MACAM-MACAM IBADAH DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI
A.
MACAM-MACAM
IBADAH DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI
Ibadah
ditinjau dari beberapa segi memiliki begitu banyak klasifikasi, mulai dari
ruang lingkup bentuk dan sifat, dan juga lain sebagainya klasifikasi yang
dimaksut antara lain:
a. Dari
Segi Ruang Lingkupnya.
Ditinjau dari
segi ruang lingkupnya, ibadah dapat dibagi menjadi dua macam:
1. Ibadah khashsah,
yaitu ibadah yang ketentuan dan caranya pelaksanaannya secara khusus sudah ditetapkan
oleh nash, seperti shalat, zakat,
puasa dan haji
2. Ibadah ‘ammah, yaitu
semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat yang baik dan semata-mata
karena Allah SWT (ikhlas), seperti makan dan minum, bekerja, amar ma’ruf nahi munkar, berlaku adil,
berbuat baik kepada orang lain dan sebagainya.
b.
Dari Segi Bentuk dan Sifatnya.
Ditinjau dari
segi bentuk dan sifatnya ibadah terbagi dalam enam macam antara lain:
1. Ibadah
yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti: tasbih, tahmid, tahlil, takbir, taslim, do’a, membaca hamdalah oleh orang bersin, tasymit (menyahuti) orang bersin,
memberi tahniyah (salam), khutbah,
menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar, bertanya mengenai sesuatu yang
tidak diketahui, menjawab pertanyaan (memberi fatwa), mengungkapkan persaksian
(syahadah), membaca iqamah, membaca
adzan, membaca Al-Qur’an, membaca basmalah
ketika hendak makan, minum dan menyembelih binatang, membaca Al-Qur’an
ketika dikejuti syaitan dan lain-lain sebagainya.
2. Ibadah-ibadah
berupa perbuatan, seperti menolong orang yang karam atau yang tenggelam,
berjihad di jalan Allah SWT, membela diri dari gangguan, menyelenggarakan mayat
dan mandi.
3. Ibadah-ibadah
yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan. Termasuk kedalam
ibadah ini, ibadah puasa, yaitu menahan diri dari makan, minum dan dari segala
yang merusak puasa.
4. Ibadah-ibadah
yang terdiri dari melakukan dan menahan diri dari suatu perbuatan, seperti ‘itikaf (duduk dirumah Allah) serta
menahan diri dari ijma’ dan mubasyaroh (bergaul dengan istri), haji,
tawaf, wukuf di Arafah, ihram serta
menahan diri ketika haji atau umrah dari menggunting rambut, memotong kuku, jima’, nikah dan menikahkan, berburu,
menutup muka oleh para wanita dan menutup kepala oleh lelaki.
5. Ibadah-ibadah
yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan orang yang berhutang dari
hutangnya dan memaafkan kesalahan dari orang yang bersalah dan memerdekakan
budak dengan kaffarat.
6. Ibadah-ibadah yang meliputi perkataan,
pekerjaan, khudu’, khusyu’, menahan
diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin dari yang diperintahkan
kita menghadapinya, seperti shalat. Shalat di pandang sebagai ibadah yang
paling utama, karena shalat melengkapi perbuatan-perbuatan yang lahir dan
batin, melengkapi ucapan-ucapan dan menahan diri dari berbicara serta menahan
diri dari memalingkan hati dari Allah SWT.
c.
Dari Segi Sifat, Waktu, Keadaan,
dan Rukunya
Apabila ditinjau
dari segi sifat, waktu, keadaan dan hukumnya, ibadah terbagi menjadi:
1.
Muadda,
yaitu
ibadah yang dikerjakan dalam waktu yang ditetapkan syara’. Ibadah tersebut
dilakukan pada waktu yang ditetapkan itu untuk pertama kalinya, bukan sebagai
pengulangan. Pelaksaan ibadah ini disebut dengan ibadah tunai (ada’).
2.
Maqdhi,
yaitu
ibadah yang dikerjakan sesudah keluar waktu yang ditentukan syara’. Ibadah ini
bersifat sebagai pengganti yang tertinggal, baik Karena disengaja atau tidak,
seperti tertinggal karena sakit atau sedang dalam berpergian. Pelaksanaan
ibadah ini disebut dengan qadha.
3.
Mu’ad,
yaitu
ibadah yang diulang sekali lagi dalam waktunya untuk menambah kesempurnaan,
misalnya melaksanakan shalat secara berjamaah dalam waktunya yang ditentukan
setelah melaksanakannya secara sendirian pada waktu yang sama.
4.
Muthlaq,
yaitu
ibadah yang tidak dikaitkan waktunya oleh syara’ dengan sesuatu waktu yang
terbatas, seperti membayar kiffarat, sebagai
hukuman bagi pelanggar sumpah.
5.
Muwaqqat,
yaitu
ibadah yang dikaitkan oleh syara’ dengan waktu tertentu yang terbatas, seperti
shalat pada waktu subuh, zuhur, asar, magrib dan isya. Termasuk juga puasa pada
bulan ramadhan.
6.
Muwassa’,
yaitu
ibadah yang lebih luas waktunya dari yang diperlukan untuk melaksanakan
kewajiban yang dituntut pada waktu itu, seperti shalat lima waktu. Seorang yang
shalat diberikan kepadanya hak mengerjakan shalatnya di awal waktu, di
pertengahan dan di akhirnya.
7.
Mudhayyaq
(mi’yar), yaitu ibadah yang waktunya sebanyak atau sepanjang fardhu atau di-fardhu-kan dalam waktu itu, seperti puasa. Dalam bulan ramadhan,
hanya dikhususkan untuk puasa wajib dan tidak boleh dikerjakan puasa yang lain
pada waktu itu seperti puasa sunnah, nazar dan lain-lain.
8.
Dzusyabain,
yaitu
ibadah yang mempunyai persamaan dengan mudhayyaq
dan mempunyai persamaan pula dengan muwassa’,
seperti pada ibadah haji. Dari segi pelaksanaanya, ibadah haji menyerupai mudayyaq, karena hanya diwajibkan sekali
dalam setahun, dan dari segi keberlanjutan bulan-bulan haji itu menyerupai muwassa’.
9.
Mu’ayyan,
yaitu
ibadah tertentu dituntut oleh syara’, misalnya Allah SWT memerintahkan shalat,
maka seorang mukallaf wajib melaksanakan shalat yang diperintahkan itu, tidak boleh mengganti dengan ibadah lain.
10.
Mukhayyar,
yaitu
ibadah yang boleh dipilih salah satu dari yang diperintahkan. Seperti kebolehan
memilih antara ber-istinja’ dengan
air dan ber-istinja’ dengan batu.
11.
Muhaddad,
yaitu
ibadah yang dibatasi kadarnya oleh syara’,
seperti shalat fardu dan zakat.
12.
Ghairu
muhaddad, yaitu ibadah yang tidak dibatasi kadarnya oleh
syara’, seperti mengeluarkan harta di jalan Allah SWT, memberi makan orang yang
lapar dan memberi pakaian orang yang tidak berpakaian.
13.
Muratab,
yaitu
ibadah yang harus dikerjakan secara tertib. Maksudnya, sesudah pertama tidak
disanggupi barulah dikerjakan yang kedua. Seperti kaffarat jima’ yang dilakukan oleh orang yang
sedang puasa ramadhan. Mula-mula memerdekakan budak , kalau budak tidak
disanggupi berpindah kepada puasa dan bulan berurut-urut. Kalau puasa tidak
sanggup, berpindah kepada memberi makan 60 orang miskin.
14.
Ma
yaqbal al-takhyir wa la yaqbal al-taqdim, yaitu ibadah
yang dapat di-ta’khir-kan
(dilambatkan) dan tidak dapat didahulukan dari waktunya, seperti shalat magrib dan puasa. Shalat magrib boleh dijama’ taqdimkan ke
waktu isya’ dan tidak boleh dijama’
taqdimkan ke waktu asar. Puasa juga dapat dita’khirkan ke waktu-waktu yang dibolehkan puasa di dalamnya,
seperti puasa orang yang sakit atau sedang dalam berpergian. Kepada mereka
dibolehkan menta’khirkan puasanya setelah bulan ramadhan.
15.
Ma
yaqbal al-taqdim wa la yaqbal al-ta’khir, yaitu ibadah
yang boleh didahulukan dari waktunya, tetapi tidak boleh ditunda dari waktunya,
seperti shalat ashar dan isya. Shalat ashar bisa didahulukan pelaksanaanya ke
waktu dhuhur, tetapi tidak boleh dita’khirkan
ke waktu magrib, dan shalat isya’ bisa pula didahulukan ke waktu magrib
tetapi tidak bias ditunda ke waktu subuh.
16.
Ma
la yaqbal al-taqdim wa la ta’khir, yaitu ibadah tidak
dapat didahulukan dan ditunda dari waktunya, seperti shalat subuh. Shalat subuh
tidak dapat didahulukan ke waktu isya’ dan tidak pula dapat ditunda ke waktu
dhuhur.
17.
Ma
yajibu ‘ala al-faur, yaitu ibadah yang mesti segera
dilaksanakan, seperti menyuruh yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar dan
zakat yang telah memenuhi persyaratan.
18.
Ma
yajibu ‘ala al-tarakhi, yaitu ibadah yang boleh dilambatkan
pelaksanaanya, seperti nazar yang mutlak dan kaffarat.
19.
Ma
yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang dapat diterima secara
tadakhul (masuk-memasuki). Dengan kata lain ibadah yang dapat dengan sekali
pelaksanaan menghasilkan dua ibadah sekaligus, seperti dalam pelaksanaan haji
sudah termasuk didalamnya pelaksanaan umrah, dan dalam pelaksanaan puasa qadha
pada hari senin termasuk didalamnya pelaksanaanya puasa sunnah, wudu’ untuk
berbagai ibadah dapat dilakukan satu kali, seperti wudu’ untuk baca Al-Qur’an
dapat digunakan untuk shalat.
20.
Ma
la yaqbal al-tadakhul, yaitu ibadah yang tidak dapat
menerima secara tadakhul, seperti
shalat, zakat, sedekah, hutang, haji dan umrah. Orang yang melaksanakan dua
shalat, qadha dan tunai, maka menurut syafi’iyah shalatnya tidak sah, sedangkan
menurut jumhur fuqaha sah untuk tunai dan tidak untuk qadha. Orang yang memberikan hartanya kepada fakir miskin dengan
niat zakat dan sedekah sunat, maka yang dipandang sah adalah zakat. Orang yang
berniat dua haji dan dua umrah, hanya sah satu haji dan satu umrah.
21.
Ma
ukhtulifa qabul al-tadakhul, yaitu ibadah yang
diperbedakan para ulama tentang dapat atau tidaknya secara tadakhul, seperti masuknya wudu’ ke dalam mandi.
22.
Ma
‘azhimatuhu afdhal min rukhshatih, yaitu ibadah yang azimah-nya lebih utama dari rukhsah-nya, seperti istinja’ dengan air lebih utama dari istinja’ dengan batu.
23.
Ma
rukhsatuh afdhal min ‘azhimatih, yaitu ibadah yang rukhsah-nya lebih utama dari ‘azimah-nya, seperti shalat qashar (meringkas shalat) dalam
perjalanan tiga hari lebih utama dari menyempurnakanya (azimah).
24.
Ma
yaqbal fi jami’ al-auqat, yaitu ibadah yang boleh
diselesaikan (di-qadha) dalam segala
waktu.
25.
Ma
la yuqdha illa fi mitsli watihi, yaitu ibadah yang tidak
boleh di-qadha kecuali waktu
semisalnya, seperti haji.
26.
Ma
yaqbal ada’ wa al-qadha, yaitu ibadah yang boleh
dilaksanakan di dalam atau di luar waktunya, seperti haji dan puasa. Akan
tetapi qadha haji harus ditunggu masa
haji berikutnya.
27.
Ma
yaqbal ada’ wa la yaqbal al-qadha, yaitu ibadah yang
menerima pelaksanaan dalam waktunya dan tidak menerima pelaksanaan di luar
waktunya (tidak bisa
di-qadha), seperti shalat jum’at.
28.
Ma
la yushafu bi qadha’ wa la ada’, yaitu ibadah yang tidak
disifatkan dengan tunai dan tidak pula dengan qadha, seperti shalat sunah mutlaq dan memutuskan perkara atau
memberi fatwa.
29.
Ma
yataqaddar waqt ada’ih ma’a qabulih li ta’khir, yaitu
ibadah yang terbatas waktu meng-qadha-nya,
tetapi dapat juga dikerjakan sesudah lewat waktu qadha itu, seperti puasa yang waktunya ditentukan dalam setahun
sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Tetapi diterima juga qadha itu bila dikerjakan sesudah waktunya.
30.
Ma
yakun qadha’uh mutarakhiyan, yaitu ibadah yang boleh
di-qadha kapan saja dikehendaki dan
tidak perlu disegerakan. Menurut golongan syafi’iyah shalat yang terlewat karena tertidur atau lupa tidak
perlu disegerakan meng-qadha-nya.
31.
Ma
yajibu qadha’uh ‘ala al-faur, yaitu ibadah yang wajib
segera di-qadha, seperti haji dan
umrah yang dirusakkan.
32.
Ma
yadkhuluh al-syarth min al-‘ibadat, yaitu ibadah yang bisa
dilaksanakan atas dasar sesuatu syarat, seperti nazar. Ibadah ini dapat
dikaitkan dengan suatu syarat.
33.
Ma
la yaqbal al-ta’liq wa la al-syarth, yaitu ibadah yang tidak
bisa digantungkan kepada suatu syarat, seperti puasa dan shalat yang telah
diwajibkan oleh syara’.
34.
Ma
yu’tabar bi waqt fi’lih la liwaqt
wujubih, yaitu ibadah yang dipandang waktu pelaksanaanya,
bukan waktu wajibnya, seperti suci untuk shalat, menghadap qiblat dan menutup
aurat dalam shalat. Contoh lain adalah keadilan, seorang saksi dipandang
keadilanya pada waktu pelaksanaan kesaksian, bukan waktu menyaksikan suatu
peristiwa.
35.
Ma
yu’tabaru bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang dipandang dengan
waktu wajibnya, seperti meninggalkan shalat yang wajib dalam hdhar (waktu hadir, tidak berpergian)
lalu di-qadha dalam saffar. Dalam keadaan seperti ini shalat
qadha-nya tidak boleh dilakukan
dengan cara qashar, meskipun ketika
itu seseorang dalam keadaan bepergian, karena yang dipandang adalah waktu
wajibnya, yang dalam hal ini adalah waktu hadir.
36.
Ma
ukhtulifa fi i’tibarih bi waqt wujubih, yaitu ibadah yang diperselisihkan
tentang apakah yang dipandang adalah waktu wajib dan waktu pelaksanaanya,
seperti shalat yang ditinggalkan dalam saffar
bila di-qadha di waktu hadhar. Ulama yang memandang kepada
waktu wajibnya, maka mendahulukan shalat qadha
lebih utama. Sedangkan ulama yang memendang pada waktu pelaksanaanya,
berpendapat bahwa mendahulukan shalat hadhar
lebih utama.[1]
1 komentar
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)