unsur kehinaan (lumpur). Alasan lain Ali Syaria’ti memposisikan manusia sebagai makhluk tertinggi martabatnya adalah karena potensi intelektualnya yang sangat luar biasa, potensi kebebasan dan spiritual, sehingga sangat tepat manusia mendapat amanah sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifah di bumi ini.
Penekanan aspek ketuhanan menjadi dimensi utama dalam diri manusia sangat luar biasa, di mana segala potensi pikir dan kesadaran manusia berorientasi pada pencarian realitas tertinggi. Secara personal, kesadaran religius menjadi modal membentuk pribadi yang utuh dengan mengoptimalkan segala potensi diri. Sedangkan dalam kehidupan sosial, dengan pembentukan kesadaran religius melalui pengalaman dan pendidikan dapat terbentuk pribadi muslim yang dapat berpikir secarakomprehensif guna menjawab persoalan yang mendera kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang berkeadilan sosial, jika ini direalisasikan berarti dalam pandangan Syaria’ti pemahaman tentang manusia telah memiliki kemajuan yang besar.
Belajar dari pengalaman adalah salah satu tinjauan Ali Syaria’ti yang sangat ditekankan, di mana manusia seharusnya belajar dari sejarah sehingga manusia mampu mengambil hikmah dari sejarah tersebut, banyak manusia lupa akan sejarah sehingga manusia lupa tentang dirinya dan kehidupannya.
Konsep dualitas Ali Syaria’ti merupakan teori dengan analisis yang sangat tajam, di mana dalam konsep ini Ali Syaria’ti menekan bahwa manusia itu punya relasi kuat dengan Tuhan, meskipun manusia punya potensi kebebasan bukan berarti tidak ada campur tangan Tuhan terhadap apapun yang dilakukan oleh manusia, oleh karena itu peradaban manusia akan menjadi lebih baik jika manusia telah benar-benar menyadari bahwa ada otoritas Tuhan dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
Kebaikan dan keburukan yang sudah tertanam dalam diri manusia itulah yang terlihat dari sejarah itu harus dipelajari, baik dan buruk merupakan kecendrungan yang terdapat pada manusia tidak dipengaruhi oleh keturunan, meskipun ayahnya baik belum tentu anaknya dapat baik jika tidak mengoptimalkan kecenderungan ruhnya seperti kisah habil dan Qabil.
Ali Syaria’ti menunjukkan sikap kritis ketika berbicara tentang humanis di mana kritikan ditujukan kepada aliran-aliran yang sangat berpengaruh seperti kapitalis, marxis dan eksistensialis, memang apa yang telah dilakukan oleh aliran-aliran ini menampakkan bahwa konsep yang mereka kembangkan menjadi anti manusia, inti dari kritikan yang dilontarkan oleh Syaria’ti adalah bahwa konsep yang dikembangkan berdasarkan kepada Yunani kuno adalah keliru, dari situ lah Islam berperan untuk menjelaskan bagaimana memanusiakan manusia.
Pada zaman modern terlihat manusia itu gersang dalam kehidupannya padahal zaman modern sudah jauh lebih maju, yang lebih parahnya lagi manusia itu mengakui bahwa telah mencapai kebahagian bahkan pada tingkat tinggi, namun pada satu sisi manusia masih mengejar dan terus mengejar kebahagian tersebut, inilah yang disebabkan oleh tidak mengertinya humanis.
Manusia menyuarakan humanis di mana-mana tapi justru manusia terus hilang kendali, hal itu terjadi karena ajaran humanitas tidak dilandasi oleh ajaran Islam yang berlandaskan al-Qur’an, maka yang harus dilakukan adalah kembali kejalan yang benar agar tidak terjerumus ke dalam penjara humanitas yang tidak humanis.
Manusia merupakan mahkluk  yang universal, memiliki wujud alami, memiliki zat materi dengan arti seperti dijelaskan al-Qur’an dan dikukuhkan dengan ungkapan-ungkapan yang berbeda tujuannya adalah agar benar memahami secara mendalam sehingga seseorang sudah paham betul terhadap apa yang disampaikan al-Qur’an tentang manusia tidak akan percaya kepada pemahaman sama dan falsafah adikodrati, yang kebanyakan di dalamnya para filsuf dan para arif terjatuh.
Manusia memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu agama yang mampu merealisasikan semua aspek-aspek kemanusiaannya yang bersifat material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Manusia dalam Islam tidak dipandang tanpa daya di hadapan Allah. Sebagai makhluk yang berdimensi, yang dikaruniai misi ketuhanan, manusia memerlukan bimbingan agama yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keduniawian dan kutub keakhiratan.


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan yang panjang lebar mengenai konsep Ali Syaria’ti tentang manusia, dengan berberapa pendekatan yang penulis tentukan sesuai dengan metode penelitian skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan,
1.      Manusia menurut Ali Syaria’ti adalah makhluk yang mempunyai dimensi ganda yaitu unsur lempung dan unsur Tuhan. Kedua unsur ini saling tarik menarik. Sehingga, manusia harus menentukan pilihannya sendiri. Jika manusia jatuh pada unsur lempung maka manusia akan disebut basyar yaitu sekedar makhluk saja, sedangkan jika kecenderungan unsur ruh Tuhan terdapat dalam dirinya maka manusia tersebut akan disebut insan. Namun dalam perjalanan basyar menuju insan harus melewati berbagai macam hambatan yang ada dengan dibekali sifat Ilahiyah, setelah manusia mencapai tingkatan insan, maka manusia akan berakhlak seperti akhlak Tuhan.
2.      Konsep filosofis dan teologis mampu memperluas pandangan Ali Syaria’ti terhadap konsep manusia (insan). Bahkan Ali Syaria’ti mengkritik model pemikiran Barat terhadap konsep manusia (insan) itu sendiri yang menurutnya cenderung berpandangan materialistik dalam melihat konsep manusia.
3.      Pemikiran humanis Ali Syaria’ti adalah gagasan yang orisinal karena tidak mengikuti begitu saja pada alur pemikiran Barat maupun Islam konvensional.
4.      Gerakan humanitas menurut Ali Syaria’ti adalah gagasan tentang penyelidikan eksistensi manusia di dunia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran Tuhan. Kesadaran ini mutlak ada karena kapasitas manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi dasar religius. Religiusitas menandai kesempurnaan diri manusia yang memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi fisik dan dimensi ruh. Selain itu, religiusitas seorang muslim tidaklah cukup berhenti pada hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Sikap religius sebagai manusia yang tercerahkan harus bisa memberi kontribusi berarti bagi masyarakat sekitar demi perubahan sosial menuju peradaban masyarakat yang lebih baik. Perjuangan sosial inilah yang akan mengantarkan manusia pada realitas ketuhanannya yang hakiki.

B.     Saran-Saran
1.      Hidup mestilah berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadist. Dan senantiasa melaksanakan perintah dan aturan-aturan yang disyari’atkan dalam Islam
2.    Penulis juga berharap semoga pembaca dapat memahami dengan baik bahwapemikiran Ali Syaria’ti tentang konsep manusia dapat dijadikan sebagai contoh bagi pemikir-pemikir Islam dalam melakukan pebaharuan dalam Islam. Pemikiran-pemikiran seperti ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam.
3.    Berkaitan dengan pemikiran-pemikiran Ali Syaria’ti tentang konsep manusia, menurut hemat penulis perlu terus dijaga dan dipertahankan dalam pemikiran keislaman. Pemikiran seperti ini dapat  mendorong terciptanya peradaban yang lebih baik karena pengetahuan tentang manusia akan lebih mendalam.Sehingga, akan mudah merealisasikan kehidupan yang bermartabat dan berlandaskan Islam.
4.      Dalam sudut ilmu filsafat diharapkan mampu untuk menjadi pedoman dari hasil skripsi penulis dan menjadi panutan bagi generasi seterusnya dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Harapan penulis dalam penelitian ini semoga permasalahan tentang memahami manusia ini menjadi penelitian awal dan akan terus diteliti lebih detail dan konkret untuk penelitian selanjutnya, serta membuat kajian yang lebih baik.
















DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Ali Ashraf, Horison Baru pendidikan Islam, JakartaPustaka Firdaus,1996.
Ali Rahmena, ‘Ali Syariati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner’,Jakarta: Erlangga, 2000.
_________Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1995
Ali Syaria’ti, Humanisme Antara Islam Dan  Mazhab Barat,  terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
_________Islam Agama Protes, terj. Satrio Panandito, Jakarta: Pustaka Hidayah,1993
_________Makna Haji, terj. Burhan Wisubrata, Jakarta: Yayasan Fatimah, 2002
_________Martyrdom: Arise Bear witness. Terj. Dede Azwar Nurmansyah, Kemulian Mati Syahid,Jakarta: Pustaka Zahra, 2003
_________Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan, 1995
_________Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Jakarta: al-Huda, 2001
_________PerananCendekiawan Muslim; Mencari Masa Depan KemanusiaanSebuah Wawasan Kemanusiaan, Yogyakarta: Salahuddin Press, 1985
_________Sekali Lagi Abu Dzar, terj. M. Iqbal,Bandar Lampung: Yapi, 1997
_________Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982
_________Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais, Jakarta: Rajawali, 1982
_________Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis,terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1989
Anton Bakker dan Ahmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, Jogjakarta: Kanisius, 1990
Azyumadi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fudamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996
_________, dkk., Melawan Hegemoni Barat; Ali Syaria’ti dalamSorotan Cendekiawan Indonesia, Jakarta: Lentera, 1999
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Study Tentang Elemen Psikologi Dari al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan,Yogyakarta: Jalasutra, 2008
Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Yogyakarta: ar-Ruzz, 2002
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, Terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi, Jakarta: Paramadina, 2003
Departemen Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahan,Jakarta: YPPA, 1997
Doni Gahral Adian, Martin Heidegger SeriTokoh Filsafat, Jakarta: Teraju, 2003
Eky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syaria’ti; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern,Jakarta: Teraju, 2004
M. Dawam Raharjo, Insan Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam, JakartaGrafitti Pers, 1987
Ghulam Abas Tawasulli, Sepintas tentang Ali Syaria’ti, Bandung: Mizan, 1992
Hadari Nawawi, Hakekat Manusia menurut Islam,Surabaya: al-Ikhlas,1992
Harun Nasution, Falsafah Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
http://dunia.pelajar-islam.or.id/ akses tanggal 22 juni 2013
http://www.shariati.com/english/human.htmldi akses tanggal 31 Mei 2013
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian ke tiga; terj. Ghufron A. Mas’adi,Jakarta: Raja Grafindo Persada
John L. Esposito, Ensiklopedi OxforBandung: Mizan, 2001
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia; Upaya Membangkitkan Humanisme, Yogyakarta: Kanisius, 2009
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997
Mahmud Rajabi, Insan Syenasi Jakarta: al-Huda, 2006
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran dalam Islam, Jalasutra: Yogyakarta, 2002
Muhammad Nafis, Dari Cengkeraman Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak, dalam Melawan Hegemoni Barat, Ali Syaria’ti dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia,Jakarta: Lentera, 1999
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam Jakarta: Paramadina, 2000
Musa Asy’ari, Filsafat Islam Bandung: Rosda Remaja,1999
P.A Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, Terj. K. Bartens Jakarta: Gramedia, 1988
Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Perancis: Cambridge University Press, 1997.
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, Yogyakarta:Pilar Media, 2005
Satrio Pinandhito, Garis Besar Riwayat Hidup dan Karir Dr. Ali Syaria’ti, Bandung: Mizan, 1990
Sayyid Husein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Islam,terjHariti Sarikat Bandung: Mizan, 1994
Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolatisisme Sebuah Debat, Yogyakarta: Kanisius, 2008
Tim Penulis IAIN Syarif  Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, jilid IJakarta: Djambatan, 1997
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1990
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997
Zulfan Taufik, Ilusi & Harapan: Pembacaan Humanisme Ali Shari’ati, Jakarta: Impressa, 2012





[1]Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 15
                [2]Ali Syaria’ti, peranan cendekiawan Muslim, Terj. Tim Naskah Shalahuddin Press,(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal. v

[2]Secara etimologis humanisme berasal dari bahasa Latin “Humanitas” yang artinya pendidikan manusia.Istilah ini kemudian mengalami berbagai bentuk turunan.Pertama, katahumanismus yang digunakan untuk menunjuk sebuah proses pembelajaran yang menekankan pada studi karya-karya klasik berbahasa Latin dan Yunani di sekolah menengah. Kedua,humanistayang digunakan untuk menunjuk para profesor humanisme Italia. Ketiga,humanistiesyang digunakan untuk menunjuk pendidikan liberal art yang menggunakan karya-karya penulis Romawi klasik. Sedangkan Secara terminologis, humanisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya  adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Persoalan dalam humanisme adalah mengenai apa itu manusia danbagaimana kita menempatkan manusia di tengah alam semesta. Humanisme memandang bahwa manusia adalah  makhluk yang paling mulia. Dengan segala kemampuan akal budinya, manusia sadar akan eksistensinya di dunia dan mampu mencari kebenaran-kebenaran hidup demi kelangsungan kehidupannya. Paham  ini menunjuk pada proyek membangun kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal budi. Lihat: Thomas Hidya Tjaya,Humanisme dan Skolatisisme Sebuah Debat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 20.





Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati

Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati
Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati
Pemikiran Politik Pendidikan dan sejarah perjuangan Ali Syariati