-->

Fungsi Media - Media Sebagai Alat Penyadaran

10 minute read
MEDIA SEBAGAI ALAT PENYADARAN
Oleh: Yusuf Bahtiyar
ditulis sebagai salah satu syarat mengikuti DAM PC IMM Djazman Ky

Media dan Perubahan Sosial
Perkembangan teori kritis memperlihatkan proses panjang penemuan kesadaran akan beragamnya konflik dalam realitas. Perkembangan kesadaran ini merupakan cikal bakal munculnya sikap dan pikiran yang progresif untuk melahirkan perubahan. Perjalanan panjangnya secara historis dapat dilacak dari pemikrian Descartes tentang filsafat kesadaran, Hegel tentang dialektika, dan filsafat moral dari Imanuel Kant yang kemudian mempengaruhi Karl Marx dalam melihat kesejahteraan manusia. Marx telah mampu memunculkan kesadaran dikalangan para pemikir kritis mengenai realitas yang harus dirubah. [1]
Kondisi ideal modernisasi (perubahan) dalam pandangan Habermas menganut tiga premis nilai utama yaitu, mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek, bersikap kritis dan berorientasi progresif. Dengan kata lain perkembangan modernisasi yang mengambil bentuknya dalam sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik liberal serta dijalankan de­ngan sistem birokrasi dan teknokrasi mengalienasikan manusia dari nilai utama modernisasi. [2]
Fenomena alienasi inilah yang ditangkap oleh Karl Mark sebagai hasil sistem kapitalisme. Kelas pekerja atau kaum proletar menjalani tanpa dapat menyadari atau tidak mampu menghindari “kerja paksa” yang dibebankan pada dirinya. [3] Mark melihat telah terjadi kesenjangan antara cita-cita kehidupan idealisme seperti bayangan Hegel dengan realitas masyarakat.
Mengutip pernyataan Karl Mark “The Philoshopher have only interpreted the world in different way, the point is to change it.”  [4] Mark berpandangan, tugas seorang filosof (Intelektual) bukan hanya menginterpretasi realitas semata namun juga harus berkontribusi merubah realita.
Mark yang melatarbelakangi pemikiran kritis menyatakan bahwa media adalah tempat pertarungan ideology terjadi.[5] Mark menganggap media sebagai alat propaganda ideal untuk memaksakan ideology. Atau yang dalam pandangan Habermas, ia mengesakan bahwa media merupakan sebuah realitas dimana ideology dominan dalam hal ini kapitalis disebarkan kepada khalayak dan membentuk apa yang disebutnya sebagai kesadaran palsu (false conciusness). Kesadaran ini merupakan kesadaran yang terbentuk atas dasar kepentingan kelompok dominan sehingga kepentingan mereka tetap terjaga. [6]
Mercuse, pemikir kritis, juga mengungkapkan kondisi tersebut dalam bahasanya tentang manusia satu dimensi, baginya manusia satu dimensi adalah manusia yang dalam kehidupanya mengalami kekaburan akan dua yang kontradiksi yang seharusnya selalu dipahami . Kontradiksi yang utama adalah kelompok-kelompok dominan yang selalu berusaha menguasai atau menyubordinatkan kelompok-kelompok lain. Dalam kehidupan manusia satu dimensi perbedaan yang ada dikaburkan begitu rupa sehingga manusia sebagai seorang individu tidak menyadari keberadaan dirinya dalam dua kontradiksi tersebut. Tidak adanya kesadaran individu menjadikan mereka mudah dikuasai bahkan tanpa perlawanan.
Berangkat dari pemahaman ini, media tidak saja sekedar sebuah saluran komunikasi akan tetapi juga sebuah institusi yang telah menjadi bagian dari masyarakat dengan berbagai pertarungan ideology didalamnya. Media yang bergerak diranah publik, seharusnya mencerminkan dan mengangkat kepentingan publik. Namun media yang berkembang dalam system industry kapitalis berorientasi pada motif pengambilan keuntungan. Konflik-konflik kepentingan yang seharusnya ada di ruang privat malah dimodifikasi dan dieksploitasi dalam ruang publik. Alih-alih terjadi komunikasi yang bebas dan demokratis, yang terjadi hanyalah komunikasi yang kemudian terdistorsi untuk kepentingan ekonomi para pemilik modal. [7]
Jika menurut Karl Mark perubahan social merupakan sebuah keniscayaan, semakna denhan itu berdasarkan konsep Gramsci perubahan sesial adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi.[8] Pandangan Gramsci tentang perubahan social yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsep materialisme historis Karl Mark. Dimana Mark memandang perubahan sosial sebagai keniscayaan sejarah yang dilakukan kaum buruh terhadap kapitalisme.
Agak berbeda, Gramsci dalam memandang perubahan, perlu adanya intelektual-intelektual dalam kelompok terhegemoni yang mampu memahami ketertindasan mereka dan menyebarkan kesadaran bersama. Yang dalam istilah Gramsci disebut intectual organic. [9]
Selanjutnya menurut Gramci Intelectual organic inilah yang pada akhirnya diharapkam dapat mengembangkan sebuah budaya counter hegemony sebagai perlawanan terhadap hegemoni yang mencengkeram masyarakat. Melalui hal ini diharapkan keberadaanya direpresentasikan menjadi common sense dalam masyarakat dapat dilawan, dan pada puncaknya dapat diruntuhkan. [10]
Untuk memunculkan kesadaran kritis tersebut, diperluhkan suatu ruang atau saluran dimana ideology disebarluaskan. Merujuk pada pandangan Karl Mark bahwa medialah salah satu lahan dimana ideology dominan disebarkan, maka apabila counter hegemony Akan dilakukan maka tentunya media seharunya menjadi salah satu medannya. Oleh karena itu counter hegemony sebagai sebuah resistensi mengambil salah satu bentuknya dalam media, sebagai perlawanan terhadap dominasi dari ideology yang disebarkan media mainstream.[11]

Pengertian Media
Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan media sebagai alat dan atau sarana komunikasi sebagaimana majalah, radio, televise, film, poster dan spanduk. Sementara itu Association for education and communication technologi (AECT) mendefiniskan media sebagai segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran informasi. [12]
Media massa yang merupakan perluasan makna dari media, dapat dimaknai sebagai media yang digunakan dalam komunikasi diruang pers. Media massa atau yang biasa dikenal dengan pers pertama kali digunakan tahun 1920an untuk memperkenalkan jenis media yang secara khusus dirancang untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Oemar Seno Adji memaknai pers dalam dua pandangan, dalam arti sempit dan luas; dalam arti sempit pers adalah penyiaran-penyiaran pikiran gagasan atau berita-berita dengan tertulis.[13] Sementara itu dalam arti luas pers yaitu memasukan didalamnya semua media mass communication yang memancarkan pikiran dan perasaan baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan. Lebih jauh undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 memaknai pers sebagai lembaga   sosial   dan   wahana   komunikasi   massa   yang melaksanakan kegiatan  jurnalistik  meliputi  mencari,  memperoleh,  memiliki, menyimpan,  mengolah,  dan menyampaikan  informasi  baik  dalam  bentuk tulisan, suara,  gambar,  suara  dan  gambar, serta  data  dan  grafik  maupun dalam  bentuk lainnya  dengan  menggunakan  media  cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.[14]
Semangat kemerdekaan Pers sebagai wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengelurakan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dapat dijamin.  Sementara itu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967   dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.[15] Sehingga dianggap peurlu untuk membuat undang-undang baru yang bisa menjamin kemerdekaan Pers. Dalam UU no 44 tahun 1999 tersebut, Pers nasional memiliki peranan sebagai berikut:
a)      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b)      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c)      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d)      Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e)      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran;[16]
Dalam konteks Indonesia selama satu dekade terakhir kita menyaksikan fenomena yang menarik ketika kesan kebebasan pers terbuka pasca 1998 semangat reformasi dalam bidang media semakin tumbuh dalam masyarakat. Akan tetapi kondisi tersebut tidak menjamin keberpihakan media pada kepentingan masyarakat. Semangat untuk mengurangi dominasi pemerintah masih pula berhadapan dengan dominasi pasar yang begitu kuat terhadap media.[17]
Media penyiaran yang jelas-jelas mengunakan ranah public dalam operasionalnya, selama ini sebagaian besar masih dimanfaatkan oleh kalangan bisnis yang mengembangkan indutri media. Sebagai sebuah industry dan didasari oleh kepentingan bisnis yang terlanjur menyedot investasi asing modal yang sangat besar industry media menjadikan kepentingan pasar diatas segalanya.
Realitasnya adalah bahwa para pengusaha yang menjangkau konsumen dan menciptakan berbagai bentuk keinginan terhadap barang atau gaya hidup tertentu menjadikan media sebagai salah satu alatnya. Situasi tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh para pengusaha media untuk mengembangkan media sebagai institusi bisnis yang diandalakan untuk menjadi salah satu sumber untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Akhirnya ketika para pengusaha barang dan jasa dan pengusaha media membangun kerjasama dianatara mereka serta difasilitasi oleh berbagai biro iklan yang juga menarik keuntingan dari iklan tersebut maka kebutuhan khalayak menjadi terpingirkan kebutuhan khalaak akan dipenuhi sepanjang sejaland engan kepentingan mereka.
Kebutuhan khayalak dipandang sama dengan kebutuhan mayoritas khalayak dan kebutuhan khalayak sendiri juga tereduksi menjadi segala sesuatu yang diinginkan khalayak. Padahal keiginan khalayak belum tentu merupakan kebutuhan khalayak, karena keinginan khalayak justru banyak terbentuk atas manipulasi media melalui berbagai iklanya. Kondisi yang diinternalisasikan memaluai media dengan segala kemasanya ini juga didasarkan pada legistimasi yang dikeluarkan oleh perangkat kapitalisme lainya berupa riset media dan pemasaran.[18] Peristiwa ini yang dalam uraian Habermas diatas disebut kesadaran palsu, dimana sesuatu yang hanya sebatas keinginan dimanipulasi sedemikian rupa, menjadi sebuah kebutuhan.
Pers nasional yang memiliki tanggung jawab yang sangat berat sesuai dengan amanat undang-undang diatas. Memiliki peran yang penting dalam upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.  Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi   setiap orang, karena itu dituntut pers yang professional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Fungsi paling penting untuk kondisi hari ini adalah, edukasi masyarakat, penyadaran-penyadaran terhap segala kesadaran palsu, dan meluaskan pandangan untuk lebih dari satu dimensi.

Literasi media dan negosiasi makna
Media sebagai medium penyampai pesan pada khalayak umum, terkadang memberikan semua yang ada tanpa penyortiran terhadap kebutuhan khalayak ataupun keinginan khalayak. Gambaran ini mengharukan adanya sebuah diskusi tentang literasi media. Literasi media dalam pandangan paul messaris dimaknai sebagai pengetahuan tentang bagaimana media berfungsi bagi masyarakat. Lebih jauh Baran dan Dennis memandang literasi media sebagai suatu rangkaian gerakan melek media, yakni gerakan yang digunakan untuk meningkatkan control individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan. Melek media dilihat sebagai sebuah ketrampilan yang dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah rangkaian setiap waktu dan semua media[19] Melek media atau literasi media bukanlah pengetahuan atau pendidikan tentang media, namun bergerak lebih jauh dengan menganalisis konten media dan upaya antisipasinya.
Ahli komuniaksi massa Art Silver Blate dan Stainley J.Baran mengidentifikasikan elemen literasi media menjadi delapan, ketrampilan berfikir kritis, pemahaman tentang proses komunikasi masa, kesadara akan pengaruh media, strategi menganalisis dan mendiskusikan peran-peran media, memahami konteks media sebagai sumber pengetahuan, menikmati, menghargai dan menghayati konteks media, pemahaman tentang kewajiban etika dan moral media.[20] Dalam kaitanya dengan teori kritis, literasi media merupakan salah satu jalan pembentuk kesadaran. Media yang memiliki salah satu fungsi untuk mengiring opini dapat mengarahkan masyarakat untuk bertindank lebih agresif dalam upaya melakukan perbaikan.
Ketika Blumer menjelaskan tentang interaksionisme simbolis, ia menekankan bahwa manusia bertindak berdasarkan berdasarkan makna-makna yang ada pada mereka. [21] kemudian Deridda mengatakan ada keterkaitan antara kepentingan (interest) dengan metode penafisran (interpretation). Dalam informasi yang disampaikan media, akan ada proses pemaknaan dari informasi tersebut, sehingga kemudian akan melahirkan negosiasi makna.[22] Dalam proses ini mutlak pemahaman yang benar akan literasi media sangat dibutuhkan. Pemahan secara ktitis akan negosiasi makna bisa mengarah pada kebutuhan khalayak.
Muara dari proses dan tahapan literasi media adalah pembentukan nalar kritis masyarakat sebagai objek media. Analisis secara radikal dan penghayatan konteks media akan membawa beberapa kesadaran baru dalam masyarakat. Sehingga melek media akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyrakat tentang konten media yang perlu dan atau tidak perlu diambil. Sehingga masyarakat hanya akan mengambil kebutuhan khalayak sebagai proses perubahan social.[23]
Realitas tersebut pada akhirnya membutuhkan individu-individu yang dalam pandangan Gramsci disebut sebagai intektual organic, untuk membuat arus baru dalam dunia media massa. Sehingga dari para intelek tersebut, memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang siap menyebarkan kesadaran dan melakukan perubahan. [24]
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi islam yang mengidentifikasikan Surat Al-Imron 104 dan 110 sebagai dasar gerakan, memiliki tugas pokok untuk dakwan islam, amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah islam sebagai upaya untuk menyebarluaskan ajaran islam, berupaya mengajak masyarakat untuk amar ma’ruf nahi mungkar. [25]
Muhammadiyah yang memiliki tujuan “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujud masyarakat islam yang sebenar-benarnya” [26]haruslah memanfaatkan segala macam media atau alat yang bisa mengarah pada tujuan itu. Berdasarkan hal itu, muhammadiyah hampir memiliki semua media yang bisa dimanfaatkan untuk berdakwah, baik media elektronik ataupun cetak.
IMM yang merupakan bagian dari Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di kalangan mahasiswa, harus mampu menerjemahkan tujuan Muhammadiyah sebagai arah gerakanya. IMM harus bisa memunculkan kader-kader yang siap menjadi “intelektual oranganic” dalam mengamankan nilai-nilai modernisasi.
M. Abdul Halim Sani memandang kader-kader IMM, harus bisa -yang dalam bahasanya sendiri- menjadi intelektual profetik, yakni seseorang yang memiliki kesadaran akan diri, alam dan Tuhan. Kemudian menisbatkan semua potensi yang dimiliki sebagai pengabdian untuk kemanusiaan dengan melakukan humanisasi dan liberasi dengan dijiwai transedensi.[27] Dalam upaya menjalankan tugas ke-profetikkan-nya kader-kader IMM harus bisa mengejawantahkan fungsi kholifah dan hamba Allah dalam kehidupanya.
Melihat realitas masyarakat yang semakin meresahkan, kader-kader IMM yang memegang teguh nilai-nilai, religiusitas, intelektualitas dan humanitas harus mampu menjawab tantangan zaman dengan problema apapun yang ada di masyarakat. Sifat yang dibawa oleh intelektual ini adalah, agama untuk kemanusiaan, pemecahan persoalan-persoalan social empiris, ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, dan mengeluarkan belenggu manusia dari ketidakadilan. Proses transformasi sosial yang dilakukan sesuai dengan tiga pilar dalam etika profetik yaitu humanisasi, liberasi dan transedensi.[28]





Daftar Pustaka


Apriadi, Tamburaka . 2013. Literasi Media, (Jakarta PT Raja Grafindo Persada)
Eni, Maryani. 2010. Media dan Perubahan Social (Bandung, Rosda )
Hamdan Hambali. 2011. Ideologi dan strategi Muhammadiyah, (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah)
Hans, Fink.2010. Filsafat Sosial, (Yogyakarta. Pustaka Pelajar)
M. Abdul Halim Sani. 2011 . Manifesto Intelektual Profetik. (Yogyakarta, samudra sebelas)
M. Burhan, Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Masa ,(Jakarta, Kencana )
UU No. 40 Tahun 1999
UUD 1995



[1] Eni maryani, Media dan Perubahan Social (Bandung, Rosda 2010)., hal 25
[2] Ibid., hal 26
[3] Ibid., hal 27
[4] Ibid., hal 28
[5] Hans Fink, Filsafat Sosial, Yogyakarta,pustaka pelajar, 2010 hal 79
[6] Eni maryani, Op. Cit., hal 40
[7] Ibid., hal 45
[8] Ibid., hal 46
[9] Eni maryani, Media dan perubahan social Bandung, Rosda2010 hal 55
[10] Ibid., hal 55
[11] Ibid., hal 55
[12] Apriadi Tamburaka, Literasi Media, (Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2013) hal 39
[13] Ibid., hal 40
[14] UU No. 40 Tahun 1999
[15] UU No. 40 Tahun 1999 bagian menimbang dan mengingat
[16] Ibid.,
[17] Apriadi Tamburaka, Op. Cit, Hal 77
[18] Eni maryani, Op. CIt., hal 5
[19] Apriadi Tamburaka., Op. Cithal 7-8
[20] Ibid., hal 15
[21] M. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Masa,(Jakarta, Kencana 2008), hal 168
[22] Ibid., 168
[23] Apriadi Tamburaka, Op.Cit., hal 15
[24] M. Burhan Bungin, Op.CIt.
[25] Hamdan Hambali, Ideologi dan strategi Muhammadiyah, (Yogyakarta, suara muhammadiyah cet ke-6, 2011), hal 32
[26] Ibid., hal 33
[27] M. Abdul Halim Sani, Manifesto Intelektual Profetik, Yogyakarta, samudra sebelas 2011 hal 42
[28] Ibid., hal 45